Rara Depina atau biasa di panggil Rara, terpaksa menggantikan ibunya yang sedang sakit sebagai Art di ruamah tuan muda Abian Abraham.
Rara bekerja tanpa sepengetahuan tuan muda Abian. Abian yang pergi kerja saat Art belum datang dan pulang saat Art sudah pergi membuat Rara bisa bekerja tanpa di ketahui Abian.
Apa jadinya saat tak sengaja Abian memergoki Rara tengah berada di apartemennya.
Dilema mulai muncul saat diam-diam Abian mulai jatuh cinta pada pembantu cantiknya itu, dan di tentang oleh keluarga besarnya yang telah memilihkan calon buat Abian.
Akankah Abian mampu mempertahankan Rara di sisinya, cuus baca kelanjutannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sungguh tak ingin berpisah dengan mu
Bian membuka matanya perlahan, sinar matahari yang menembus cela-cela jendela membangunkan Bian. Bian menatap jam kecil di atas nakas, sudah jam delapan pagi. Ara pasti sudah pergi sekolah sedari tadi.
Dengan gerakan malas Bian beranjak dari ranjang dan berjalan menuju kamarnya guna membersihkan diri.
Bian duduk di tepi ranjang, memeriksa gawainya, Berita pertunangannya menjadi trending topik di beberapa media online.
Bian mengusap wajahnya kasar, Ara pasti sudah melihat berita ini, apa yang akan dia katakan nanti pada Ara.
Sementara di tempat lain seseorang juga tengah membaca berita pertunangan Bian dengan tangan mengepal geram. Rendra menatap gawainya dengan perasaan geram, berita Bian yang berseliweran di medsos membuatnya meradang, terbayang olehnya bagaimana perasaan Ara saat ini.
Ini yang Rendra takutkan, Bian menyakiti hati Ara telak, gadis lugu nan ayu itu pasti sangat terluka saat ini, dia menyesali keputusan Ara yang memilih menikahi Bian.
Di tempat lain Ara sedang berbaring di Amben bambu beratapkan rumbia di tepi pantai yang cukup jauh dari tempat tinggalnya.
Mata sembabnya terlihat terpejam, tapi sebenarnya dia tidak sedang tidur. Dia sedang berusaha berkompromi dengan hatinya, berusa menerima keputusan Bian, tapi nyatanya egonya tak terima. Perasaan memiliki sebagai seorang istri membuat Ara merasa punya hak atas Bian. Setidaknya Bian harus menceraikan Ara dulu sebelum mengikat hubungat dengan wanita lain.
Bian sudah ratusan kali menelpon Ara, mengiriminya pesan tertulis juga pesan suara tapi Ara mengabaikannya.
"Nona cargernya sudah selesai apa belum?" Suara pemilik amben mengagetkan Ara.
"Sudah buk," sahut Ara dengan senyum. Dia melepas ponselnya dari carger lalu menyerahnya pada si ibu.
"Berapa belanjaku tadi buk?" Tanya Ara sembari membuka dompet pinknya.
"Tigapuluh ribu non."
Ara memberikan uang satu lembar lima puluhan pada si ibu, dan Ara memberikan kembaliannya pada si ibu, sebagai upah memakai Amben seharian.
Berdasarkan keterangan ibu penjual makanan tadi, Ara mencari wisma yang berada tak jauh dari pantai. Bangunan memanjang yang tampak bersih dan asri itu terletak agak jauh dari bangunan lainnya.
Ara melangkah ragu, dia masih berseragam sekolah apa boleh menginap di sini.
"Wisma mah bebas non mau siapa aja yang nginep asal ada duit pasti dapat kamar." Terngiang ucapan ibuk penjual makanan pada Ara.
"Mau apa dek?" Seorang wanita berparas cantik menyapa Ara dengan ramah.
"Mau pesan kamar mbak, tapi gak punya KTP bisa gak mbak?" Si embak menatap Ara dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dari pakain yang di kenakan Ara dia menduga Ara tengah kabur dari rumah.
"Ada kartu pelajar?"
"Ada mbak," sahut Ara sembari membuka tas punggungnya, mencari dompet pinknya lalu mengambil selembar kartu plajarnya.
"Ini mbak."
Wanita itu sekilas meneliti kartu pelajar Ara, lalu membawa Ara ke meja resepsionis untuk mengisi data pribadinya.
"Ingat, tidak di perkenankan membawa pasangan yang tidak sah kedalam kamar, tamu yang berkunjung harap lapor dulu ke meja ini, apa lagi adek masih sekolah begini. Kalau ada apa-apa nanti kami kena imbasnya mengijinkan anak sekolah menginap di sini," ujar wanita itu sembari menyerahkan kunci kamar.
Kamar yang tidak terlalu luas, dengan tempat tidur empat kaki, dengan pasilitas Tv dan kulkas menjadi tempat bermalam Ara malam ini.
Ara menghela napas berat, tubuhnya tengah terbaring miring di sisi tempat tidur, sementara tangannya sedang memainkan gawainya.
Bian tak lagi menelponnya atau mengiriminya pesan, mungkin dia sudah bosan merayu Ara tapi tak di gubris oleh Ara.
***
"Mencari satu orang saja kalian tidak becus! lacak keberadaan ponselnya dia sedang mengaktifkan ponselnya sekarang" Hardik Bian penuh emosi.
Dia kelimpungan di buat Ara, bukannya pergi kesekolah malah menghilang di telan bumi. Dari rumah teman sampai rumah ibunya semua nihil.
"Lokasi ini sangat jauh tuan," ujar anak buahnya pada Bian.
"Jauh kau bilang."
"Iya tuan dua jam perjalanan tanpa macet tuan."
Bian terdiam, sejauh ini Ara pergi, sesakit itu kah hatimu padaku Ara bisik hati Bian gundah. Dia bahkan meninggalkan Septi di kantornya, tak perduli Septi meneriakinya, kabar hilangnya Ara membuat Bian melupakan segalanya.
"Sudah kau pastikan tempatnya?"
"Sudah tuan, dia menginap di wisma Dayani tak jauh dari pantai."
"Bagus, Siapkan mobil, bawa juga beberapa anak buahmu."
"Baik tuan."
***
Ara sedang terlelap saat pintu kamarnya berulang kali, suara lembut mbak resepsipnis tedengar memanggil namanya beulang kali.
Ara beranjak dari atas ranjang dengan malas, membuka pintu dengan mata yang enggan terbuka.
"Ada apa mbak?" Tanya Ara dengan mata menyipit.
"Ini, ada yang mengaku sebagai suamimu," ucap mbaknya sembari memiringkan tubuhnya memberi cela pada orang yang mengaku suaminya untuk masuk kekamarnya.
"Dia bukan suamiku!" Sentak Ara saat tau siap yang datang.
"Tapi ini," ucap wanita itu sembari memperlihatkan buku nikah mereka, jelas tertera nama dan wajah Ara di sana.
"Terimakasih mbak, saya minta waktunya berdua dengan istri saya," ucap Bian dengan sopan.
"Tentu tuan, oh ya ini suratnya," ucapnya sembari memberikan buku nikah pada Bian.
Sepeninggal wanita itu Bian mengunci pintu kamar rapat-rapat. Manik hitamnya mendai wajah istrinya yang terlihat sembab, dia pasti menangis seharian.
"Kenapa nekat pergi sejauh ini?" Tanya Bian terdengar dalam.
"Hanya ingin," sahut Ara acuh, sementara jemarinya sibuk memainkan ujung kemeja putihnya.
"Kau marah karena berita itu Ara?"
Ara tersenyum miring, mata sembabnya menatap Bian lekat.
"Aku cuma pembantu yang terpaksa tuan nikahi, apa menurut tuan aku punya hak untuk marah," ucap Ara dengan mata berkaca-kaca.
"Ara, jaga bicaramu! kau tau betapa berharganya kau di hatiku. Tapi saat ini aku belum bisa mengungkap identitasmu, setidaknya sampai kau kuliah, bersabarlah sebentar dan percayalah padaku, aku sangat mencintai mu," ucap Bian dengan nada sendu di akhir kalimat.
"Aku akan menunggu pembuktian tuan, tapi sebelum itu, untuk sementara kita tidak usah bertemu dulu, anggap saja aku memberi waktu pada tuan, siapa di antara kami yang benar-benar tuan inginkan kehadirannya," ucap Ara dengan wajah yang begitu mendung.
"Kau ini bicara apa? jangan membicarakan hal yang mustahil Ara, kau menghilang seharian sudah membuatku gila! apa lagi harus berjauhan untuk waktu yang lama, omong kosong!" Sergah Bian dengan wajah mengeras, mana rela dia melepas Ara, sampai mati dia tak kan Rela.
"Tapi aku tidak bisa berada di sisi tunangan orang, hik.." Ara mulai terisak, hatinya pedih tak terkira bagaimana bisa dia berada di sisi Bian yang sudah bertunangan dengan wanita lain.
"Harusnya tuan ceraikan aku dulu sebelum bertunangan dengan Nona Septi," ucap Ara di tengah isak tangisnya.
"Cerai katamu!" Bentak Bian emosi. Kata cerai dari Ara membuat Bian emosi setengah mati.
"Aku tidak akan menceraikan mu Ara, tidak akan!"
"Tuan egois!" sentak Ara kesal.
"Bagus kalau kau tau, untukmu aku memang egois!"
"Aku benci tuan!" Bian bergeming, dia tak ingin melukai Ara dengan kata-katanya. Cukuplah segala perbuatannya yang melukainya.
"Ingin pulang atau ingin bermalam di sini?"
"Aku tidak ingin bermalam dengan tuan" ucap Ara lirih. Bian menatap Ara sendu.
"Ara aku rindu padamu," bisik Bian sembari mengenggam jemari Ara, ingin rasanya dia merengkuh tubuh istrinya melabuhkan kecupan hangat di seluruh wajah cantiknya, tapi sikap Ara yang malah menarik tangannya dari genggamannya membuat Bian memilih memendam keinginannya.
"Baiklah Ara, aku mengalah. Aku kan menginap di kamar sebelah. Tapi janji kau tetaplah di kamar ini samapai besok pagi, dengar aku sungguh tak ingin kehilangan dirimu lagi."
Ara menatap sekilas wajah Bian yang tengah menatapnya intens, lalu mengangguk pelan.
"Tidurlah, aku ada di sebelah," ucap Bian sembari membelai pundak Ara pelan lalu beranjak bangkit meninggalkan Ara.
Ara menghela napas panjang, serumit ini hidupnya, ucapan Bian membuat pendiriannya goyah.
.
Happy reading.
Hay readers jangan lupa tinggalin jejak ya 🥰🥰🥰🙏