KONTEN INI AREA DEWASA‼️
Lima tahun cinta Shannara dan Sergio hancur karena penolakan lamaran dan kesalah pahaman fatal. Bertahun-tahun kemudian, takdir mempertemukan mereka kembali di atas kapal pesiar. Sebuah insiden tak terduga memaksa mereka berhubungan kembali. Masalahnya, Sergio kini sudah beristri, namun hatinya masih mencintai Shannara. Pertemuan di tengah laut lepas ini menguji batas janji pernikahan, cinta lama, dan dilema antara masa lalu dan kenyataan pahit.
Kisah tentang kesempatan kedua, cinta terlarang, dan perjuangan melawan takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RYN♉, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GTTS chapter 30
Tamparan Shannara menghantam pipi Sergio dengan bunyi yang menggema, memecah keheningan ruang rawat yang selama ini terasa menyesakkan. Sensasi panas langsung menjalar di kulit Sergio, tapi hatinya justru menghangat.
Sergio terhuyung ke belakang, bukan karena sakit, melainkan karena terkejut dengan ledakan emosi Shannara yang begitu tiba-tiba. Matanya membulat, menatap Shannara dengan campuran rasa tak percaya dan kekaguman.
Shannara terkesiap, tangan yang baru saja menampar Sergio bergetar hebat. Ia menatap telapak tangannya seolah benda itu adalah musuh, lalu mengalihkan pandangannya ke mata Sergio yang kini dipenuhi keterkejutan. Rasa malu membakar pipinya, amarah masih menyala-nyala, dan ketakutan mencengkeram hatinya. Dorongan untuk melarikan diri menjadi satu-satunya hal yang ia inginkan saat ini.
“Aku… aku harus pergi,” bisiknya, suaranya tercekat oleh emosi yang bergejolak. Tanpa menunggu jawaban, Shannara berbalik, membuka pintu dengan kasar, dan berlari keluar. Langkah kakinya yang panik menggema di koridor rumah sakit yang panjang dan sepi. Jantungnya berdebar kencang, seiring dengan ketakutannya kalau Sergio akan mengejarnya dan melampiaskan amarahnya.
Namun, Sergio, yang ditinggalkan sendirian di ruangan itu, justru tertawa kecil. Tawa rendah yang menyimpan rasa geli, gemas, dan kemenangan. Ia menyentuh pipinya yang memerah bekas tamparan Shannara, merasakan denyutan panas yang justru membuatnya bersemangat. Shannara bereaksi, pikirnya. Dia marah, dia panik, dan yang paling penting, dia merasakan ciuman itu. Sergio sama sekali tidak marah. Baginya, ini adalah kemajuan besar. Ia telah memenangkan pertarungan ini, meskipun harus menerima satu tamparan sebagai piala.
...----------------...
Shannara kembali ke ruang rawat ibunya, tempat yang seharusnya menjadi tempat berlindung, tetapi kini terasa seperti penjara. Di sana, Hilda sudah tertidur pulas, wajahnya yang damai menyembunyikan semua masalah pelik yang sedang terjadi. Ayah tirinya juga sudah terlelap di sofa tamu yang sempit, tubuhnya meringkuk mencari posisi nyaman.
Tidak ada tempat untuk Shannara merebahkan diri. Ia hanya bisa duduk di sofa kecil yang tersisa, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berpacu liar. Udara di ruangan itu terasa pengap, seolah ikut menahan napas bersamanya.
Ia menyentuh bibirnya sendiri dengan ujung jari. Sentuhan Sergio, ciuman itu, masih terasa begitu jelas. Bukan ciuman lembut yang penuh kelembutan, melainkan ciuman yang menuntut, penuh dominasi, dan tanpa izin. Ciuman yang membuatnya merasa seperti kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
Namun, yang membuat Shannara semakin malu dan gugup adalah ingatannya tentang momen di tengah ciuman itu. Ketika Sergio dengan berani mencoba menggunakan lidahnya, Shannara… ia membalas. Lidah mereka sempat bergelut dalam tarian singkat yang panas dan memabukkan, sebuah pertukaran yang ia lakukan tanpa sadar. Shannara meremas kedua tangannya di pangkuan, berusaha mengusir bayangan itu. Rasa bersalah dan gairah yang ia tolak mentah-mentah tadi malam kini terasa seperti racun yang perlahan menyebar di nadinya, meracuni pikiran dan hatinya.
Ia menghabiskan sisa malam itu dalam posisi duduk, memaksa matanya terpejam. Namun, bayangan Sergio, tawa menggodanya, tatapan gelapnya yang penuh minat, dan ciuman yang berakhir dengan tamparan terus berputar-putar di benaknya seperti film yang diputar berulang-ulang. Ia tidak bisa tidur nyenyak, mungkin hanya satu jam ia benar-benar terlelap.
Pagi pun tiba, menyambutnya dengan cahaya yang menusuk mata. Padahal, Shannara merasa baru memejamkan mata sebentar, tetapi kenapa pagi datang begitu cepat? Seolah waktu berkonspirasi untuk menyiksanya.
Hilda terbangun, mengerjap-ngerjapkan matanya, lalu langsung menanyakan kabar Aldi. Kekhawatiran terpancar jelas di wajahnya yang pucat.
Shannara memaksa dirinya untuk tersenyum, menyembunyikan kelelahan dan kegelisahan yang ia rasakan semalaman. “Belum ada kabar baru, Bu. Tapi, Aldi sudah ditangani pengacara hebat, Pak Rendra. Ibu tahu sendiri kan, itu pengacara paling terkenal. Beliau pasti bisa membebaskan Aldi. Ibu tidak perlu khawatir, fokus saja untuk sembuh.” Ia menggenggam tangan ibunya, mencoba menyalurkan ketenangan yang sebenarnya tidak ia rasakan.
Hilda langsung sumringah mendengar nama Rendra disebut. Jika sudah ditangani pengacara sekelas Rendra, dia tidak perlu khawatir lagi. Nama besar pengacara itu seolah menjadi jaminan bahwa Aldi akan bebas.
Shannara kemudian mengambil kesempatan. “Bu, hari ini aku ada pekerjaan. Aku tidak bisa menjaga Ibu di sini.” Ia menatap ibunya dengan cemas, menunggu reaksinya.
“Kerja apa?” tanya Hilda dengan nada ingin tahu. Matanya menyipit, meneliti ekspresi Shannara.
Shannara ragu sejenak sebelum menjawab, “Aku akan menjadi asisten pribadi dari artis Karina Kusuma.” Ia mengamati wajah ibunya, mencari tanda-tanda penolakan atau kemarahan.
Mata Hilda berbinar-binar mendengar nama Karina Kusuma. Dia adalah salah satu penggemar berat artis itu dan sering menonton sinetron yang dibintanginya. “Karina Kusuma?! Ya ampun, artis papan atas! Cepat sana, nanti terlambat!” Ia mendorong bahu Shannara dengan semangat.
“Aku hanya sementara, Bu. Menggantikan Lisa,” jelas Shannara, merasa perlu untuk merendahkan ekspektasi ibunya.
“Ya sudah, cepat pergi! Kerja yang benar, hasilkan uang buat keluarga, dan tebus rumah nenek kesayanganmu itu,” dorong Hilda, kembali santai setelah mendapat jaminan finansial dan hukum dari Shannara. Baginya, yang terpenting adalah masalah keluarga bisa segera teratasi.
Shannara hanya mengangguk, meraih tasnya, dan segera pergi dari ruangan itu. Ia merasa seperti tahanan yang akhirnya bisa menghirup udara segar.
Setibanya di lokasi syuting yang berada di sebuah studio besar, Shannara langsung disambut oleh Monica, manajer Karina. Monica sangat ramah, menyambut Shannara dengan senyum lebar yang tulus.
“Kamu Shannara, ya? Asisten sementara Karina. Ayo kemari! Karina belum datang, dia akan segera tiba. Saya duluan karena mau menjelaskan kepadamu apa saja yang perlu dan tidak perlu kamu lakukan,” ujar Monica, dengan suara ceria namun efisien. Ia menuntun Shannara ke sebuah ruangan yang penuh dengan peralatan make-up dan kostum.
Monica sangat baik dan menjelaskan dengan sabar kepada Shannara, mengajarkannya banyak hal tentang jadwal, urutan pakaian, dan etika kerja dengan seorang artis terkenal. Shannara mendengarkan dengan saksama, berusaha mencerna setiap instruksi yang diberikan, tetapi pikirannya kacau balau.
Di sisi lain, Shannara merasakan jantungnya berdebar kencang seperti genderang yang ditabuh bertalu-talu. Ia akan bertemu Karina Kusuma, istri sah dari mantannya, Sergio. Dan yang lebih menghantuinya, bayangan Sergio dan dirinya berciuman malam tadi terus muncul, seolah itu adalah flashback film yang diputar paksa di kepalanya.
Shannara merasa seperti seorang penipu, seorang pengkhianat, seorang wanita yang merebut suami orang lain dan mendekati istrinya demi mendapatkan keuntungan tersembunyi. Rasa bersalah menumpuk di dadanya, membuatnya sulit bernapas. Ia merasa seperti berjalan di atas tali yang tipis, siap jatuh kapan saja.
Bagaimana dia bisa menatap wanita itu dengan tenang? Bagaimana dia bisa menghadapinya, sementara bibirnya masih terasa panas karena ciuman Sergio? Bagaimana bisa ia berpura-pura tidak terjadi apa-apa?
Shannara semakin frustrasi. Ia merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya, ia merasa mual dan pusing. Ia adalah musuh yang menyamar, berdiri di wilayah musuhnya, dan rasa bersalah itu mencekiknya perlahan-lahan. Ia hanya ingin Monica selesai bicara, atau lebih baik lagi, ia ingin menghilang dari tempat ini sebelum Karina tiba.
“Nah, Shannara. Itu saja. Ada pertanyaan?” Monica tersenyum ramah, menatap Shannara dengan penuh harap.
Shannara menggeleng cepat, berusaha menyembunyikan kegugupannya. “Tidak, Monica. Sudah jelas. Terima kasih banyak.”
“Baik. Karina sebentar lagi sampai. Kamu bisa siapkan rack pakaiannya dulu, ya,” kata Monica, menunjuk ke rak baja yang penuh dengan gaun-gaun mewah.
Saat Monica pergi untuk menerima telepon, Shannara berjalan gontai menuju rak pakaian. Ia menyentuh bahan-bahan gaun Karina yang mahal dengan ujung jarinya, merasakan tekstur sutra dan brokat yang halus. Tangannya gemetar tanpa bisa ia kendalikan.
Ia tahu, Karina tidak bersalah dalam semua kekacauan ini. Karina adalah korban, sama seperti dirinya. Dan Shannara, tanpa ingin mengakuinya, kini adalah bagian dari pengkhianatan itu. Ia harus segera pergi dari tempat ini, atau dia akan meledak karena rasa bersalah yang tak tertahankan.
Tepat pada saat itu, Shannara mendengar pintu studio terbuka, diiringi kehebohan kecil dari para kru yang menyambut seseorang. Suara tawa dan sapaan riang memenuhi ruangan, menandakan kedatangan seorang bintang.
Karina sudah datang.
Shannara menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata sejenak, dan berdoa agar ketakutannya tidak terlihat. Ia harus berpura-pura kuat. Ia harus memasang topeng dan menyembunyikan semua emosi yang bergejolak di dalam dirinya. Demi keluarganya. Demi ibunya. Demi bisa menebus rumah neneknya. Ia harus bertahan.
BACA GUYS GAK BAKAL NYESELLLL
makin d baca makin candu pas awal awal kek bakal boring ternyata pertengahan baru ah i see
semangat author aku 🫶
ada aja kelakuan bapak ini gmesss🤭