Jiang Hao adalah pendekar jenius yang memiliki tangan kanan beracun yang bisa menghancurkan lawan hanya dengan satu sentuhan. Setelah dihianati oleh sektenya sendiri, ia kehilangan segalanya dan dianggap sebagai iblis oleh dunia persilatan. Dalam kejatuhannya, ia bertemu seorang gadis buta yang melihat kebaikan dalam dirinya dan mengajarkan arti belas kasih. Namun, musuh-musuh lamanya tidak akan membiarkannya hidup damai. Jiang Hao pun harus memilih: apakah ia akan menjadi iblis yang menghancurkan dunia persilatan atau pahlawan yang menyelamatkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhamar Sewu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 14 – Kuil Langit Senja
bab 14 – Kuil Langit Senja
Tapi Jiang Hao tidak bergerak.
“Aku tak akan membunuhmu. Biar kau hidup dan tahu bahwa semua yang kau bela... adalah kebusukan.”
Jiang Hao berbalik, meninggalkan Long Fei yang tergeletak tak berdaya. Bai Yue dan Ling’er mengikuti.
Tapi jauh di atas langit, seekor elang hitam beterbangan. Matanya memancarkan cahaya merah—dan dari tempat jauh, seorang lelaki tua sedang mengamatinya lewat cermin sihir.
“Tangan iblis itu… semakin kuat. Kirimkan Pasukan Malaikat Hitam. Jangan biarkan dia sampai ke Kuil Langit Senja.”
Langit berubah warna. Dari kelabu lembut menjadi ungu pekat. Angin membawa suara gemuruh yang aneh, bukan suara badai biasa—tapi seperti gaung mantra kuno yang dibisikkan ribuan lidah di kejauhan.
Jiang Hao menghentikan langkahnya. Bai Yue memutar tubuh, matanya menyipit.
“Mereka datang,” bisiknya.
Dari balik kabut hutan pinus, siluet-siluet mulai muncul. Bukan sekadar pembunuh biasa. Mereka bergerak dengan keheningan sempurna, tubuh mereka dibalut jubah hitam panjang yang terbuat dari sutra khusus, nyaris tak memantulkan cahaya. Wajah mereka tersembunyi di balik topeng malaikat tanpa ekspresi, putih mengilat dengan mata merah menyala.
Pasukan Malaikat Hitam.
Ling’er menggenggam erat tangan Jiang Hao. “Siapa mereka...?”
Bai Yue menjawab dengan nada datar, “Eksekutor bayangan Aliansi Persilatan. Jika mereka muncul, artinya dunia persilatan sudah menganggapmu ancaman nomor satu.”
Jiang Hao mengangkat tangan kanan beracun miliknya. Suara detak jantungnya seolah menggema dalam tulang.
“Bagus. Dunia sudah mengirim hakim-hakim sucinya.”
“Sekarang biar kutunjukkan... seperti apa iblis yang mereka ciptakan.”
Pasukan Malaikat Hitam menyerang dalam formasi segitiga, terlatih dan mematikan. Lima orang melompat dalam kecepatan tak kasat mata, pedang dan rantai terhunus ke arah Jiang Hao dan rombongannya.
Namun sebelum mereka menyentuh tanah—
Boom!
Satu ledakan racun ungu meletus dari tanah di bawah Jiang Hao, melemparkan dua eksekutor ke udara. Salah satunya mendarat tanpa kepala.
Bai Yue bergerak seperti bayangan, pedangnya menusuk leher musuh dari belakang. Dengan gerakan gesit, ia meluncur di antara dua lawan, memotong tendon mereka dan membuat mereka roboh tanpa suara.
Ling’er, yang biasanya hanya diam, merapalkan mantra pelindung yang pernah diajarkan tabib tua di lembah. Cahaya kehijauan membentuk dinding tak terlihat di sekeliling Jiang Hao, menahan hujan panah racun dari belakang.
Namun, musuh terlalu banyak.
Lebih dari dua puluh Malaikat Hitam kini mengepung mereka. Seorang dari mereka lebih tinggi dari yang lain—ia memegang bendera hitam bertuliskan satu kata: "Tegakkan."
Jiang Hao mengenal lambang itu.
“Zhao Jian...” desisnya.
Pria tinggi itu membuka helmnya. Wajahnya dipenuhi luka bakar lama, tapi matanya tetap tajam seperti pisau.
“Hukum adalah kebenaran, Jiang Hao. Kau adalah racun dunia persilatan. Sudah waktunya kau dimusnahkan.”
Jiang Hao tertawa, pahit. “Aku dulu juga percaya hukum. Tapi hukum siapa? Milik orang yang berkuasa?”
Tanpa bicara lebih lanjut, mereka berdua menyerang.
Zhao Jian adalah ahli teknik pedang rotasi. Pedangnya berputar seperti gergaji logam saat beradu dengan tangan Jiang Hao. Setiap serangannya menyebarkan gelombang tekanan udara yang merobek pohon di sekitarnya.
Namun, Jiang Hao berbeda dari dulu.
Setiap gerakan tangannya kini disertai aura kelam, seolah kegelapan itu sendiri hidup di bawah kulitnya. Dalam satu lompatan, ia menghancurkan pedang Zhao Jian dengan tangan kosong—dan menghantam dada pria itu.
Zhao Jian terlempar jauh, menabrak dua bawahannya.
Darah tumpah.
Pasukan Malaikat Hitam mulai mundur, menyadari kekuatan yang mereka hadapi bukanlah sekadar pembunuh buangan... tapi Iblis yang kembali untuk menuntut dunia.
Namun sebelum mereka semua bisa melarikan diri, Bai Yue memekik:
“Jangan biarkan mereka kabur! Salah satu dari mereka... menyimpan gulungan peta menuju Kuil Langit Senja!”
Jiang Hao menoleh cepat. Satu Malaikat Hitam memang kabur lebih awal—gerakannya licin dan nyaris tanpa suara.
Dengan satu dorongan telapak kaki, Jiang Hao mengejar. Dalam sekejap, ia melesat melewati pepohonan, meninggalkan Ling’er dan Bai Yue di belakang.
Kabut makin tebal.
Tapi Jiang Hao bisa merasakan kehadiran musuhnya melalui racun di tubuhnya—detak jantung lawan, pernapasan, bahkan kegelisahannya... semua terasa seperti nyanyian lembut di telinga iblis.
Ia melompat.
Tangannya mencengkeram punggung pria itu.
Satu sentuhan—dan tubuh itu membeku, urat nadi menghitam dalam sekejap.
Pria itu roboh, dan dari sabuknya, Jiang Hao menemukan gulungan sutra tua, dibungkus lapisan minyak pelindung. Ia membuka sedikit, dan senyumnya mengembang.
“Pintu menuju Kuil Langit Senja telah dibuka.”
Kabut mulai mengurai seiring fajar menyingsing. Jiang Hao berdiri di tebing tinggi, memandang cakrawala yang menyala jingga. Gulungan kuno di tangannya terasa hangat, seolah menyimpan napas dari masa lampau.
Bai Yue mendekat, darah masih mengering di ujung pedangnya.
"Isi gulungan itu... benar-benar petunjuk menuju Kuil Langit Senja?"
Jiang Hao mengangguk perlahan.
"Tak hanya petunjuk. Tapi juga... sebuah nama."
Ia membuka gulungan perlahan, memperlihatkan peta yang digambar dengan tinta merah tua. Di bagian bawah, terdapat tulisan tangan halus:
> Penjaga Kitab: Liang Xue – Sang Permaisuri Salju
Bai Yue tercengang.
"Itu tidak mungkin... Liang Xue telah mati dalam Peristiwa Gerbang Timur lima tahun lalu."
"Itu yang kita kira," balas Jiang Hao, suaranya serak.
"Tapi jika dia benar-benar masih hidup, maka dia menyimpan kunci untuk menyegel kembali racun di tanganku. Dan... kebenaran tentang siapa yang menjebakku."
Sementara itu, Ling’er yang duduk bersandar di batu besar menggenggam liontin miliknya—liontin tua dari kayu giok hijau. Saat gulungan dibuka, liontin itu bersinar samar.
"Giok ini... bergetar," ujarnya lirih.
Bai Yue menatapnya dengan curiga.
"Dari mana kau mendapat liontin itu?"
"Dari kakekku. Katanya, ini warisan dari seorang biksu di kuil terpencil."
Jiang Hao mendekat. Ia menyentuh liontin itu, dan mendadak... ia melihat bayangan: sosok wanita berambut perak berdiri di depan kuil salju, matanya menatapnya dengan pilu.
Liang Xue.
Seketika tubuhnya lemas.
“Dia memanggilku.”
---
*****
Perjalanan menuju Kuil Langit Senja tidak mudah. Kuil itu berada di Pegunungan Wujing, kawasan terlarang yang hanya bisa dilalui saat tiga bulan penuh menyinari langit malam. Tapi waktu mereka terbatas. Aliansi Dunia Persilatan pasti akan mengirim pasukan kedua—lebih besar, lebih kejam.
Di sepanjang perjalanan, mereka menghadapi jebakan tersembunyi, pemanah tak kasat mata, dan binatang buas hasil manipulasi racun—sisa eksperimen sekte lama tempat Jiang Hao berasal.
Namun perlahan, hubungan mereka bertiga tumbuh. Bai Yue mulai melunak, mengizinkan senyum kecil terselip di sela-sela malam. Ling’er, dengan segala kepolosannya, menjadi cahaya dalam hati Jiang Hao yang telah lama gelap.
Di salah satu malam dingin, Ling’er duduk di sampingnya.
"Kalau kau bisa sembuh... apa kau akan berhenti membalas dendam?"
Jiang Hao memandang api unggun.
"Aku ingin... Tapi dunia tidak akan membiarkanku hidup damai. Mereka sudah menyematkan cap iblis padaku. Maka aku akan menjadi iblis, sampai mereka sendiri yang meminta pengampunan."
Ling’er menggenggam tangannya.
"Tapi hatimu... belum mati."
To be continued ✍️
nyala lampu sedikit mmenerangi di dalam gua gunung berkabut.novel apa puisi.hhhhh