NovelToon NovelToon
Si PHYSICAL TOUCH

Si PHYSICAL TOUCH

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Beda Usia / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Harem
Popularitas:949
Nilai: 5
Nama Author: gadisin

Edam Bhalendra mempunyai misi— menaklukkan pacar kecil yang di paksa menjadi pacarnya.

"Saya juga ingin menyentuh, Merzi." Katanya kala nona kecil yang menjadi kekasihnya terus menciumi lehernya.

"Ebha tahu jika Merzi tidak suka di sentuh." - Marjeta Ziti Oldrich si punya love language, yaitu : PHYSICAL TOUCH.

Dan itulah misi Ebha, sapaan semua orang padanya.

Misi menggenggam, mengelus, mencium, dan apapun itu yang berhubungan dengan keinginan menyentuh Merzi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gadisin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Baju dan Tato

"Apa yang akan anda lakukan setelah saya membuka baju?"

Mendengar Ebha yang mengajukan pertanyaan juga membuat Merzi memundurkan langkah tapi satu tangan Ebha menahan pinggangnya.

"Mau kemana?"

"Merzi tidak meminta ciuman dan Ebha masih menolak juga. Pergilah ke kamar jika Ebha kembali menolak permintaan Merzi."

Ebha meremas pelan pinggang Merzi membuat gadis itu menatap dirinya. "Kalau begitu lakukanlah apa yang ingin nona lakukan."

"Jangan memaksakan diri, Ebha."

"Nona ingin melepaskan baju saya, bukan? Maka lakukanlah. Saya tidak memaksa diri dan tidak keberatan."

Merzi menatap ke dalam mata Ebha. Dan yang didapatinya adalah wajah pasrah dan rela. Gadis itu bergerak menaikkan sweater Ebha keatas. "Tidakkah Ebha merindukan Merzi?"

"Kita dua puluh empat per tujuh selalu bertemu."

"Itu artinya Ebha tidak rindu?"

"Saya hanya merasa ganjil jika nona mendiamkan dan tak melirik saya sama sekali."

Merzi menarik sebelah sudut bibirnya. "Jadi Ebha ingin Merzi selalu berceloteh?"

"Ya, Nona." Ebha membungkuk dan membantu Merzi meloloskan sweater-nya dari leher. Nasib sweater itu sama dengan dress Merzi. "Tolong jangan mendiamkan saya, Nona Merzi. Dan maafkan kesalahan saya yang membuat nona marah pada saya."

Telunjuk Merzi menyentuh bentuk tubuh Ebha dibalik kaos ketat yang lelaki itu kenakan dibalik sweater tebalnya. Dia mengabaikan permintaan maaf Ebha.

"Ayo keluar. Ebha pasti lelah karena berdiri cukup lama." Ucap Merzi sudah menarik tangan Ebha tanpa mendengar protes.

Gadis itu menggiring Ebha ke dekat kasurnya. "Duduklah." Katanya mendorong dada Ebha agar duduk dipinggir kasur.

"Maaf, Nona, tapi jangan disini. Lebih baik saya duduk di sofa saja."

"Merzi maunya Ebha duduk disini."

Ebha menghela napas. Lelaki jangkung itu akhirnya mendaratkan bokongnya diatas kasur empuk Merzi.

"Mundur sedikit." Ebha menurut lagi. "Sedikit lagi, Ebha. Nah, iya seperti itu." Lalu Merzi mengambil ancang-ancang untuk duduk diatas pangkuan Ebha— kesekian kalinya.

Sebenarnya bukan hal seperti ini juga inginnya Ebha. Sungguh posisi mereka begitu intim untuk ukuran seorang bodyguard dan tuannya.

Setelah mengambil posisi enak, Merzi tanpa sengaja melihat ukiran dibalik lengan kaos Ebha. Dia menyentuhnya. "Eh, Ebha mempunyai tato?"

Ebha melirik Merzi dengan sedang mengintip tatonya. "Punya, Nona."

"Boleh Merzi lihat?"

"Tentu." Ebha menaikkan lengan kaos pendek dan memperlihatkan tato kudanya pada Merzi. Gadis itu terlihat begitu antusias.

Merzi melihat dengan seksama. "Kuda?" Ebha mengangguk. "Kenapa Ebha membuat tato kuda?"

"Tidak ada alasan yang pas. Saya hanya suka pada kuda."

Merzi menganggukkan kepala. "Ebha bisa berkuda?"

"Bisa. Tapi saya sudah lama tidak melakukannya."

"Bagaimana jika akhirnya pekan kita pergi berkuda? Sepertinya akan seru. Bagaimana?"

"Boleh. Saya akan ikut kemanapun nona pergi."

"Merzi akan meminta pada ayah." Gadis itu memperbaiki duduknya. Tangannya mulai bergerak memegang-megang badan Ebha. "Bolehkah Merzi mencium tangan Ebha?"

"Nona bisa melakukannya tanpa ijin dan bertanya seperti sebelumnya. Omong-omong, apakah nona belum memaafkan saya?"

Merzi mendaratkan satu kecupan diatas tato Ebha lalu menarik kembali kepalanya dan menatap Ebha. "Apakah Ebha melakukan kesalahan?"

"Saya rasa begitu."

"Kalau begitu kesalahan apa yang Ebha lakukan?"

Ebha diam sejenak seperti ragu menyampaikannya. "Mungkin …. Soal saya menolak anda?"

"Menolak apa?"

Terdiam lagi Ebha. Lelaki itu menyentuh bibir tipis Merzi dengan jempol. "Menolak mengambil ciuman pertama nona."

Kali ini Merzi yang terdiam. Dia melihat Ebha yang menatap lekat bibirnya. "Sekarang, apakah Ebha masih akan menolak?"

Ebha menurunkan tangannya. "Kekasih anda yang berhak mendapatkannya, Nona. Saya punya tato yang lain. Apakah nona ingin melihatnya?" Tanya Ebha mengalihkan pembicaraan.

"Mana?"

Lelaki itu tak punya pilihan. Tato yang dimaksudnya adalah tato bulan dan bintang yang ada didada sebelah kirinya. Itu artinya Ebha harus membuka penutup atasan terakhirnya.

Ebha tak berucap lagi, dia segera menarik kaosnya keatas hingga dada polosnya terpampang dihadapan Merzi.

"Ini." Ucap Ebha menunjuk tatonya. Tapi lihatlah sang nona yang malah membuka mulutnya dan tak melihat pada apa yang ditunjuknya, melainkan mencari perhatian lain.

Dibawah alam sadarnya, Merzi mengusap perut kotak Ebha dengan kedua telapak tangannya. Matanya tak mampu menutup binar dan kagum. Baru kali ini dia melihat badan Ebha setengah telanjang. Bahkan ketika menciduk Ebha mandi lelaki itu menutup penglihatannya dengan handuk didepan dada.

"Nona Merzi."

"Ah, yeah? Mana tatonya, Ebha?"

"Disini, Nona, bukan disana. Saya sudah menunjuknya dari tadi."

Merzi yang mendapat sindiran kecil itu hanya memperlihatkan giginya yang rapi dengan cengiran khasnya.

Tangan kecil itu beralih mengusap tato Ebha yang lain. "Dari usia berapa Ebha membuat tato ini?"

Mata Ebha menyipit berusaha mengingat. "Tato bulan bintang ini sudah lama. Kalau saya tidak salah ingat ketika masih duduk dibangku SMA."

"Lalu kuda ini?"

"Sebulan sebelum saya menjadi bodyguard nona."

"Sakit tidak membuat tato-tato ini?"

"Lumayan. Tergantung orangnya. Nona ingin membuat tato juga?"

"Jika tidak sakit Merzi ingin."

"Nona bisa membuat tato kecil saja dulu. Mungkin inisial nama nona? M. Marjeta."

"M? Tapi Merzi lebih tertarik membuat huruf E disini." Merzi menunjuk pergelangan tangannya.

Kening Ebha berkerut. "E … untuk?" Sepertinya dia lupa namanya siapa sehingga bertanya demikian.

"Ebha. Edam Bhalendra. Ah, bikin M love E saja!"

Barulah Ebha menyadarinya. Lelaki itu tersenyum tipis mengikuti senyum lebar Merzi. "Kenapa ada nama saya?"

"Karena saya menyukaimu! Ck, kenapa Ebha semakin tua semakin bodoh?"

Ebha membulatkan matanya, pura-pura terkejut. "Nona mengatai saya bodoh?"

"Ya. Kenapa?" Merzi menekuk sikutnya diatas dada Ebha. Dagunya berpangku diatas tangannya dan menatap Ebha.

Ditatap dalam seperti itu membuat Ebha gugup. Sang nona sungguh begitu blak-blakan. "Nona benar. Saya memang menjadi bodoh dihadapan nona."

"Ebha mengakuinya."

"Semua demi kebahagiaan anda Nona Merzi."

Bibir Merzi berkedut dan dia tersenyum semakin lebar. Gadis itu mengganti letak tangannya yang kini memeluk tubuh lebar Ebha. Menyembunyikan rona merah dibalik pipi putihnya.

"Merzi semakin suka pada Ebha. Kenapa sih tidak mau menjadi kekasih Merzi saja?"

"Saya tidak bermaksud membuat nona suka pada saya. Dan tidak mungkin saya memacari majikan saya sendiri."

"Ucapan Ebha terlalu naif." Ujar Merzi merotasikan matanya. "Pacaran atau tidak, lihat saja, Merzi akan tetap mencium bibir Ebha. Huh, menyebalkan sekali laki-laki ini!" Merzi turun dari pangkuan Ebha.

Melihat itu Ebha segera menahan tangan sang nona. "Jangan marah, Nona. Maafkan ucapan saya yang lancang dan membuat anda kesal." Tentu Ebha tak ingin Merzi kembali merajuk dan menganggapnya seperti angin yang tak terlihat.

"Tunggu sebentar. Merzi hanya ingin ke kamar mandi."

Perlahan Ebha melepaskan tangan Merzi. "Baiklah, Nona."

Merzi menahan tawa. Ebha terlihat anak anjing yang sedang dimarahi. Sebelum masuk ke dalam kamar mandi dia melihat Ebha yang meraih kaosnya. "Jangan pakai itu! Jika tidak Merzi akan marah hingga tahun depan."

Tahun depan?

Hah, yang benar saja? Sehari saja tidak berbicara dengan Ebha hatinya gelisah dan pikirannya tak tenang. Apalagi jika setahun? Mustahil!

Ebha menurunkan kembali tangannya. Lelaki itu menghela napas lalu berjalan mendekati pintu kamar mandi. Sudah menjadi kebiasaannya yang tak bisa jauh dari Merzi dan keinginan hati untuk menjaga perempuan itu dari dekat.

Cukup lama Ebha menunggu Merzi, bahkan lelaki itu bersandar miring disamping dinding sambil memasukkan tangan ke dalam saku celana.

Hingga pintu kamar mandi terbuka dan menampilkan Merzi yang terkejut melihat kehadirannya.

"Ck, Ebha! Mengagetkan saja tau!"

"Maaf, Nona."

"Apa yang Ebha lakukan disini? Mau ke kamar mandi juga?"

"Tidak. Saya sedang menunggu anda."

"Menunggu? Kalau begitu bawa Merzi ke kasur." Kedua tangan Merzi terulur keatas. Senyumnya manis pada Ebha meminta untuk digendong.

Ebha menggelengkan kepala. Tapi dia merendahkan badannya lalu menyelipkan tangan dibalik lipatan lutut dan pundak belakang Merzi.

Sang nona muda begitu kegirangan. Kakinya bergerak-gerak dan tertawa kecil seperti mendapat sepotong es krim dari ibu.

Merzi mendekatkan wajahnya diantara ceruk leher Ebha yang mencium kulit lelaki itu. "Ebha selalu wangi."

"Nona juga." Ebha menurunkan tubuh ringan Merzi perlahan ditengah-tengah kasur.

Tak ingin Ebha menjauh, Merzi menarik leher Ebha yang dipeluknya lebih dekat. "Merzi ingin mencium aroma tubuh Ebha lagi."

Bulu kuduk Ebha meremang. Merzi lebih menakutkan ketimbang hantu.

"Ebhaaa."

Oke, panggilan itu. Membuat Ebha dengan gerakan pasti melepas sepatunya dahulu dengan kaki lalu naik mengurung tubuh kecil Merzi dibawahnya.

Sudah dikatakan, bukan, bahwa mereka seperti sepasang kekasih yang sedang kasmaran jika sedang berduaan di tempat yang hanya ada mereka berdua.

"Sungguh, nona adalah iblis kecil yang sulit saya tolak. Tampar atau dorong saya jika saya melampaui batas sebagai bodyguard, Nona."

Sekuat tenaga Ebha menahan diri. Tapi pesona Merzi begitu kuat. Suaranya. Rayuannya. Rengekannya. Dan Ebha ingin mendengar ekspresi lain dari Merzi. Desahannya.

Berikutnya Merzi tak menyangka Ebha akan menunduk lalu mengendus lehernya. Bukannya menghindar Merzi malah memiringkan kepala dan membuat ruang terbuka untuk Ebha.

Sebenarnya tindakan Ebha ini sudah melampaui batas yang diucapkannya tadi. Tapi lelaki itu ingin Merzi lah yang menghentikannya. Kerena Ebha tahu, gadis ini tak suka ada yang menyentuhnya kecuali ayah dan ibunya. Itupun cukup kecupan di pipi dan kening saja.

Dan Ebha adalah manusia yang beruntung bisa bersentuhan dan disentuh Merzi sesuka gadis itu.

"Ebha, apa yang—"

"—hentikan saya, Nona." Ebha beralih mengendus leher Merzi yang sebelah. Sebelah tangan pria itu kini memegang pelan leher kecil Merzi dibalik tangannya yang besar. Dengan leluasa dia memutar kepala Merzi ke kanan dan ke kiri sesuai inginnya.

Jantung Merzi berdetak lebih cepat. Dia meremas kuat pinggang Ebha tapi suaranya tiba-tiba tercekat tak mampu menghentikan lelaki bertubuh besar dan kekar ini.

"Marjeta …." Panggil Ebha suaranya yang berubah serak. Dia mengambil helaian rambut putih Merzi dan menghirupnya. Harum, sesuai dugaannya.

Panggilan Ebha membuat Merzi tersadar. Gadis itu meletakkan tangannya di perut Ebha. "Merzi, Ebha."

CUP!

Mata Merzi membulat. Ebha mencium … bibirnya!

1
_senpai_kim
Gemes banget, deh!
Diana
Aduh, kelar baca cerita ini berasa kaya kelar perang. Keren banget! 👏🏼
ASH
Saya merasa seperti telah menjalani petualangan sendiri.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!