Lima tahun cinta Shannara dan Sergio hancur karena penolakan lamaran dan kesalah pahaman fatal. Bertahun-tahun kemudian, takdir mempertemukan mereka kembali di atas kapal pesiar. Sebuah insiden tak terduga memaksa mereka berhubungan kembali. Masalahnya, Sergio kini sudah beristri, namun hatinya masih mencintai Shannara. Pertemuan di tengah laut lepas ini menguji batas janji pernikahan, cinta lama, dan dilema antara masa lalu dan kenyataan pahit.
Kisah tentang kesempatan kedua, cinta terlarang, dan perjuangan melawan takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RYN♉, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB : Hantaman Kenyataan
Tamparan Shannara mendarat telak di pipi Sergio. Suara itu cukup keras, memecah keheningan ruangan rawat yang sunyi.
Sergio tersentak mundur, bukan karena rasa sakit, tetapi karena keterkejutan atas reaksi instingtif Shannara.
Shannara menarik napas tajam, syok dengan apa yang baru saja dilakukan tangannya sendiri. Ia menatap telapak tangannya yang gemetar, lalu menatap mata Sergio yang kini dipenuhi keterkejutan. Rasa malu, amarah, dan ketakutan menyatu menjadi satu dorongan tunggal: melarikan diri.
"Aku—aku harus pergi," bisiknya, suaranya tercekat. Tanpa menunggu respons, Shannara berbalik, membuka pintu ruangan itu dengan kasar, dan berlari keluar. Langkah kakinya terdengar panik di koridor rumah sakit yang panjang. Ia berlari kencang, takut Sergio akan menyusulnya, takut pria itu akan marah.
Padahal, Sergio, yang ditinggalkan sendirian di ruangan itu, hanya tertawa kecil. Tawa rendah, gemas, dan penuh kemenangan. Ia menyentuh pipinya yang memerah bekas tamparan Shannara, merasakan denyutan panas di sana. Shannara telah bereaksi. Dia marah, dia panik, dan yang paling penting, dia merasakan ciuman itu. Sergio sama sekali tidak marah. Dia sudah memenangkan pertarungan itu, meskipun harus menerima satu tamparan sebagai piala.
Shannara kembali ke ruang rawat ibunya. Di sana, Hilda sudah tertidur pulas, wajahnya yang damai menipu semua masalah yang sedang terjadi. Ayah tirinya juga sudah terlelap di sofa tamu yang sempit.
Tidak ada tempat untuk Shannara merebahkan diri. Ia hanya duduk di sofa kecil yang tersisa, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih memburu.
Ia menyentuh bibirnya sendiri. Sentuhan Sergio, ciuman itu, masih terasa. Itu bukan ciuman lembut; itu menuntut, penuh dominasi, dan tanpa izin.
Namun, yang membuat Shannara semakin malu dan gugup, ia mengingat momen di tengah ciuman itu, ketika Sergio mencoba menggunakan lidahnya, Shannara … Ia meladeni. Lidah mereka sempat bergelut, pertukaran singkat yang ia lakukan tanpa sadar. Shannara meremas kedua tangannya di pangkuan. Rasa bersalah dan gairah yang ia tolak tadi malam kini terasa seperti racun yang menyebar di nadinya.
Ia menghabiskan sisa malam itu dalam posisi duduk, memaksa matanya terpejam. Namun, bayangan Sergio, tawa menggodanya, tatapan gelapnya, dan ciuman yang berakhir dengan tamparan terus berputar-putar. Ia tidak tidur lebih dari satu jam.
Pagi pun tiba. Padahal, Shannara merasa baru memejamkan mata sebentar, kenapa pagi tiba-tiba datang?
Hilda terbangun. Hal pertama yang ia tanyakan adalah soal Aldi.
Shannara memaksa dirinya tersenyum, menyembunyikan kelelahan semalaman. "Belum ada kabar, Bu. Tapi, Aldi sudah di tangan pengacara hebat, Pak Rendra. Ibu tahu sendiri, itu pengacara paling terkenal. Beliau pasti bisa membebaskan Aldi. Ibu nggak perlu khawatir, fokus saja sembuh."
Amira langsung sumringah. Jika sudah ditangani pengacara sekelas Rendra, dia tidak perlu khawatir lagi.
Shannara kemudian mengambil kesempatan. "Bu, hari ini aku ada kerjaan. Aku nggak bisa jagain Ibu di sini."
"Kerja apa?" tanya Amira ingin tahu.
Shannara ragu sejenak sebelum menjawab, "Aku akan jadi asisten pribadi dari artis Karina Kusuma."
Mata Amira berbinar-binar. Dia adalah salah satu penggemar berat Karina dan sering menonton sinetronnya. "Karina Kusuma?! Ya ampun, artis papan atas! Cepet sana, nanti terlambat!"
"Aku hanya sementara, Bu. Menggantikan Lisa," jelas Shannara.
"Yasudah, cepat pergi! Kerja yang benar, hasilkan uang buat keluarga, dan tebus rumah nenek kesayanganmu itu," dorong Amira, kembali santai setelah mendapat jaminan finansial dan hukum dari Shannara
Shannara hanya mengangguk, mengambil tasnya, dan segera pergi.
...----------------...
Setibanya di lokasi syuting yang berada di sebuah studio besar, Shannara langsung disambut oleh Monica, manajer Karina. Monica sangat ramah, menyambut Shannara dengan senyum lebar.
"Kamu Shannara, ya? Asisten sementara Karina. Ayo kemari! Karina belum datang, dia akan datang sebentar lagi. Aku duluan karena mau jelasin ke kamu apa saja yang perlu dan tidak perlu kamu lakukan," ujar Monica, dengan suara ceria namun efisien.
Monica sangat baik dan menjelaskan dengan sabar kepada Shannara, mengajarkannya banyak hal tentang jadwal, urutan pakaian, dan etika kerja dengan artis. Shannara mendengarkan, berusaha mencerna instruksi, tetapi pikirannya kacau.
Di sisi lain, Shannara merasakan degup jantungnya seperti genderang yang ditabuh kencang. Ia akan bertemu Karina Kusuma, istri sah dari mantannya, Sergio. Dan yang lebih menghantuinya, bayangan Sergio dan dirinya berciuman malam tadi terus muncul, seolah itu adalah flashback film yang diputar paksa di kepalanya.
Shannara merasa seperti seorang penipu, seorang pengkhianat, seorang wanita yang merebut suami orang lain dan mendekati istrinya demi mendapat keuntungan lain. Rasa bersalah menumpuk di dadanya, membuatnya sulit bernapas.
Bagaimana dia bisa menatap wanita itu dengan tenang? Bagaimana dia bisa menghadapinya, sementara bibirnya masih terasa panas karena ciuman Sergio?
Shannara semakin frustrasi. Ia merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya, ia merasa mual. Ia adalah musuh yang menyamar, berdiri di wilayah musuhnya, dan rasa bersalah itu mencekiknya. Ia hanya ingin Monica selesai bicara, atau lebih baik lagi, ia ingin menghilang sebelum Karina tiba.
"Nah, Shannara. Itu saja. Ada pertanyaan?" Monica tersenyum.
Shannara menggeleng cepat. "Tidak, Monica. Sudah jelas. Terima kasih banyak."
"Baik. Karina sebentar lagi sampai. Kamu bisa siapkan rack pakaiannya dulu, ya," kata Monica, menunjuk ke rak baja penuh pakaian.
Saat Monica pergi untuk menerima telepon, Shannara berjalan gontai menuju rak. Ia menyentuh bahan-bahan gaun Karina yang mahal, tangannya gemetar.
Ia tahu, Karina tidak bersalah. Karina adalah korban. Dan Shannara, tanpa ingin mengakuinya, kini adalah bagian dari pengkhianatan itu. Ia harus segera pergi dari tempat ini, atau dia akan meledak karena rasa bersalah.
Tepat pada saat itu, Shannara mendengar pintu studio terbuka, diiringi kehebohan kecil dari kru yang menyambut.
Karina sudah datang.
Shannara menarik napas dalam, memejamkan mata, dan berdoa agar ketakutannya tidak terlihat. Ia harus berpura-pura. Ia harus kuat. Demi keluarganya.