JATUH KEPELUKAN SANG PANGERAN
Zhao, putri bangsawan yang terkenal cantik dan keras kepala, kembali membuat kehebohan di kediaman keluarganya. Kali ini, bukan karena pesta atau keributan istana… tapi karena satu hal yang paling ia hindari seumur hidup: perjodohan!
Dirinya dijodohkan dengan Pangeran Wang pangeran kerajaan yang dikenal dingin, tegas, dan katanya... kejam?! Zhao langsung mencari cara kabur, apalagi hatinya telah tertambat pada sosok pria misterius (pangeran yu) yang ia temui di pasar. Tapi semua rencana kacau saat ia malah jatuh secara harfia ke pelukan sang pangeran yang tak pernah ia pilih.
Ketegangan, kekonyolan, dan adu mulut menjadi awal dari kisah mereka. Tapi akankah hubungan cinta-benci ini berubah jadi sesuatu yang lebih hangat dari sekadar perjodohan paksa?
Kisah cinta kerajaan dibalut drama komedi yang manis, dramatis lucu, tegang dan bikin gemas!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Siti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TANDA CINTA DI DALAM DIRIMU
Aula utama istana dipenuhi aroma dupa lembut yang membubung perlahan ke langit-langit tinggi berukir naga keemasan. Para pejabat berdiri rapi di sisi kanan dan kiri, menyaksikan tiga orang yang berdiri di hadapan singgasana Kaisar dengan sorot mata penuh hormat.
Kaisar mengenakan jubah resmi berwarna merah tua berlapis emas. Wajahnya tampak tenang, namun sorot matanya menunjukkan kebanggaan. Ia menatap Pangeran Wang, Pangeran Yu, dan Zhao yang berdiri di sisi suaminya dengan kepala sedikit menunduk.
> “Pangeran Wang,” ucap Kaisar, suaranya berat namun penuh penghargaan, “aku tidak pernah meragukan kemampuanmu. Apa yang kau lakukan di Qinshui membuktikan kesetiaan dan keberanianmu. Ini menjadi nilai tambah besar... untuk seorang calon putra mahkota negeri ini.”
Pangeran Wang menunduk dalam, suaranya mantap.
> “Terima kasih, Yang Mulia. Melindungi rakyat adalah tugas dan kehormatan terbesar bagi hamba.”
Kaisar lalu mengalihkan pandangannya ke Pangeran Yu.
> “Dan kau, Pangeran Yu… kau selalu bisa diandalkan untuk mendampingi kakakmu dalam setiap tugas penting. Kerja samamu sangat berarti.”
Pangeran Yu tersenyum tipis, memberikan hormat.
> “Terima kasih atas pengakuan ini, Yang Mulia.”
Tatapan Kaisar kemudian beralih pada Zhao.
Wajah Zhao tampak tenang, tapi jantungnya berdegup sedikit lebih cepat saat Kaisar menatap langsung ke arahnya.
> “Dan kau, Nona Zhao... istri dari Pangeran Wang, yang memaksa ikut meski tidak diperintahkan,” ucap Kaisar, nadanya sedikit menggoda namun tegas. “Ternyata kau cukup pintar memberi solusi, dan bahkan memahami ilmu medis hingga membantu mengendalikan wabah.”
Zhao menunduk sopan, menjawab dengan suara jernih,
> “Terima kasih, Yang Mulia. Tapi semua itu tak terlepas dari kerja sama tim, dan... bantuan Nona Hwa Jin yang bersedia meracik ramuan di istana demi warga Qinshui.”
Kaisar mengangguk puas.
> “Ah, begitu rupanya. Kerja sama yang mengagumkan. Aku menghargai kerja keras kalian semua. Semoga hubungan seperti ini terus terjalin dalam banyak tugas ke depan.”
Ia menoleh singkat ke arah Pangeran Yu.
> “Pangeran Yu, sampaikan terima kasihku secara pribadi kepada istrimu, Hwa Jin.”
> “Tentu, Yang Mulia,” jawab Pangeran Yu sambil membungkuk hormat.
Setelah selesai menghadiri pertemuan di aula istana, Zhao berjalan pelan menuruni tangga batu dengan wajah sedikit letih. Di sampingnya, Pangeran Wang menoleh sambil menepuk ringan punggung tangannya.
"Aku masih harus berbicara sebentar dengan Pangeran Yu. Kau duluan saja kembali ke kediaman," ucapnya lembut namun tegas.
Zhao mengangguk tanpa banyak tanya, lalu melangkah pergi bersama Meilan yang setia mengikutinya dari belakang.
---
Di Kediaman Zhao
Begitu sampai di kediamannya, Zhao menghela napas panjang dan memutar pundaknya ke belakang.
"Aaah… rasanya seperti habis berperang." Ia jatuh duduk di kursi dengan ekspresi kelelahan.
Meilan mendekat, membawa segelas air. "Nona, apa kau lelah?"
"Tentu saja. Memangnya kau tidak lelah?" sahut Zhao sambil melirik tajam namun lemah.
Meilan tersenyum kecil. "Saya sudah terbiasa, Nona."
"Ah, kau dan Pangeran Wang memang sejenis. Entah pelatihan apa yang membuat kalian begitu kuat." Zhao mencibir sambil meneguk airnya.
Namun sesaat kemudian, ia mengernyit dan mengusap pelan perutnya. "Kenapa ya, perutku terasa aneh. Apa aku salah makan saat di desa Qingshui?"
Meilan menatapnya cemas. "Atau mungkin ini… sudah mulai masuk periode datang bulan?"
Zhao membulatkan mata. "Ah iya, aku bahkan lupa kapan terakhir kalinya…"
Meilan menatapnya polos. "Bukannya sudah cukup lama ya, Nona?"
Zhao mengangguk pelan. "Mungkin karena banyak pikiran. Aku bahkan tidak sempat memerhatikannya."
Meilan terlihat sedikit khawatir. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita panggil tabib istana saja, Nona?"
Zhao langsung mengangkat tangan. "Hei! Jangan terlalu serius. Aku tidak mau sampai ke tabib. Aku akan tanya pada Hwa jin saja, siapa tahu dia paham soal beginian."
Tanpa menunggu lebih lama, Zhao langsung berdiri dan melangkah ke luar.
"Nona, bukannya tadi bilang lelah?" tanya Meilan sambil membuntuti.
"Ya, tapi aku harus, sekalian berterima kasih pada Hwa jin karena sudah bantu meracik ramuan." jawab Zhao tanpa menoleh.
---
Kediaman Pangeran Yu dan Hwa jin
"Hwa jin!" Zhao memanggil pelan dari depan pintu.
Hwa jin keluar dengan senyum hangat, namun Zhao langsung menariknya masuk sebelum sempat mengundang masuk.
"Terima kasih karena sudah membantu membuatkan ramuan pesananku. Kau memang yang terbaik!" ucap Zhao tanpa basa-basi.
Hwa jin tertawa ringan. "Tentu saja aku akan membantu. Tapi kenapa kau bisa tahu semua itu, tapi tidak bisa meraciknya sendiri?"
"Aku tahu teorinya, tapi belum cukup yakin untuk praktik. Ramuan itu bisa jadi obat… atau racun. Aku tak bisa gegabah." jelas Zhao.
Hwa jin mengangguk pelan.
Zhao menunduk sedikit. "Sebenarnya aku juga ingin menanyakan sesuatu yang lebih pribadi..."
Hwa jin menaikkan alis.
"Aku takut ini penyakit, jadi belum siap tanya ke tabib. Tapi mungkin kau tahu sesuatu?"
Hwa jin terdiam sejenak, lalu tersenyum lembut. "Aku bukan ahli medis, tapi aku akan coba bantu."
Zhao menarik napas. "Siklus datang bulan ku… jadi tidak teratur. Biasanya seirama dengan Meilan, tapi sekarang sudah lama berbeda."
Hwa jin mendengarkan serius. "Apa kau merasa ada keluhan di tubuhmu?"
"Perutku sedikit tidak enak… tapi tidak sampai sakit."
"Bisa jadi karena banyak pikiran, tapi... kakak, maaf, aku harus bertanya... apakah kau dan Pangeran Wang sudah... berhubungan sebagai suami istri?"
Zhao langsung tersenyum malu. "Astaga Hwa jin, kenapa pertanyaannya seperti itu... tapi ya, sering."
Hwa jin tertawa kecil. "Kalau begitu... aku ingat sesuatu. Ibuku pernah bercerita hal yang sama seperti yang kakak zhao ceritakan ketika mengandungku."
Zhao tertegun. "Maksudmu…?"
Hwa jin mengangguk pelan. "Bisa saja itu tanda awal kehamilan. Tapi untuk yakin, kau harus periksa ke tabib."
"Tapi bukannya kalau hamil harusnya mual, ngantuk, atau apa gitu?" tanya Zhao bingung.
"Tidak semua wanita mengalami hal yang sama. Kau ingin memastikannya?"
Zhao menatap perutnya lalu menggeleng. "Tidak sekarang. Mungkin nanti."
Hwa jin mengangguk mengerti. "Baik."
"Tapi rahasiakan dulu ya." Ucap zhao sambil tersenyum dan memeluknya sebentar sebelum pergi.
---
Di perjalanan pulang
Zhao melangkah pelan dengan tangan sesekali menyentuh perutnya. Wajahnya kosong, matanya menatap lurus ke depan. Meilan yang berjalan di belakang memperhatikan dengan bingung.
"Nona, kau kenapa? Apa perutnya masih sakit?"
Zhao hanya tersenyum samar. "Tidak, hanya… sedang berpikir."
Namun dalam hati, ia bertanya-tanya sendiri. "Apa benar aku... hamil?"
---
Kediaman Pangeran Wang
Sore hari mulai merayap ke balik dinding istana saat Zhao melangkah masuk ke kediamannya, ia mendapati sang suami duduk di ranjangnya dengan wajah pucat dan tubuh bersandar lemah.
Zhao langsung menghampiri dengan panik.
"Kau kenapa, Pangeran? Kenapa wajahmu pucat tiba-tiba? Apa lukamu masih terasa sakit?" tanyanya cemas sambil menyentuh dahi pria itu.
Pangeran Wang menoleh perlahan, suaranya serak.
"Entahlah. Lukaku rasanya sudah membaik... tapi aku merasa mual dan mengantuk sejak tadi. Aku ingin tidur, tapi mual ini menggangguku."
Zhao menatapnya penuh khawatir.
"Apa jangan-jangan... kau terkena wabah juga?" gumamnya panik. Ia segera menoleh pada Meilan.
"Cepat, panggil pengawal dan suruh mereka mendatangkan tabib!"
Meilan mengangguk dan segera melangkah cepat ke luar ruangan. Zhao berusaha mengelap peluh di kening suaminya, tak peduli meski bajunya basah karena keringatnya sendiri.
"Jika memang aku terkena wabah, kenapa gejalanya baru terasa setelah kita kembali ke istana...? Dan kau sebaiknya menjauh." suara Pangeran Wang melemah.
Zhao menggeleng cepat.
"Tidak. Jangan menyuruhku menjauh darimu. Aku istrimu." ucapnya tegas. Ia meraih kain basah dan mengelap leher pria itu perlahan.
"Kau berkeringat banyak sekali… kasihan sekali kau…" gumamnya pelan, penuh kasih.
Tak lama, tabib datang bersama asistennya, segera memeriksa keadaan Pangeran Wang dengan saksama. Namun setelah beberapa lama, wajah sang tabib tampak ragu-ragu.
"Bagaimana? Kau tidak lihat wajahnya pucat begitu?" tanya Zhao, tak sabar.
Tabib membungkuk hormat.
"Ampun, Nona… tapi saya tidak menemukan gejala wabah atau penyakit lainnya. Denyut nadinya normal, suhu tubuhnya stabil."
"Lalu kenapa dia begini?" Zhao mengerutkan kening.
"Mungkin karena kelelahan setelah perjalanan jauh. Untuk sementara saya akan resepkan ramuan tonik dan vitamin." jelas tabib itu.
Zhao terdiam, pikirannya melayang merasa ada yang janggal. Ia hanya mengangguk saat tabib pamit pergi, lalu duduk di kursi mengamati Pangeran Wang yang kini terlelap dalam tidur gelisah.
Meilan masuk pelan-pelan sambil membawa air minum.
"Nona, apa kata tabib?"
Zhao menghela napas.
"Katanya cuma kelelahan."
Meilan menaruh cangkir di meja dan tersenyum kecil.
"Tapi kenapa bisa mual-mual begitu? Seperti orang yang sedang… hamil." candanya dengan nada menggoda.
Zhao menoleh cepat, ekspresinya perlahan berubah.
"Meilan... kau berpikir tidak, kalau ini semua… mungkin berhubungan?"
"Maksud Nona?"
Zhao menghela napas panjang.
"Astaga, kau pintar dalam hal menganalisa banyak hal, tapi hal seperti ini justru menjadi kelemahanmu." katanya sambil tersenyum lemah.
"Periodeku bulan ini kacau, dan Hwa jin pernah cerita bahwa ibunya juga begitu saat mengandungnya. Tapi... anehnya, bukan aku yang merasakan mual dan mengantuk… justru Pangeran Wang yang mengalaminya."
Mata Meilan melebar.
"Hah? Maksud Nona... Nona sedang hamil?" bisiknya kaget.
"Hei, pelankan suaramu, kau bisa membangunkannya." tegur Zhao sambil melirik suaminya yang masih tidur.
"Maaf, Nona…" Meilan menunduk sambil menahan tawa kecil.
"Tapi aku pernah dengar soal itu… ada pasangan yang kompak begitu. Saat istrinya hamil, suaminya juga merasakan gejala seperti mual, ngidam, bahkan pusing." bisik Meilan lagi.
Zhao menatap kosong sejenak, lalu memandang ke perutnya.
"Kalau memang benar aku sedang hamil… Meilan, ini bukan mimpi, kan? Aku menantikannya sejak lama. Ingin memberinya keturunan…."
Tangannya perlahan menyentuh perutnya sendiri. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Jika dia laki-laki, pasti sangat tampan… seperti ayahnya." gumamnya dengan senyum penuh haru.
"Tapi… mungkin terlalu dini untuk memeriksakan ini sekarang, ya?" tanyanya pelan.
"Ya, Nona. Lebih baik menunggu Pangeran Wang tahu lebih dulu." ucap Meilan lembut.
Pagi yang tenang menyusup ke sela-sela tirai tipis kamar mereka. Cahaya hangat matahari membentuk bayangan samar di lantai, menyentuh wajah Zhao yang tertidur dengan kepala bersandar di tepi ranjang. Tubuhnya sedikit membungkuk, seolah lelah semalaman menjaga seseorang yang sangat ia sayangi.
Pangeran Wang membuka mata perlahan. Napasnya masih berat, tapi wajahnya tampak lebih segar. Ia menoleh, menemukan Zhao masih tertidur di posisi duduk. Rambutnya agak berantakan, bibirnya sedikit pucat, tapi ada ketenangan dalam raut wajahnya. Pelan-pelan, Pangeran Wang mengulurkan tangan, menyibakkan rambut yang menutupi wajah istrinya.
Zhao terbangun saat merasakan sentuhan hangat itu.
“Kau sudah bangun?” gumamnya, suaranya parau. “Bagaimana perasaanmu sekarang?”
“Aku merasa lebih baik… meski masih sedikit mual,” ucap Pangeran Wang sambil duduk tegak.
Zhao menarik napas lega, tapi nada suaranya tetap penuh kekhawatiran. “Kau tahu, aku benar-benar takut semalam. Kau tidur begitu lama tanpa bergerak sedikit pun…”
“Apa separah itu?” canda pangeran Wang sambil mengangkat alis. “Lalu… apa kata tabib?”
Zhao menggeleng pelan. “Tidak ada yang aneh. Bahkan gejala wabah pun tidak ditemukan.” Ia menatap suaminya dalam-dalam. “Kau yakin tak makan sesuatu yang aneh?”
“Kita selalu makan bersama. Kalau aku salah makan, kau pun seharusnya sakit,” jawab Pangeran Wang sambil tersenyum.
Zhao tersenyum kecil. Ia lalu mengambil semangkuk bubur hangat dan menyuapi Wang dengan sabar, menyelipkan sebuah pil vitamin setelahnya.
Setelah sarapan, Zhao duduk lebih dekat. Matanya menatap serius, tapi suaranya tetap lembut.
“Pangeran…”
“Hmm?”
“Kau sadar tidak… akhir-akhir ini siklus bulanan ku agak… tidak teratur.”
Pangeran Wang langsung menoleh. “Tentu aku sadar. Mana mungkin tidak. Tapi kenapa kau tiba-tiba membicarakan itu?”
Zhao menelan ludah. “Hwa jin bilang, kadang itu bisa jadi tanda awal… kehamilan.” Ia menunduk, menunggu reaksi.
“Apa maksudmu?” tanya pangeran Wang bingung sambil tertawa pelan. “Lalu hubungannya denganmu?”
Zhao langsung manyun. “Astaga… kau benar-benar tidak peka, ya?”
Pangeran Wang tertawa, tapi segera terdiam saat mendengar Zhao melanjutkan.
“Meilan bilang, ada pasangan yang seperti kita. Istrinya hamil, tapi suaminya yang malah merasakan gejalanya mual, ngantuk, mood naik turun…”
Pangeran Wang mendadak diam. Alisnya menyatu. “Kau serius?”
“Belum pasti,” ucap Zhao pelan. “Tapi… kurasa kita perlu memastikannya.”
Tanpa banyak bicara, Pangeran Wang menarik Zhao ke pangkuannya. Tangannya menyentuh perut Zhao dengan lembut, matanya hangat.
“Kalau itu benar… aku akan sangat, sangat bahagia.”
Zhao menatapnya, tersenyum.
Pangeran Wang langsung memanggil Meilan. “Panggilkan tabib wanita. Sekarang.”
Tak lama, Meilan datang bersama tabib wanita. Saat Zhao hendak menyela, Wang menekankan bahunya agar duduk.
"Nyonya tolong periksa istriku, wajahnya terlihat pucat"
“Pangeran, kenapa kau bilang aku pucat?” bisik Zhao pelan.
“Supaya kau mau diperiksa,” bisik pangeran Wang balik dengan wajah serius yang disembunyikan senyum nakal.
Tabib wanita itu memeriksa nadi Zhao dengan penuh konsentrasi. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Hening menyelimuti ruangan.
“Ada apa?” tanya Zhao gugup. Pangeran Wang dan Meilan menatap serius.
“Ampun, Pangeran… Nona Zhao tidak mengidap penyakit apa pun. Tapi nadinya kuat… sangat kuat.”
Tabib itu menunduk hormat. “Selamat, Yang Mulia. Nona Zhao tengah mengandung. Usia kandungannya… tiga bulan.”
Ruangan hening sejenak. Lalu…
“APA?” Meilan berteriak kecil lalu memeluk Zhao dengan air mata yang tak tertahan. “Selamat, Nona! Pangeran ternyata nona memang sedang hamil!”
Pangeran Wang tak berkata apa-apa, hanya menatap Zhao dengan mata yang berkilat. Tangannya tak lepas dari perut Zhao. Ia seperti tak percaya.
“Ternyata… sudah tiga bulan…” gumamnya pelan.
“Terima kasih, Nyonya Tabib,” ucapnya sambil tetap memeluk Zhao dari samping.
“Mohon hindari aktivitas berat… atau hubungan suami istri untuk sementara waktu,” kata tabib wanita itu hati-hati.
Meilan langsung membuka mulut, tapi pangeran Wang melotot lucu padanya. “Kau pikir aku akan langsung melompat ke ranjang hanya karena kami sendirian?! Dasar bocah…”
Meilan tertawa, pipinya memerah, lalu pamit keluar.
Zhao tertawa kecil, lalu menatap suaminya. “Jadi… semua mual dan emosi tak stabil mu itu benar benar dari bayi ini?”
Pangeran Wang mengangguk, matanya hangat. “Kurasa… dia sangat ingin membuatku merasakan sebagian dari apa yang kau rasakan.”
Zhao menyentuh tangannya yang memeluk pinggangnya dari belakang. “Kau tak keberatan?”
“Kalau itu untukmu… dan untuk anak kita, aku tak keberatan merasakannya tiap hari,” ucap pangeran Wang lirih sambil mengecup kepala Zhao.
Keduanya menatap langit biru di balik jendela yang terbuka lebar.
“Kau ingin anak perempuan atau laki-laki?” tanya Zhao pelan.
“Laki-laki atau perempuan… asalkan dia anakmu, aku pasti mencintainya,” jawab pangeran Wang tenang.
Zhao tersenyum lembut. “Aku ingin pangeran kecil sepertimu… lalu diikuti adik-adik perempuannya.”
Pangeran Wang tertawa pelan. “Kalau begitu… kita harus rajin bekerja setelah yang satu ini lahir.”
Zhao memukul pelan dadanya, tapi tak bisa menyembunyikan tawa manis di wajahnya.