Zevanya memiliki paras yang cantik turunan dari ibunya. Namun, hal tersebut membuat sang kekasih begitu terobsesi padanya hingga ingin memilikinya seutuhnya tanpa ikatan sakral. Terlebih status ibunya yang seorang kupu-kupu malam, membuat pria itu tanpa sungkan pada Zevanya. Tidak ingin mengikuti jejak ibunya, Zevanya melarikan diri dari sang kekasih. Namun, naasnya malah membawa gadis itu ke dalam pernikahan kilat bersama pria yang tidak dikenalnya.
Bagaimana kisah pernikahan Zevanya? Lalu, bagaimana dengan mantan kekasih yang masih terobsesi padanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naaila Qaireen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
SELAMAT MEMBACA
Hari beranjak siang setelah Wira dan Zevanya selesai memberikan perabotan rumah yang masih layak bahkan terlihat masih baru pada tetangga mereka. Susan yang ikut hadir dan membantu ditawari kulkas oleh Wira, wanita itu menerimanya dengan senang hati. Warga RT 10 terlihat antusias menerima barang-barang gratis tersebut, mereka mengucapkan terima kasih pada Wira maupun Zevanya.
"Dapat barang bekas aja senang," sinis Ibu Tri yang tangannya tengah terlipat di dada.
"Yeee, kenapa? Lu sirik, ya, nggak dapat kulkas gratis kaya gue." Susan pamer dengan membuka kulkas yang masih baru itu di depan Bu Tri yang sejatinya memang iri. Ia juga ingin mendapatkan benda pendingin itu, karena memang di rumahnya belum ada. Ibu-ibu lainya juga pamer panci dan wajan yang masih mengkilap. Peralatan dapur Wira memang masih baru, ia membelinya demi kenyamanannya memasak. Maklum, bos resto. Semua yang menyangkut peralatan masak, bahan makanan, harus sempurna dan berkualitas.
"Mana ada, situ aja yang norak baru lihat kulkas." Ibu Tri pergi setelah berkata sinis.
"Emang situ punya?" teriak Susan membuat ibu Tri semakin mempercepat langkahnya, dan lebih dongkolnya lagi kedua temannya tadi juga menerima barang dari Wira.
Setelah semua urusan selesai, Wira dan Zevanya pamit dari warga. Keduanya pun menaiki motor yang telah setia menemani mereka sejak awal pertemuan.
"Pegangan, Dek Aya." Wira menarik tangan Zevanya untuk memeluk pinggangnya.
"Siap, Mas Wira." Zevanya ikut berkelakar dengan nada yang ia buat semanis mungkin, baru kemudian ia tertawan diikutin suaminya yang mulai menjalankan motor.
"Kita makan siang dulu, ya. Baru pulang," ajakan Wira mendapatkan anggukkan kepala Zevanya yang bertengger di bahu kanannya.
"Loh, kok nggak pake helm?" pria itu baru menyadarinya dan segera memelankan laju motornya.
"Malas pakenya, kebesaran." Jawab Zevanya yang membuat suaminya itu memberhentikan kendaraan mereka.
Pria itu turun dari motor, meraih helm di tangan Zevanya. "Pake dulu, ya. Nanti kita beli yang baru yang pas sama kepala kamu. Bahaya kalau nggak pake helm!" ujar Wira tegas, namun masih dengan nada yang lembut. Gadis itu pun tak menolak, dan terus memandangi suaminya yang ternyata bisa cerewet juga.
"Kenapa? Kok, senyum?" Wira memicingkan mata. Zevanya tertawa lantas menggeleng.
"Makasih, Mas." Ujar Zevanya dan keduanya kembali menaiki kendaraan beroda dua itu.
***
"Ini, kamu pesan apapun yang kamu suka." Wira menyodorkan buku menu pada istrinya yang tengah kagum dengan restoran bergaya tradisional tempat mereka makan siang saat ini.
Restoran ini memadukan elemen kayu jati dengan ornamen ukiran khas Nusantara, tetapi tetap memberikan kesan elegan dengan pencahayaan yang hangat dan interior yang tertata rapi. Meja dan kursi kayu berdesain klasik dikombinasikan dengan sentuhan modern seperti dinding kaca yang memungkinkan pelanggan menikmati pemandangan kota.
"Kamu suka tempatnya?" Zevanya mengangguk, seraya menerima buku menu dari suaminya.
"Tradisional, tapi tetap terlihat mewah." Pendapat Zevanya, membuat Wira mengulum senyum. Siapa pun yang makan di sana dapat secara langsung melihat konsep restoran yang menghadirkan masakan khas Indonesia dalam suasana yang lebih nyaman, tetapi tetap mempertahankan unsur budayanya.
Pelayan datang membawa segelas teh hangat sebagai sambutan. Zevanya membuka menu, matanya berbinar melihat berbagai pilihan makanan yang familiar baginya. Ada nasi liwet lengkap dengan ayam goreng, tahu tempe, dan lalapan. Ada juga gurame bakar bumbu kecap, rawon, sop buntut yang menggiurkan, serta menu lainnya yang tidak dapat Zevanya jabarkan satu persatu.
"Ini beneran aku bisa pesan apa aja, Mas?" tanya Zevanya memastikan, matanya berbinar menatap terpaku pada menu yang terpajang.
"Hm, apapun." Jawaban suaminya membuat gadis itu semakin berbinar. Tetapi tak lama kemudian keningnya mengernyit, bingung memesan apa karena semuanya tampak enak. Jika ia memesan semuanya, perut kecilnya tidak akan muat, sayang jika nantinya mubazir.
"Kamu suka seafood?" tanya Wira ikut mengintip buku menu di tangan istrinya. "Di sini lobster saus Padangnya enak." Pria itu merekomendasikan.
Zevanya menggeleng, "Aku lebih suka ikan bakar," lalu kepalanya mendekati suaminya, seraya berbisik di telinga pria itu. "Lobsternya terlalu mahal," sontak saja Wira tertawa menyita perhatian dari pelanggan lain.
"Pesan aja kalau kamu memang mau, bebas, Mas yang bayar." Pria itu mengusap rambut istrinya membuat berantakan, si empunya merengut.
"Nggak ah, aku mau pesan satu ikan bakar, terus tambah sate maranggi dan nasi uduk spesial." Zevanya memberitahu pesanannya pada sang suami.
Wira memanggil pelayan, memberitahukan pesanan istrinya dan pesanannya. "Oh ya, sama lobster saus Padangnya satu." Zevanya terbelalak mendengar suaminya memesan makanan yang terbilang mahal tersebut, dan tanpa bersalahnya pria itu menoleh padanya.
"Kamu mau tambah apa?"
Zevanya tidak bisa berkata apa-apa lagi, "Nggak, nggak ada lagi, Mas." Ia hanya menginginkan pelayan pergi agar suaminya tidak menambah pesanan lagi.
Wira tertawa kecil melihat ekspresi pias di wajah istrinya, mengira-ngira apakah yang tengah dipikirkan gadisnya ini. "Kamu takut Mas nggak bisa bayar, ya?"
Zevanya menoleh, "Kok tahu?" pertanyaannya langsung mendapatkan sentilan sayang Wira. Gadis itu mengaduh, padahal tidak sakit. Ia sengaja membuat suaminya itu kelabakan.
"Maaf, Aya. Mas, nggak sengaja." Wira mencium kening istrinya itu. Kini giliran Zevanya yang kelabakan.
"Ihhhs, Mas. Ini di tempat umum, malu dilihat orang-orang." Zevanya protes, malah dibalas senyuman oleh suaminya.
"Jadi, kalau bukan tempat umum. Boleh donggg..." kelakarnya menaik-turunkan alis dan langsung mendapatkan cubitan sayang dari istrinya itu.
"Aduh... aduh... sakit, Sayanggg...." Panggilan itu sontak membuat Zevanya berhenti. Gadis itu menarik napas dan membuangnya perlahan, berusaha membuat dirinya tetap fokus pada suasana saat ini. Tidak terbawa pada kejadian gelap itu, dan rupanya berhasil walau tubuhnya menunjukkan reaksi sedikit tidak nyaman. Ia akan membuat dirinya terbiasa dengan panggilan ini tanpa harus mengingatkan dirinya akan lemari pengap itu.
Tak lama, aroma masakan dengan rempah khas mulai tercium, membuat perut semakin lapar. Pelayan menyajikan pesanan Wira dan Zevanya dengan telaten, juga menunduk hormat pada Wira yang dibalas anggukan singkat.
Baru saja ingin menyantap makanan yang terhidang, keduanya diganggu oleh tamu yang tak diundang.
"Hai, Sayang." Sapanya pada Zevanya dengan kurang ajar. Adrian tidak menyangka akan bertemu kembali secepat ini dengan kekasih yang berani memutuskannya secara sepihak. Padahal ia sudah mencari cara untuk bertemu dengan Zevanya yang bekerja dikediaman Sanjaya. "Wah, berani juga, ya. Kamu bawa Vanya ke sini. Lu tahu di sini tempat makan mahal. Rakyat miskin kaya lu itu nggak pantas bawa cewek ke sini, yang ada cewek nanti malu karna lu nggak bisa bayar. Ngerti?!" Adrian memasang wajah mencemoohnya yang ditunjukkan pada suami Zevanya.
"Vanya," Adrian beralih pada Zevanya. "Lebih baik kamu makan sama aku. Aku bakalan bayar semua yang mau kamu pesan, kamu mau, 'kan?"