Clarisa Duncan hidup sendirian setelah keluarganya hancur, ayahnya bunuh diri
sementara ibunya tak sadarkan diri.
Setelah empat tahun ia tersiksa, teman lamanya. Benjamin Hilton membantunya namun ia mengajukan sebuah syarat. Clarissa harus menjadi istri, istri kontrak Benjamin.
Waktu berlalu hingga tiba pengakhiran kontrak pernikahan tersebut tetapi suaminya, Benjamin malah kecelakaan yang menyebabkan dirinya kehilangan ingatannya.
Clarissa harus bertahan, ia berpura-pura menjadi istri sungguhan agar kondisi Benjamin tak memburuk.
Tetapi perasaannya malah semakin tumbuh besar, ia harus memilih antara cinta atau menyerah untuk balas budi jasa suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nula_w99p, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Pagi sudah tiba, kini Benjamin maupun Clarissa sedang bersiap untuk pergi ke kantor. Hari yang tidak di tunggu datang lebih cepat, padahal perasaan baru satu detik lalu keduanya tertidur.
Clarissa memoles wajah dengan berbagai produk make-up, sebisa mungkin harus terlihat bagus namun harus cepat agar tak menghabiskan waktu yang dia punya.
Sementara di kamar lain, Benjamin sedang mengenakan kemeja putih dan setelahnya langsung menutupi kemeja tersebut dengan jas. Ia juga sudah merapikan rambut, kini hanya tinggal memakai dasi dan jam tangan.
Clarissa yang sudah selesai kemudian memasuki ruang ganti di kamar sebelah, ia melihat suaminya sedang mencoba memasang dasi.
''Mau aku bantu?'' Clarissa menawarkan bantuan pada suaminya yang terlihat kesusahan di matanya.
''Yah kalau kamu mau,'' Benjamin tentu bisa memasang dasi begitu. Ia sudah lama tinggal sendiri, kalau hanya begini ia tak perlu meminta bantuan orang lain. Tapi berbeda dengan istrinya, ia ingin lebih dekat dengannya.
Clarissa mendekat, lalu memegangi dasi tersebut. Sementara ia fokus pada dasi, Benjamin masih sangat penasaran dengan bibir istrinya ini. Ia sampai menelan ludah, entah apa alasannya. Clarissa sendiri pun menyadari tindakan suaminya, ia mencoba mempercepat memasang dasi tersebut.
''Tidak usah terburu-buru, kita tidak akan kena marah walau terlambat.'' Benjamin pikir istrinya takut telat pergi ke kantor, ia tak tahu saja Clarissa takut dirinya di terkam oleh singa yang ada di depannya ini.
''Mungkin kita bisa sedikit memanfaatkan waktu yang tersisa,'' Benjamin mendekatkan wajahnya pada Clarissa. Hanya tinggal beberapa inci bibir keduanya bersentuhan.
''Ben, sudah selesai. Ayo kita pergi.'' Clarissa membalikan tubuh dan segera pergi menjauh dari letak Benjamin berada.
Benjamin terkekeh sambil memakaikan jam di tangannya, setidaknya ia bisa melihat rona merah muda di pipi istrinya. Akan ada banyak kesempatan nanti untuknya melakukan itu, tak usah terburu-buru. Dia sendiri bingung apakah bisa menahan diri! Ia tinggal berdua bersama perempuan yang ia cintai selama pernikahan kontrak ini, selama dua tahun tapi sekarang berbeda. Keduanya selalu berdekatan atau Benjamin yang menempel pada Clarissa. Ia yakin bisa melindungi Clarissa dari apapun yang akan menyakitinya di dunia ini tetapi tak merasa yakin bisa melindungi istrinya dari dirinya sendiri.
Clarissa berada di lantai bawah, ia terus melangkahkan kakinya ke sana ke mari. ''Aduh kenapa aku begitu,'' Clarissa merasa tindakan menghindarnya sangat tidak bagus tapi ia sungguh tak ingin melakukannya sekarang.
Clarissa memegangi bibirnya yang hampir saja bersentuhan dengan bibir suaminya, ''bisa gila aku.'' Ia tak bisa menyingkirkan pikirannya tentang tindakan Ben tadi. Hanya tinggal beberapa detik lagi, kalau Clarissa tak segera menjauh mungkin bibir keduanya benar-benar akan bersatu.
Ben keluar dari kamar atas, ia menuruni tangga sambil tersenyum lebar ke arah istrinya.
''Sudah selesai?'' Benjamin bertingkah biasa seperti tak pernah melakukan tindakan di ats tadi. Sepertinya hanya Clarissa yang terlalu berlebihan memikirkan ini.
Clarissa mengangguk, ''sudah.'' Keduanya keluar dari rumah dan berdiam sejenak di luar ruangan. Menunggu supir mengeluarkan mobil dan mengantar mereka.
''Oh iya, orang tadi adalah Liam. Saat kita menikah, dia sudah menjadi supir di sini.'' Clarissa memberitahukan yang dia ketahui, ia tak begitu tahu tentang supir yang sepertinya sudah lama bekerja di sini. Dia orang yang misterius sekali, Clarissa jarang mendengar Liam berbicara selain untuk menjawab pertanyaan dari Tuannya.
''Ah begitu,'' Benjamin menjawab sambil mengangguk pelan. Sejujurnya ia tak peduli dengan informasi ini, ia juga tak begitu tahu tentang Liam. Dan yah sepertinya dia adalah orang suruhan dari Morgan, Ayah Benjamin.
Beberapa saat kemudian mobil sudah ada di hadapan keduanya, sang sopir membuka kedua pintu tuan dan nyonya nya akan duduk satu persatu. Baru kemudian melajukan mobil dengan kecepatan sedang.
Suasana sunyi nan dingin terasa di dalam mobil selama beberapa menit, Clarissa menunggu suaminya berbicara begitu pula sebaliknya. Ben sedang menunggu Clarissa menanyakan sesuatu atau ingin membicarakan apapun.
''Aku sedikit gugup,'' Benjamin akhirnya mengatakan sesuatu setelah menyerah menunggu istrinya berbicara duluan.
Liam, orang yang menyetir melirik ke belakang dari kaca kecil. Ia agak kaget mendengar suara itu ternyata berasal dari Tuannya. Sejak bekerja sebagai supir selama lebih dari tujuh tahun, ia tak pernah mendengar kalimat seperti itu yang muncul dari mulut Tuannya.
''Kamu mau permen?'' Clarissa mengeluarkan permen rasa stroberi dari tas yang ia bawa.
Ben tertawa pelan, ia tak menyangka istrinya membawa sesuatu seperti permen. Sepertinya yang benar-benar sedang gugup sekarang adalah istrinya. Dia sangat terlihat tak nyaman, bahkan keringat dingin ada di dahi perempuan itu.
''Kamu bawa tisu?'' Benjamin bertanya setelah mengambil dan memakan permen yang Clarissa tawarkan tadi.
Clarissa mengangguk dan memberi beberapa helai tisu pada suaminya. Ia tak menyangka ternyata tisu tersebut Ben gunakan untuk mengelap keringat di dahi Clarissa.
''Ee.. Tidak usah, aku bisa sendiri.'' Clarissa menarik tangan Ben lalu mengambil tisu di tangan lelaki yang sengaja membersihkan keringat nya itu.
Benjamin semakin membuat heran Clarissa, dia terus memperhatikan perempuan di sampingnya ini. ''Kenapa kamu terus melihatku, katanya kamu gugup.'' Clarissa sama sekali tak melihat ekspresi gugup di wajah suaminya. Apa dia sengaja berbohong agar dirinya bisa jujur kalau sedang gugup.
''Aku melakukan ini karena gugup, saat memandang mu aku jadi merasa tenang.'' Benjamin tak bohong, tetapi detak jantungnya berdetak kencang melebihi saat dirinya sedang gugup.
Liam kembali meneliti situasi di dalam mobil, ia semakin di buat terkejut melihat Tuannya bertingkah seperti orang lain. Atau ini benar-benar dirinya?
''Ben,'' Clarissa menyadari Liam sedang memperhatikan keduanya. Ia memberi isyarat, bahwa orang yang sedang menyetir sedang melihat kita. Ia sedikit malu kalau sampai Liam melapor ke Tuannya yang sebenarnya. Clarissa pikir Liam adalah mata-mata yang di kirim Morgan.
''Ekhm,'' Benjamin membuat suara seolah sedang batuk. Ia melirik Liam dari kaca kecil di depan mobil, jangan terus melihat. Ucapan yang ingin dia sampaikan pada laki-laki yang sedang menyetir itu.
Liam menyadari makna dari lirikan Tuannya, ia ia tak lagi melihat pada keduanya.
''Sebentar lagi kita sampai,'' Clarissa bergumam. Jantungnya berdebar tak karuan, ia akan berhadapan dengan beberapa wartawan yang selalu ada di sekitar perusahaan Hilton.
''Pelan kan mobilnya,'' Benjamin meminta Liam tak terlalu terburu-buru membawa mobil yang kini sedang mereka tumpangi.
Ia tahu istrinya sedang merasakan perasaan takut sekaligus gugup, sebaiknya menunggu beberapa saat dahulu di sekitar sini tapi Clarissa pasti akan menolak.
''Sayang,'' Benjamin membuka lebar-lebar tangannya. ''Kalau kamu memelukku, kamu tidak akan gugup lagi.''
Serius dia mencari kesempatan di saat seperti ini?
To be continue....