Menutupi jati diri dari sang suami, Dilara Agnesia menjalani kehidupan pernikahan toxic demi masa depan adik-adiknya. Pernikahan tanpa cinta dengan seorang pria dingin tak berperasaan.
Mampukan Dilara meluruhkan sikap dingan Alan, suaminya dengan cintanya. Ataukan Dilara harus menerima terus dicampakan, hingga ia lelah dan memilih pergi?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzana Raisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tentang Perasaan
"Aneh, kenapa tidak diangkat?." Setengah menggerutu Alan memandangi ponsel pintar di tangan. Sedari tadi ia menghubungi Dilara namun takkunjung diangkat.
"Memangnya kemana dia?. Apa mungkin ke kamar mandi," tanya Alan pada diri sendiri. "Tapi kenapa lama sekali?."
Pria itu berdecak. Sudah lelah menghubungi sang istri dan tak kunjung mendapat tanggapan, Alan menjatuhkan bobot tubuhnya lagi di kursi kebesarannya.
Ini sudah waktunya makan siang, perutnya sudah terasa lapar tetapi kenapa tadi Dilara tak membawakannya bekal juga tak datang ke rumah sakit untuk membawakan makan siangnya?.
"Apa iya aku harus makan di kantin?." Terlaru sering memakan masakan Dilara membuat Alan enggan untuk memakan makanan yang bukan buatan dari istrinya. Terdengar aneh memang, sebab dulu dirinya lah yang kerap membuang makanan buatan istrinya dari pada memakannya.
Tak ada pilihan lagi, pada akhirnya membuat Alan makan siang Di kantin rumah sakit. Di tempat itu ruangan khusus tenaga medis dan keluarga pasien, sengaja dipisahkan demi kenyamanan.
Alan memesan beberapa menu makanan berat, puding dan potongan buah-buahan segar untuk pencuci mulut. Ketika mulai menyuapkan ke dalam mulut, kenapa makanan itu terasa aneh dan kalah jauh dari segi rasa jika dibandingkan dengan masakan Dilara?.
"Aneh, padahal dulu aku sering memakannya dan rasanya enak, tetapi kenapa sekarang rasanya jadi seperti ini?." Alan mengecap-ngecap rasa dari sup yang tengah disantap. Kenapa mendadak hambar dan tak seenak saat ia menikmatinya dulu?.
Alan menggeser mangkuk supnya secara perlahan. Rasa laparnya mendadak hilang. Tidak, ia tak ingin memakan makananan itu sekarang tetapi ingin masakan masakan Dilara.
Pria berkemeja warna cream itu hanya menenguk minuman dingin yang dipesan untuk mengisi perut. Sekali lagi ia memainkan ponsel untuk menghubungi kontak sang istri namun lagi-lagi tak dijawab.
"Ya, Tuhan. Sebenarnya dimana dia?." Alan kesal, baru kali ini dirinya begitu susah untuk menghubungi sang istri padahal dirinya sedang sangat ingin untuk berbicara. Ya, bukan ingin berbicara tentang hal penting tetapi tidak ada salahnya kan jika sekadar untuk bertanya hal-hal sepele mengingat mereka ini memang sepasang suami istri.
"Ehem."
Alan tersentak. Ia pun menggeser pandang dan mendapati Diego berdiri di belakangnya.
"Dokter Alan, bolehkah saya ikut bergabung?." Diego meminta izin, sedangkan Alan, pria itu hanya menggangguk samar sebagai isyarat."
"Oh, terimakasih." Diego mengambil posisi, memilih duduk di depan Alan hingga posisi kedua pria itu saling berhadapan, dan hanya meja sebagai pembatas.
"Dokter Alan, kenapa makananmu tak di makan," tanya Diego berbasa-basi selepas melihat makanan milik Alan yang nyaris tak disentuh.
"Aku sedang tidak berselera." Alan menjawab seringkas mungkin. Enggan berbasa-basi dengan pria yang kerap memancing emosinya.
Diego hanya manggut-manggut. Setelah seorang pelayan mengatar pesanan miliknya, Dokter muda itu pun langsung memakannya dengan lahap.
"Dokter Alan, maaf. Aku sedang sangat lapar." Diego tergelak. Pasalnya ia melihat Alan menatapnya begitu lekat saat dirinya makan sebegitu lahap. Maklum saja, ia memang benar-benar lapar.
"Tak masalah." Alan seperti ingin beranjak. Pria itu memasukkan ponsel dan beberapa barang lain yang sempat ia keluarkan saat ingin makan tadi. "Silakan, anda bisa menikmati makan siang dengan lebih nyaman. Saya permisi."
"Dokter, tunggu."
Alan yang sudah bangkit, terpaksa duduk kembali.
"Ada apa?."
Diego tergelak. Ia menatap lawan bicaranya lekat.
"Tumben anda makan di kantin, bukan setiap hari anda selalu membawa bekal atau istri anda yang cantik itu datang mengantarkannya."
"Itu sama sekali bukan urusan anda." Alan bangkit. Pria itu mendengar jika Diego tertawa di belakang punggungnya. Baru beberapa langkah menjauh, pria bernama Diego itu kembali membuatnya menghentikan langkah.
"Kenapa jika saya membahas tentang Dilara, anda jadi sesensitif ini, Dokter Alan."
Alan spontan berbalik badan, menatap tajam pada rekan sesama Dokter yang selalu membuatnya naik pitam.
"Kau tanya kenapa?. Bukankah kau tau jika Dilara itu istriku, dan aku tak suka pria mana pun menyenggol-nyenggol istriku, di hadapanku."
Diego tergelak lagi, dan itu seperti sedang mengejek Alan.
"Istri, maksudmu istri yang tak kau anggap?."
"Diam!."
Suara dingin Alan mengejutkan beberapa pekerja kantin yang sedang berada di tempat. Beruntung tak ada staf medis lain di sana.
"Dokter Alan, tidak perlu marah. Sebenarnya aku cukup tau dengan pernikahan kalian."
"Apa maksudmu?." Perasaan Alan mendadak tak menentu. Sebenarnya apa maksud Diego dengan berbicara seperti ini?.
"Aku tau tentang status pernikahan kalian. Anda yang berniat menolak tetapi Kakek anda terus memaksa. Saya juga alasan-alasan apa yang membuat Dilara mau dinikahkan dengan anda."
Alan mematung. Dunianya seakan terhenti. Satu sisi ia sedang menelaah ucapan Diego namun disisi lain, kenapa pria di depannya itu seperti tau banyak tentang rahasia pernikahannya, bahkan yang tak ia ketahui sekali pum.
Enggan memperpanjang masalah, Alan lekas berbalik badan dan menjauh pergi. Sementara Diego, pria itu tersenyum miring. Setelah ini, ia yakin jika rumah tangga Alan dan Dilara berada di ambang perpisahan. Jika itu benar, maka ia pun akan masuk untuk merebut Dilara dari tangan Alan.
💗💗💗💗💗
Alan mengepalkan tangan sampai buku-buku jarinya memutih. Amarah yang tersimppah hanya bisa ia salurkan dengan kepalan tangan. Dia tak ingin melukai diri atau pun melukai orang lain. Yang ia butuhkan kini adalah ketenangan dan pulang.
Isi kepalanya sungguh dipenuhi dengan Diego dan rahasia pernikahan yang diketahui Dokter muda itu.
Memang dia mendapatkan informasi itu darimana. Atau jamgan-jangan Dilara yang mengatakannya?.
Begitu pulang dan memasuki rumah, Alan melemparkan tas kerjanya di sofa begitu saja. Satu tujuannya adalah untuk mencari Dilara.
Di mana wanita itu. Pantas saja seharian ini dia tak bisa dibubungi apa jangan-jangan dia sudah pergi?.
Alan mencari Dilara dibeberapa tempat tapi tak ketemu. Sampai ia menuju lantai atas untuk mencari Dilara di kamar, dan benar saja. Perempuan itu sedang terlelap dengan selimut yang menutupi kaki sampai leher.
Alan terdiam sesaat. Menatap wajah Ayu Dilara yang kedua matanya terpejam rapat. Emosi dalam diri yang sempat memuncak, meluap seketika.
Pria berbadan tegap itu mendekat, dan secara tiba-tiba sudah dudul di tepi ranjang dan mengusap puncak kepala sang istri dengan perlahan.
Tubuhnya panas.
"Honey."
Dilara terusik dan terbangun. Ia senang melihat Alan ada di samping dan mengusap kepalanya. Suara perempuan itu terdengar lemah.
"Tubuhmu panas, kau sakit?." Alan bertanya, rasa khawatir tiba-tiba menjalar.
Dilara tersenyum tipis.
"Tidak, aku hanya sedikit tidak enak badan saja." Dilara memaksakan diri untuk bangun. "Honey, bolehkah aku memelukmu?."
Alan terdiam sejenak. Ia tatap wajah pucat sang istri yang sudah merentangkan tangan, ingin memeluknya. Pria itu dilema. Antara tak ingin menolak tetapi ucapan Diego tentang rahasia pernikahannya, kembali memenuhi isi kepala. Tubuh Alan mematung seketika.
"Honey, bolehkah aku memelukmu."
Tak mampu dicegah, Alan sponta menubruk Dilara sampai keduanya berpelukan. Sepasang mata kedua insan itu terpejam. Saling meresapi dan menikmati. Baik Alan atau pun Dilara sama-sama tak ingin melepaskan.
"Lara," panggil Alan.
"Ya," jawab Dilara yang masih bersembuyi di dada bidang sang suami.
"Boleh aku berbicara sesuatu?."
"Heem, ayo bicara saja. Aku akan mendengarkan." Alan mengusap rambut panjang Dilara yang tergerai.
"Sebagai pasangan apa kau tidak ingin mengungkan perasaan atau isi hatimu pada diriku ini?. Ya setidaknya jika kau ingin mengatakan sesuatu, atau apa pun itu yang menggambarkan tentang perasaanmu."
Dahi Dilara mengernyit.
"Maksudnya. Perasaan, tentang perasaanku." Dilara sempat tergelak. "Untuk apa, toh kita sudah menjadi suami istri. Ungkapan perasaan itu tidaklah penting, tetapi yang penting itu adalah kebersamaan. Bagaimana, kau setuju 'kan?." Dilara melepaskan pelukan, ia tatap wajah sang suami yang terlihat lain dari biasanya.
"O, seperti itu ya. Tidak terlalu penting, dan yang lebih penting itu kebersamaan?."
"Benar." Dilara mengangkat kedua jempolnya.
Disitu hati Alan terasa terhantam benda tak kasat mata. Begitu sakit. Benarkah ungkapan perasaan itu tidak penting sedangkan dirinya ingin mendengar jika Lara mencintainya.
Inilah yang Alan takutkan. Dirinya dan Dilara sudah menikah. Sudah saling menyatu dan hidup bersama lebih dari setengah tahun. Hubungan mereka mulai membaik, tetapi apakah Dilara tak pernah bisa merasakan cintanya. Dirinya berusaha berubah, menjadi lebih baik, untuk kehidupan pernikahan mereka kedepannya. Lalu untuk apa kerja kerasnya andai hati Dilara tidak untuknya?.
Tbc.
diperalat tok khannnn..kapok..
sekalian jengkol pas top markotop
kakek 👍👍👍👍
ditunggu kejutannya ya kek 🤗🤗
padahal aku udah nungguin upnya lohh
kelakuan kake ama alan
mengocok perutq thor🤣🤣🤣🤣🤣
astga naga
eitsss diego
mau mencelakai siapa??
apkh Dahlia
atw alan
tp q rasa tak mungkin
psti yg di incar yg Laemah
ya kan thor😁
diego diego
kasihannya u
obsesi mpe gangguan jiwa
ya ampun ferguso
"Melambai lambai"
boleh ga q tangkappp
wkwkwkkkk