Afnaya Danuarta mengalami suatu musibah kecelakaan hebat, hingga membuat salah satu pada kakinya harus mendapati sakit yang cukup serius. Disaat hari pernikahannya tinggal beberapa waktu lagi, dan calon suaminya membatalkan pernikahannya. Mau tidak mau, sang adik dari calon suami Afnaya harus menggantikan sang kakak.
Zayen Arganta, adalah lelaki yang akan menggantikan sang kakak yang bernama Seynan. Karena ketidak sempurnaan calon istrinya akibat kecelakaan, membuat Seyn untuk membatalkan pernikahannya.
Seynan dan juga sang ayahnya pun mengancam Zayen dan akan memenjarakannya jika tidak mau memenuhi permintaannya, yang tidak lain harus menikah dengan calon istrinya.
Akankah Zayen mau menerima permintaan sang Ayah dan kakaknya?
penasaran? ikutin kelanjutan ceritanya yuk...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merasa kesal
Setelah keduanya terasa kenyang, Zayen mencari ide untuk mengajak sang istri jalan jalan dimalam hari.
"Afna, setelah ini mau kemana?" tanya Zayen membuyarkan lamunan Afna yang sedang fokus kearah Danau.
"Aku tidak mempunyai pilihan lain selain pulang ke rumah." Jawabnya sedikit lesu, Afna menyadari dengan kondisinya yang sedang tidak lagi seperti dulu. Kaki yang sehat, dan bisa melangkahkan kakinya kemana yang akan dituju. Berbeda dengan yang sekarang, hanya bisa pasrah dan nurut.
"Bagaimana kita pindah di dekat Danau sebelah sana, sepertinya nyaman untuk duduk bersantai."
"Aku tidak ingin merepotkan kamu, sudah diajak makan malam seperti ini saja aku sudah sangat senang dan bersyukur."
"Aku ini ajudan kamu atau..." Zayen terhenti dari ucapannya.
"Kamu suamiku. Iya, Benar." Sahut Afna dengan cepat kilat, kemudian terdiam. sambil menggigit bib*ir bawah dan menelan salivanya dan tertunduk malu.
"Sudahlah, ayo aku gendong. Jangan banyak bicara, ikutin saja apa yang aku lakukan." Gertaknya, Afna pun hanya terdiam dan nurut dengan Zayen suaminya.
Setelah membayar tagihannya, Zayen langsung menggendong sang istri sampai ke tempat yang sudah ditunjukkan oleh Zayen.
Senyuman Afna semakin merekah di kedua sudut bibirnya.
"Bagaimana tempatnya, apakah kurang bagus?" tanyanya sambil menurunkan sang istri dari gendongannya ke tempat duduk dipinggir Danau. Kini sudah sangat dekat, bahkan dipinggir Danau.
"Tempatnya sangat bagus, dan aku menyukainya. Apakah ada batu kecil? ingin rasanya aku menempatkan batu kecil kedalam Danau. Aku ingin membuang kekesalanku, dan pastinya ingin membuang emosiku."
Zayen segera berjongkok, kedua tangannya meraba disekelilingnya. Dan benar saja, banyak batu kecil kecil disekililingnya. Zayen segera mengambilnya, dan menggenggamnya. Setelah mendapatkannya, Zayen segera memberikannya kepada Afna istrinya.
"Buka telapak tanganmu." Perintah dari sang suami, Afna pun menurutinya. Kemudian Zayen memberikan batu kecil kecilnya kepada sang istri, dan Afna sendiri terlihat sangat menyukainya dan tersenyum.
"Terimakasih, kenapa kamu begitu perduli terhadapku. Apakah kamu takut dengan kedua orang tuaku? katakan."
"Aku tidak pernah takut dengan siapapun, yang aku takutkan adalah kenyataan yang tidak aku inginkan akan hadir dihadapanku." Jawab Zayen berusaha menutupi kerapuhannya.
"Maksud kamu? aku tidak mengerti."
"Suatu saat nanti kamu akan mengerti, sekarang lakukanlah sesuai yang barusan kamu inginkan."
Tiba tiba Afna merasa tidak nyaman, perasaannya semakin gelisah. Afna benar benar sangat penasaran dengan sosok Zayen, dirinya pun tidak mengerti kenapa bisa menikah dengan seorang Zayen. Sedangkan orang tuanya begitu yakin terhadap Zayen, yang menurut Afna sangat misterius. Meski baru sehari, namun sudah terasa begitu banyak kosa kata yang menurutnya sulit untuk dicerna.
"Kenapa kamu masih bengong, apa ada yang kamu pikirkan? katakan saja. Siapa tahu saja, aku bisa membantumu untuk menyelesaikan permasalahan kamu." Tanya Zayen membuyarkan lamunan sang istri.
"Aaah Iya, aku sampai lupa. Maaf, aku tidak akan mengulanginya lagi."
"Katanya ingin melempari batu kecil kecil ke Danau, kenapa mesti lama untuk melemparkannya. Apa kamu membutuhkan bantuan dariku? jika ia, katakan saja padaku."
"Tidak, terimakasih. Jika kamu ingin ikut melemparnya, maka lemparkanlah agar kamu dapat merasakan kelegaan."
"Benarkah? aku akan mencobanya. Jika tidak merasa lega, kamu harus bertanggung jawab."
"Tentu saja, aku akan bertanggung jawab." Jawab Afna dengan serius.
Zayen segera mengambil beberapa batu kecil kecil pada telapak tangan Afna, kemudian Zayen segera melemparkannya ke Danau yang berada dihadapannya. Begitu juga dengan Afna, yang berkali kali melemparkannya dengan penuh kekesalan.
"Apakah kamu sudah merasa puas? kalau aku biasa saja." Tanya Zayen dan berkomentar.
"Sama, setidaknya aku sudah melupakan kekesalanku. Walau hanya melemparkan batu kecil kecil ke Danau."
"Jadi, kamu harus bertanggung jawab atas yang sudah kamu katakan kepadaku. Dan ternyata aku tidak merasa lega, dan masih saja sama."
"Memangnya begitu beratkah, sehingga kamu menjadi pemalas." Ucap Afna yang merasa aneh terhadap Zayen yang tidak lain adalah suaminya.
"Aku merasa berat, karena aku memiliki banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Jadi, ayo kita pulang. Aku rasa sudah cukup untuk menikmati malam hari di Danau kecil ini." Ucap Zayen berusaha merayu sang istri.
"Aku pun sudah sangat mengantuk, ayo kita pulang." Jawabnya, lalu mengajaknya untuk segera pulang.
Zayen segera menggendong istrinya sampai ke tempat parkiran, setelah itu Afna diturunkan di parkiran. Sambil menunggu suami, Afna dudul bersandar di paekiran. Zayen sendiri mengambil motornya, tiba tiba Zayen kehilangan sesuatu yang ada di motornya. Kedua bola matanya pun celingukan mencarinya, berkali kali meriksanya tetap nihil.
Dengan langkah kakinya yang lebar, Zayen menghampiri tukang parkir.
Sambil mencengkram kerah baju tukang parkir, Zayen menajamkan kedua matanya. "Dimana tongkat penyangga yang ada di motorko, katakan! cepat." Ucapnya keras sambil melototi tukang parkir.
Tukang parkir tersebut hanya gemetaran, tatkala seorang Zayen mengamuk seperti orang yang sedang kerasukan.
"Maaf, maaf, Bang. Saya tidak tahu, dari tadi saya hanya duduk disini."
"Sekali lagi kamu bohong, aku patahk*an leher kamu. Ingat! siapa aku." Sambil menajamkan kedua matanya dan mengancam.
"Benar, Bang. Aku tidak bohong, yakin." Tukang parkir tersebut masih berusaha meyakinkan, agar Zayen tetap percaya dengannya. Namun sayang, seorang Zayen tidak memiliki rasa takut sedikitpun terhadap orang lain dari segi manapun.
"Apa perlu aku t*embak kamu sekarang juga, jawab dan katakan. Siapa yang menyuruhmu, atau... pis*tol yang ada padaku meleset dikepala kamu. Cepat! katakan sekarang juga." Ucapnya mengancam. Sedangkan Afna masih menunggunya dengan sabar, meski sedikit gelisah dengan suaminya. Ditambah lagi sedikit terlihat dari kejauhan, sosok suaminya yang seperti sedang beradu mulut.
Tukang parkir tersebut akhirnya menyerah, dan berkata jujur.
"Bang Seynan yang menyuruhku. Jangan katakan kepadanya, jika saya memberitahunya. Tadi kebetulan saya lewat didepannya, dan kemudian bang Seyn mengancam saya." Zayen langsung melepaskan cengkramanya pada kerah baju tukang parkir.
"Katakan, dimana Seyn membuangnya."
Prok prok prok! suara tepukan tangan tengah mengganggu gendang telinga seorang Zayen yang sedang emosi. Ditambah lagi Seyn langsung melemparkan tongkat penyangga milik istrinya.
"Makanya, ikuti rencanaku. Ini belum seberapa ancamanku. Ini hanya gertakan saja, untukmu Zayen!" Seynan yang datang secara tiba tiba dari belakang, membuat darah seorang Zayen mendidih seketika. Emosinya memuncak, ingin rasanya melayangkan pelu*runya kearah kepala Seynan. Zayen benar benar sudah muak dengan seorang Seyn yang hanya memeras ot*aknya, pikirnya.
"Pikirkan baik, baik." Seyn segera pergi meninggalkan Zayen dengan santai, karena bagi Seyn kalau Zayen tidak akan berani melakukan penyerangan untuknya. Seyn hanya tersenyum sinis melewati sang adik.
Zayen hanya mengepalkan kedua tangannya kuat, kemudian segera mengambil tongkat penyangga yang telah dilemparkan oleh Seyn. Kemudian segera melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Dan sampailah didepan Afna, Zayen tanpa berbicara langsung mengangkat istrinya untuk naik ke motor. Afna merasa heran dan curiga dengan Zayen, yang tiba tiba berubah dingin dengan sikap suaminya.
"Kamu ada masalah?" tanyanya penasaran.
"Tidak, aku hanya merasa kesal saja sama tukang parkir. Karena telah mengerjaiku, biasa anak baru." Jawabnya beralasan dan kemudian Zayen menaiki motornya.
"Pegangan seperti tadi, jangan sungkan. Aku ini suami kamu, dan jangan tidur. Kita ini naik motor, bukan naik mobil." Perintahnya dan mengingatkan.
"Iya, jangan khawatir." Jawabnya, kemudian dengan pelan Afna mengulurkan tangannya dan melingkarkan ke pinggang suaminya.
semoga tidak ada pembullyan lagi di berbagai sekolah yg berefek tidak baik