Rela melawan dunia hanya untuk melindungi satu wanita yang bernama Aruna.
Leonardo De Satis, Pria penguasa bawah tanah, terobsesi dengan seorang gadis yang telah menyelamatkan hidupnya di tengah hujan. Namun obsesinya menjadi kelemahan dan target musuh. Demi Aruna, Leonardo melawan dunia, tak memberi ampun siapa pun yang menyentuhnya. Namun kehidupan yang di isi dengan darah Akhirnya membawa luka.
Mampukah Leonardo selamanya melindungi Aruna?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dina Auliya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Api Menyala Diparlemo
Udara di kebun zaitun itu mendadak terasa berat. Angin yang tadi sejuk kini seakan membawa ancaman. Aruna berdiri kaku di balkon vila tua, matanya terpaku pada cahaya lampu mobil yang menyorot liar.
“Elena…” suaranya pecah, “itu dia. Itu Leonardo.”
Elena sudah memegang pistol dengan tangan mantap. “Masuk ke dalam, Aruna. Jangan keluar sampai aku bilang aman.”
Aruna tidak bergerak. Tubuhnya bergetar. “Aku… aku tidak bisa. Aku takut.”
Elena menoleh cepat, menatapnya tajam. “Takut bukan alasan untuk kembali ke neraka. Kau sudah melangkah sejauh ini, jangan hancurkan dirimu sekarang.”
Kata-kata itu menampar Aruna, tapi hatinya tetap tercabik. Bayangan wajah Leonardo, tatapan matanya, suaranya yang penuh obsesi—semuanya menjerat pikirannya.
Pintu SUV hitam terbuka. Leonardo melangkah turun dengan jas gelap yang berkibar diterpa angin. Marco menyusul di belakangnya, wajahnya tegang, matanya menolak menatap langsung ke vila.
Leonardo mendongak, matanya langsung menangkap sosok Aruna di balkon. Untuk sesaat, waktu berhenti.
“Aruna…” gumamnya.
Suara itu, meski lirih, menembus malam dan menusuk jantung Aruna. Air matanya jatuh tanpa bisa dicegah.
“Leo…” bisiknya, tubuhnya goyah.
Elena segera menarik Aruna masuk ke dalam. “Jangan biarkan emosimu menghancurkanmu!”
Leonardo menatap balkon yang kini kosong. Rahangnya mengeras. “Kau di sana. Dan kau bersembunyi dariku. Itu berarti kau sudah memilih lawanmu.”
Aruna duduk di sofa tua, tubuhnya gemetar hebat. Elena menurunkan tirai jendela, lalu memeriksa senjatanya.
“Dengar aku, Aruna. Malam ini kita mungkin tidak bisa menghindari kontak langsung. Tapi kau harus tetap di belakangku. Apa pun yang terjadi, jangan dekati Leonardo.”
Aruna menggeleng cepat. “Aku… aku tidak bisa menjanjikan itu.”
“Elena!” teriaknya dengan suara bergetar. “Kau tidak mengerti. Aku masih mencintainya!”
Elena menahan napas, menatap Aruna dengan sorot penuh empati sekaligus kecewa. “Cinta tidak seharusnya membuatmu tawanan.”
Aruna menunduk, tangisnya pecah. Ia tahu Elena benar. Tapi hatinya… hatinya tetap terikat pada Leonardo.
Dari luar terdengar suara langkah kaki. Beberapa anak buah Leonardo sudah mengepung vila. Mereka tidak langsung menyerbu, menunggu perintah sang bos.
Leonardo berdiri di depan gerbang besi vila, tangan terlipat di dada. Ia tidak perlu teriak. Aura dinginnya saja sudah cukup memberi sinyal siapa penguasa malam itu.
“Aruna!” suaranya menggelegar, memecah keheningan. “Keluar. Aku tidak akan melukaimu. Aku hanya ingin kau pulang.”
Aruna berdiri spontan, hampir melangkah ke pintu, tapi Elena menahannya keras. “Jangan!”
Air mata Aruna jatuh deras. “Dia… dia bilang tidak akan melukai aku.”
Elena menatapnya tajam. “Ya. Tapi dia akan membunuh siapa pun yang mencoba menjagamu. Termasuk aku.”
Aruna terdiam, tubuhnya kaku.
Di luar, Marco mendekat ke Leonardo. “Bos, izinkan saya masuk lebih dulu. Biarkan saya bicara dengan dia. Mungkin…”
“Diam,” potong Leonardo dingin. “Kau sudah cukup berkhianat malam itu. Jangan uji kesabaranku lagi.”
Marco terdiam, wajahnya tertunduk. Tapi dalam hatinya, konflik semakin dalam. Ia tahu jika Leonardo benar-benar masuk, darah akan tumpah. Dan Aruna… Aruna akan semakin hancur.
Pintu vila berderit terbuka. Elena melangkah keluar dengan pistol teracung. Lampu-lampu mobil menyinari wajahnya.
“Leonardo De Santis,” suaranya dingin. “Aruna bukan milikmu. Dia manusia bebas, dan malam ini dia memilih untuk pergi darimu.”
Leonardo menatap Elena tanpa berkedip. Senyum tipis terukir di bibirnya. “Kau pikir kau bisa menyelamatkannya? Kau hanya alat. Dia hanya milikku. Dan siapa pun yang menyentuhnya… akan mati.”
Elena menguatkan cengkeraman pada pistol. “Kau tidak akan menang melawan kebenaran.”
Leonardo tertawa rendah. “Kebenaran? Dunia ini tidak peduli pada kebenaran. Dunia hanya tunduk pada kekuatan.”
Aruna di balik pintu mendengar setiap kata itu. Tubuhnya semakin gemetar. Dua dunia yang sama-sama menuntutnya berdiri di hadapannya.
Tiba-tiba, salah satu anak buah Leonardo tidak sabar dan mengangkat senapan. Tembakan peringatan meletus, menghantam dinding vila.
Aruna menjerit. Elena segera menariknya jatuh ke lantai. Kekacauan pecah. Agen-agen Interpol dari dalam vila membalas tembakan. Api senjata bercahaya di malam gelap.
Leonardo berdiri tenang di tengah hujan peluru, wajahnya dingin, seolah kekacauan itu hanya angin lalu.
“Aruna!” ia berteriak lagi, suaranya menembus semua kebisingan. “Keluar sekarang, atau mereka semua mati di depan matamu!”
Aruna menutup telinga, menangis histeris. Elena mencoba menenangkannya, tapi tubuh Aruna memberontak. “Aku harus pergi padanya! Kalau tidak… dia akan membunuhmu!”
“Elena…” tangannya meraih lengan sang agen, mata Aruna penuh putus asa. “Biarkan aku bicara dengannya. Hanya sebentar. Kumohon.”
Elena terdiam. Di balik keberaniannya, ia tahu Aruna sedang berada di tepi jurang.
Pertempuran berhenti sejenak. Kedua pihak menahan napas, menunggu. Pintu vila perlahan terbuka kembali.
Aruna keluar, langkahnya gontai, wajahnya penuh air mata.
“Leo…” suaranya pecah.
Leonardo menatapnya, untuk pertama kalinya wajahnya menegang penuh emosi. Ia melangkah maju, membuka kedua tangannya seolah ingin merangkul.
“Aruna. Pulanglah. Aku tidak butuh dunia. Aku hanya butuh kau.”
Aruna berdiri terpaku di tangga vila. Di belakangnya, Elena berteriak, “Aruna, jangan! Itu jebakan!”
Di depan, Leonardo menatapnya dengan mata penuh api. “Pilih, Aruna. Aku atau mereka.”
Udara malam membeku. Semua mata tertuju pada satu sosok rapuh yang berdiri di tangga vila—Aruna.
Tangannya gemetar, tubuhnya goyah. Di satu sisi, Elena dengan pistol terangkat, mewakili kebebasan. Di sisi lain, Leonardo dengan tatapan membakar, mewakili cinta sekaligus penjara.
“Aruna…” suara Leonardo serak. “Jangan khianati aku lagi.”
Elena berteriak, “Aruna! Lihat siapa dia sebenarnya! Lihat darah di tangannya!”
Aruna menutup mata, air mata deras mengalir. Ia tahu keputusannya malam ini akan menentukan segalanya.
Lalu ia membuka mata…