Raisa tak pernah mengira hidupnya akan berubah drastis setelah ulang tahunnya yang ke-23. Gadis ceria itu terkejut ketika sang mama mengenalkannya pada seorang pria—bukan untuk dijodohkan dengan lelaki muda seperti biasanya, melainkan dengan teman dekat mamanya sendiri, seorang pria dewasa bernama Ardan yang berusia hampir dua kali lipat darinya.
Ardan, seorang duda mapan berwibawa, awalnya tak berniat menerima tawaran perjodohan itu. Namun, kepribadian Raisa yang hangat dan polos perlahan membuatnya goyah. Raisa pun dilanda dilema: bagaimana bisa ia jatuh hati pada seseorang yang selama ini ia kenal sebagai “Om Ardan”, sosok yang sering datang ke rumah sebagai sahabat mamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 25
Hari-hari berikutnya berjalan seperti kabut tebal—Raisa menjalani rutinitasnya, tapi rasanya seperti hidup di antara bayangan. Ia bangun, menyiapkan sarapan untuk Ardan, berusaha tersenyum, lalu menghabiskan waktu sendirian di apartemen.
Namun setiap senyuman yang ia paksakan, seperti tali yang semakin mencekik lehernya.
Dan Bu Ratna tak berhenti menambah bebannya.
Pesan-pesan baru terus masuk ke ponselnya. Bukan lagi sekadar ajakan, tapi desakan. “Kita harus bicara lagi.” “Kamu jangan egois.” “Datang sebelum semuanya terlambat.”
Awalnya Raisa mengabaikan. Tapi ia tahu Bu Ratna tak akan berhenti.
Siang itu, ia kembali ke rumah Bu Ratna.
Rumah besar itu dingin seperti sebelumnya, penuh wangi bunga segar yang justru membuat Raisa merasa tercekik. Di ruang tamu, Bu Ratna duduk tegak di kursi, rapi dengan gaun formal dan riasan tipis. Senyumnya bukan senyum ramah, tapi senyum yang membuat Raisa merasa seperti anak kecil yang siap dimarahi.
“Kamu datang juga.” Nada suaranya datar, tapi tajam.
Raisa duduk perlahan. “Ibu mau bicara apa lagi?”
“Kamu tahu apa yang Ibu mau.” Bu Ratna menyandarkan tubuhnya. “Kamu pergi dari hidup Ardan. Kamu lepaskan dia.”
Raisa menunduk. “Bu… saya sudah bilang, saya nggak mau ninggalin Ardan.”
“Kamu nggak mau? Atau kamu nggak bisa?” Bu Ratna mencondongkan tubuhnya. “Kamu itu terlalu muda, Raisa. Terlalu labil. Kamu pikir pernikahan ini cuma tentang kamu dan dia? Tentang cinta yang kalian agung-agungkan?”
Raisa menggigit bibirnya. “Saya… saya tahu pernikahan bukan cuma itu. Tapi—”
“—tapi kamu egois,” potong Bu Ratna. “Kamu hanya memikirkan dirimu sendiri. Kamu pikir kamu bisa jadi istri yang menopang Ardan? Kamu bahkan nggak tahu dunia dia seperti apa.”
“Bu—”
“Kamu tidak cocok untuk anak saya!” Kali ini nada Bu Ratna meninggi. “Kamu itu muda, labil, dan hanya akan menyeret dia jatuh lebih dalam. Ardan kehilangan klien, kehilangan reputasi, dan kamu? Kamu masih bisa santai-santai di apartemen, pura-pura jadi istri yang sempurna!”
Kata-kata itu seperti tamparan keras di wajah Raisa.
Ia mencoba membuka suara, tapi suaranya pecah. “Bu, saya… saya benar-benar sayang sama Ardan. Saya ingin dampingi dia—”
“Kalau benar kamu sayang,” Bu Ratna berdiri, menatapnya dari atas, “lepaskan dia. Anak saya butuh pasangan yang bisa mengangkatnya, bukan yang membuatnya terpuruk.”
Raisa pulang dengan langkah gontai.
Sepanjang perjalanan, kata-kata itu bergema di kepalanya. “Kamu tidak cocok.” “Kamu muda, labil.” “Kalau benar sayang, lepaskan.”
Di apartemen, Ardan belum pulang. Raisa langsung masuk ke kamar, duduk di tepi ranjang, dan membenamkan wajah di telapak tangannya.
Apa benar Bu Ratna yang selama ini ia anggap kejam… justru berkata benar?
Ardan mulai kehilangan banyak hal sejak bersamanya. Kariernya, klien-klien besar, bahkan pandangan orang pada mereka. Raisa menatap bayangannya di cermin: seorang gadis dua puluh tahunan, wajahnya pucat, matanya bengkak, jaket oversized menggantung di bahunya.
Mungkin Bu Ratna benar.
Mungkin ia memang tak cocok.
Dan untuk pertama kalinya sejak menikah, Raisa mulai berpikir:
Kalau pergi bisa membuat Ardan bebas dari semua ini… haruskan aku pergi?
Tapi bagaimana kalau kepergiannya justru menghancurkan pria itu?
Ia tak tahu lagi mana yang benar—bertahan demi cinta, atau pergi demi kebaikan Ardan.
Dan di tengah malam yang sunyi itu, Raisa duduk di lantai kamar dengan lutut tertekuk, menangis dalam diam.
Besoknya
Raisa mengirim pesan ke Bu Ratna. “Bu… kalau saya pergi, Ibu janji nggak ganggu Ardan lagi?”
Jemarinya bergetar ketika menekan tombol kirim.
Beberapa menit kemudian, balasan masuk.
“Kalau kamu pergi dengan benar, Ibu janji tak akan ganggu dia lagi. Itu satu-satunya cara kamu bisa benar-benar membantunya.”
Raisa menatap pesan itu lama. Jantungnya berdebar seperti hendak meledak.
Keputusan apa yang baru saja ia buat?