Mentari, seorang gadis pemalu dan pendiam dari Kampung Karet, tumbuh dalam keluarga sederhana yang bekerja di perkebunan. Meskipun terkenal jutek dan tak banyak bicara, Mentari adalah siswa berprestasi di sekolah. Namun, mimpinya untuk melanjutkan pendidikan pupus setelah lulus SMA karena keterbatasan biaya. Dengan tekad yang besar untuk membantu keluarga dan mengubah nasib, Mentari merantau ke Ubud untuk bekerja. Di usia yang masih belia, kehidupan mempertemukannya dengan cinta, kenyataan pahit, dan keputusan besar—menikah di usia 19 karena sebuah kehamilan yang tidak direncanakan. Namun perjalanan Mentari tidak berakhir di sana. Dari titik terendah dalam hidupnya, ia bangkit perlahan. Berbekal hobi menulis diary yang setia menemaninya sejak kecil, Mentari menuliskan setiap luka, pelajaran, dan harapan yang ia alami—hingga akhirnya semua catatan itu menjadi saksi perjalanannya menuju kesuksesan. Takdirku di Usia 19 adalah kisah nyata tentang keberanian, cinta, perjuangan, dan harapan. Sebuah memoar penuh emosi dari seorang gadis muda yang menolak menyerah pada keadaan dan berjuang menjemput takdirnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4. Cinta Terbagi Lagi
*📝** Diary Mentari – Bab 4**
“Rumah kami ramai oleh tawa, langkah kaki, dan suara panci di dapur. Tapi dalam hati, aku tahu… tidak semua yang ramai itu membuat kita merasa utuh.”***
⸻
Tahun 1999, aku pikir hidup kami sudah cukup berubah setelah kedatangan Raka, anak laki-laki yang menjadi anak angkat ayahku. Tapi ternyata perubahan itu belum selesai. Aku kembali menerima kabar bahwa sepupuku akan tinggal di rumah kami karena sekolah mereka dekat dari Kampung Karet. Tak hanya satu, tapi tiga sekaligus—tiga sepupu perempuan yang semuanya sedang duduk di bangku SMP.
Lalu, di tahun 2000, datang lagi satu sepupu perempuan dan satu anak kecil yang baru berusia lima tahun. Jumlahnya jadi lima. Rumah kami yang kecil sekarang harus menampung sembilan orang—dua orang tua, dua anak kandung, satu anak angkat, dan lima sepupu. Rumah itu jadi sangat ramai. Tapi hatiku justru makin sepi.
⸻
Aku dan Senja yang dulu tidur berdua, sekarang harus berbagi tempat dengan tiga sepupuku. Ayah menambahkan kayu di sisi dipan agar bisa cukup untuk lima orang. Kami tidur berhimpitan, berbagi selimut tipis, dan kadang berebut bantal. Tapi kami jarang mengeluh. Di rumah ini, belajar diam adalah hal pertama yang kupelajari dari kehidupan.
Kehadiran mereka memang membuat pekerjaan rumah terasa lebih ringan. Kami saling membantu menyapu halaman, mencuci pakaian, menimba air dari sumur di dekat sungai, mencari kelapa dan daun pakis untuk dijual. Kadang kami ke kebun membantu Ayah menanam jagung atau mengambil pisang. Tak jarang kami juga mencari kayu bakar dan menjualnya ke pasar kecil di desa sebelah untuk mendapat uang saku.
⸻
Tahun itu, kampung kami akhirnya mendapat listrik. Walau hanya menyala dari jam 6 sore hingga jam 4 pagi, bagi kami itu adalah kemewahan. Kami bisa menonton televisi—walaupun masih hitam putih, meski gambarnya sering kabur karena hujan, aku selalu menunggu hari Minggu. Satu-satunya hari yang membuatku merasa seperti anak-anak pada umumnya. Setidaknya aku bisa menonton tayangan anak-anak, tertawa sebentar, sebelum kembali menjalani hari-hari yang berat.
Namun semakin ramai rumah kami, semakin terasa bahwa cinta orang tua kami makin terbagi. Nenek dan Kakek pun kini lebih sibuk dengan cucu-cucu yang lain. Aku tidak iri. Tapi aku rindu masa-masa dulu, saat hanya aku dan Senja yang menjadi pusat dunia mereka. Kini, kalau aku ingin bercerita, aku tak tahu kepada siapa. Senja masih terlalu kecil untuk memahami, dan sepupuku tak punya waktu mendengarkan karena mereka pun sibuk.
⸻
Pertengkaran Ayah dan Ibu makin sering terjadi. Mungkin karena lelah. Mungkin karena tekanan. Aku tidak tahu pasti. Tapi hampir setiap malam, aku harus memeluk Senja sambil menutup telinganya dengan kedua tanganku agar dia tak mendengar teriakan mereka.
Aku sendiri kadang menangis diam-diam. Menunduk di sudut kamar, menulis di buku diary yang makin usang. Diary itu adalah satu-satunya tempat aku bisa bercerita tanpa takut disalahpahami. Tanpa harus menjawab balik. Hanya menulis dan merasa sedikit lega.
⸻
Malam itu, aku menulis:
“Hidupku seperti piring yang penuh, ditumpuk makanan sampai tak muat lagi. Tapi bukan makanan enak. Ini beban. Dan aku harus terus memakannya meski perutku sudah penuh. Aku ingin cepat pergi. Pergi dari rumah yang tak pernah benar-benar damai. Pergi dari pertengkaran, dari tatapan kosong Ayah, dan wajah letih Ibu. Aku ingin hidup yang baru. Tapi aku tahu, aku masih terlalu kecil untuk memilih jalan sendiri.”
⸻
Raka sebenarnya baik. Dia juga membantu. Tapi aku tahu, cinta orang tua kami yang tadinya utuh, sekarang harus dibagi ke banyak orang. Dan entah kenapa, aku merasa yang paling kecil dari semuanya.
Aku ingin memberontak. Tapi siapa yang bisa mendengarkan? Bahkan saat aku bersuara, rumah ini terlalu penuh untuk suara sekecil milikku.
Di antara semua hiruk-pikuk ini, aku merasa menjadi orang yang tidak terlihat. Dan pelan-pelan, aku belajar menerima bahwa kadang, cinta tidak selalu hadir dalam bentuk pelukan atau kata sayang. Kadang cinta hadir dalam bentuk nasi yang dimasak lebih banyak, baju yang dijahit ulang agar cukup dipakai bergantian, atau kayu yang dipasang di sisi dipan agar kami bisa tidur bersama-sama.
Tapi jujur saja… aku tetap merasa sepi.
Terimakasih untuk Author nya sudah berbagi kisah, semoga karya ini terbit
Aku selalu bilang ke ankq utk terbuka hal apapun dan jgn memendam.