Zevanya memiliki paras yang cantik turunan dari ibunya. Namun, hal tersebut membuat sang kekasih begitu terobsesi padanya hingga ingin memilikinya seutuhnya tanpa ikatan sakral. Terlebih status ibunya yang seorang wanita kupu-kupu malam, membuat pria itu tanpa sungkan pada Zevanya. Tidak ingin mengikuti jejak ibunya, Zevanya melarikan diri dari sang kekasih. Namun, naasnya malah membawa gadis itu ke dalam pernikahan kilat bersama pria yang tidak dikenalnya.
Bagaimana kisah pernikahan Zevanya? Lalu, bagaimana dengan kekasih yang terobsesi padanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naaila Qaireen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
SELAMAT MEMBACA
Wira melirik jam yang telah menunjukkan pukul 5 sore, dilepasnya kecamatan baca yang sejak tadi bertengger menemaninya bekerja. Rasa lelah tampak jelas di wajahnya, ia tidak pernah suka berhadapan dengan tumpukan dokumen serta data-data rumit dalam layar laptop. Jika bukan karena terpaksa, ia tidak akan ingin menekuri ini semua.
Deringan telepon menyita atensinya yang sedang membereskan meja kerja. Rasa lelahnya menguar tak kala membaca nama yang tertera di layar ponsel.
“Assalamualaikum, istriku.” Wira menyapa terlebih dahulu, senyumannya semakin merekah tak kala mendengar suara dari seberang yang tak lain istrinya—Zevanya.
“Waalaikumsalam, Mas.” Wira dapat mendengar nada malu saat istrinya itu menjawab, dapat ia bayangkan wajah istrinya itu menjadi memerah. “Pulangnya jadi jam 5, Mas?” suara Zevanya kembali terdengar.
“Hm. Ini mas lagi beres-beres mau pulang, Aya udah masak belum?” Wira mengapit ponsel di telinga, tangannya sibuk mencari earphone namun tidak ditemukan. Alhasil ia kembali membereskan meja kerjanya dengan satu tangan.
“Baru aja selesai, makanya tanya Mas kapan pulangnya, biar sekalian aku taruh masakannya di meja makan.” Langkah kaki Zevanya terdengar mondar-mandir di seberang sana.
Pembicaraan antara suami-istri itu berlanjut, ringan dan hangat sampai tak terasa meja kerja Wira telah rapi. Telepon pun diakhiri dengan satu dua kalimat penutup.
Wira menyimpan ponselnya di saku celana, setelah merasa tidak ada yang tertinggal ia pun keluar dari ruangannya.
“Sore, Pak.” Sambut Steven ramah dengan senyum tipisnya. “Apa ada yang tertinggal?” tanya sekretaris itu mengernyit tak kala adik dari bosnya ini berdiri di tempatnya, belum beranjak.
Wira menaikkan salah satu alisnya, “Kamu belum pulang?” tanyanya, pasalnya sekretaris kakaknya ini masih berkutat dengan layar laptop yang menyala terang.
“Oh, belum Pak. Saya akan pulang sebentar lagi,” jawab pria itu ringan, tanpa beban. Membuat Wira menyimpulkan satu hal.
“Umurmu seusia Evrand, kan?” Steven mengangguk. “Haisss, pulanglah lebih awal dan cari pasangan sana. Jika seperti ini terus, bisa-bisa jadi bujang lapuk.”
Entah nasihat atau sarkas, tetapi Steven tidak mengerti apa hubungannya dengan ia yang pulang terlambat. “Memangnya apa hubungannya dengan saya yang pulang cepat atau terlambat?”
Wira menggeleng miris, “Tentu saja ada hubungannya, dengan kamu memiliki pasangan akan ada seseorang yang menunggumu, dan menanyakan kepulangan.”
“Seperti bapak?”
“Ya, tidak hanya menunggu, istriku juga memasak untukku.” Pamernya semakin membuat iri jiwa jomblo. Steven selama ini memang belum memikirkan tentang pasangan, terlalu fokus dengan pekerjaan. Tetapi sekarang ia akan mulai memikirkannya.
“Sempatkan waktu untuk mencari pasangan,” Wira kembali mengingatkan, setelahnya ia melenggang pergi. Meninggalkan Steven yang kembali memikirkan perkataannya.
***
Di basement Sanjaya Group, Wira berjalan menuju tempatnya memarkirkan mobil. Suasana terlihat sunyi, legam, di tempat yang luas tersebut. Beberapa karyawan telah pulang menyisakan satu dua mobil mereka yang sepertinya lembur.
Bugh!
Baru saja ingin membuka pintu mobilnya, seseorang menabrak Wira dan memeluknya erat dari belakang. Wira tentu saja terkejut, namun beberapa detik kemudian ia tersadar dan berusaha melepaskan tangan yang melilitnya.
“Lepaskan!” tegasnya dengan sedikit membentak, Wira tidak tahu siapa yang memeluknya, tetapi ia tahu orang ini adalah seorang wanita dilihat dari jari tangannya yang memakai kuteks.
Wira merasa risih, berusaha keras melepaskan diri. Namun, wanita ini seperti ular yang melilit mangsanya.
“Yang, ini aku.” Suara itu, membuat Wira tahu siapa yang tengah memeluknya walaupun belum melihat wajahnya sama sekali.
“Kamu gila ya, Mira. Lepaskan!” Orang itu adalah Almira, istri Evrand kakaknya. Wira semakin berusaha terlepas dari lilitan wanita ini, dan usahanya tidak sia-sia. Ia berhasil terlepas dengan ringisan Almira yang kesakitan.
“Kamu menyakitiku, Rel.” Lirih Almira. Namun, Wira sama sekali tidak peduli. Tidak mendapatkan simpati, Almira pun menyampaikan tujuannya bertemu dengan mantan kekasihnya ini.
“Kamu tahu, aku sangat merindukanmu. Bahkan setelah menikah dengan Mas Evrand aku masih memikirkan kamu, bahkan... sampai sekarang.” Wanita itu memasang wajah sendu, suaranya lirih namun terdengar lembut. Berusaha menarik simpati lawan bicaranya, ia tahu Wira adalah pria yang tidak bisa melihat wanita merasa sedih. Dengan mata yang mengerjap, Almira kembali melanjutkan. “Aku merasa menyesal menikah dengan kakakmu, sebenarnya dari awal aku tidak ingin bersamanya dan mengkhianati cinta kita. Namun, kakakmu memaksa. Bahkan menjebakku, sampai aku tidak memiliki pilihan lain selain bersamanya. Varrel, aku masih sangat mencintaimu. Maukah kamu—“
Kata-kata Almira terhenti oleh tawa mengejek Wira, apa pria ini tidak percaya padanya. “Rel, kamu bisa menertawakan aku sepuasnya, tapi kamu harus tahu. Aku masih sangat mencintaimu. Maukah kamu kembali padaku, dan memulai semuanya dari awal?”
“Jangan harap!” ujar Wira, sarkas. “Rasa menyesalmu, aku tidak peduli. Itu urusanmu!” Wira memasukkan tangan ke dalam saku celana, memandang wajah wanita itu yang tampak sangat sedih mendengar kata-katanya. Tangannya mengepal, membuang wajahnya ke arah lain. Terus memandang wajah palsu wanita itu, membuatnya ingin memukulnya saja. Namun, ia masih waras.
“Berhentilah memasang wajah sok memelasmu itu, aku sama sekali tidak simpati.” Wira berdecak muak. Jika mengingat masa lalu, ia akan langsung menghibur wanita ini, apapun yang diinginkannya akan ia penuhi. Sungguh dirinya sangat bodoh saat itu. Syukurlah menjadi sadar ketika penghianat yang dilakukan wanita ini bersama Evrand terkuak tak kala keduanya menikmati malam yang begitu menggairahkan. Apanya yang merasa terpaksa? Bahkan jeritan kegilaan keduanya masih Wira ingat sampai sekarang.
“Jangan lagi membual di hadapanku, simpan semua omong kosongmu itu untuk suamimu yang tengah koma. Atau sekarang kamu merasa putus asa, sehingga datang padaku?!” sudut bibir Wira terangkat, “Kamu pasti sudah mengira, suamimu tidak akan sadar dan posisinya otomatis akan jatuh padaku. Makanya sekarang mulai mengincarku, bukan?!” Wira menaikkan salah satu alis.
Mata Almira terbelalak. Terkejut, tentu saja. Namun, dengan cepat wanita itu menetralkan wajahnya. Apa yang dikatakan Wira memang benar, tidak ingin kemewahan dan kenyamanan yang saat ini ia nikmati hilang begitu saja. Makanya mengincar mantan kekasihnya, jika suatu saat suaminya tidak akan bangun lagi. Tapi tentu ia tidak akan mengakui hal tersebut.
“Itu tidak benar, aku sama sekali tidak memiliki pemikiran seperti itu. Ini murni karena memang cinta kita yang masih bertahan,”
Wira memutar bola mata, “Hanya cinta mu saja, kalau aku sih sudah move on. Dan harus kamu tahu dan ingat serta tanamkan pada otak kecilmu itu. Aku sama sekali tidak ingin memungut sampah yang aku buang, apa lagi sampah tersebut telah menunjukkan dirinya yang memang layak untuk dibuang.” Wira menggeleng, lalu menutup hidung. “Tidak mungkin dipungut, karena sudah bau busuk.” Setelah mengatakan itu, Wira memasuki mobilnya.
Almira yang terdiam karena kata-kata kasar Wira segera tersadar ketika mobil pria itu mulai melaju. Ia berusaha menghentikan, namun tidak jadi karena pria itu melajukan mobilnya dengan kencang. Ia tidak ingin mati konyol.