Di sebuah pulau kecil di Jeju, Lee Seo Han menjalani kehidupannya yang sunyi. Ditinggal kedua orang tuanya sejak remaja, ia terbiasa bergulat dengan kesendirian dan kerasnya kehidupan. Bekerja serabutan sejak SMA, ia berjuang menyelesaikan pendidikannya sendirian, dengan hanya ditemani Jae Hyun, sahabatnya yang cerewet namun setia.
Namun musim panas itu membawa kejutan: Kim Sae Ryeon, cahaya yang menyinari kegelapan hidupnya. Perlahan tapi pasti, Seo Han membuka hatinya untuk merasakan kebahagiaan yang selama ini ia hindari. Bersama Sae Ryeon, ia belajar bahwa hidup bukan hanya tentang bertahan, tapi juga tentang mencintai dan dicintai.
Tapi takdir berkata lain. Di puncak kebahagiaannya, Seo Han didiagnosis mengidap ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis), penyakit langka yang secara perlahan akan melumpuhkan tubuhnya. Di hadapan masa depan yang tak menentu dan ketakutan menjadi beban, Seo Han membuat keputusan paling menyakitkan: mengorbankan cintanya untuk melindungi orang tersayang
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rahmad faujan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AYAH AKU RINDU
..."Mengutamakan diri sendiri bukanlah keegoisan, itu adalah keharusan. Kamu tidak bisa menuang dari cangkir yang kosong." (le seo-han)...
...----------------...
Pagi hari. Cahaya matahari musim dingin yang redup menyusup melalui jendela dapur, menerangi debu-debu halus yang menari di udara.
Seo Han terbangun.
Hal pertama yang ia rasakan adalah dingin yang menusuk punggungnya dan rasa sakit tumpul yang berdenyut di belakang kepalanya. Ia mengerjap, pandangannya masih agak kabur. Butuh waktu beberapa detik baginya untuk menyadari bahwa ia semalam tidur di lantai dapur. Tubuhnya kaku dan sakit.
Memori tentang rasa sakit yang hebat, telinga berdenging, dan pil yang berhamburan kembali menghantamnya. Ia menoleh, dan melihat botol obat tergeletak miring, dan pil-pil putih tersebar seperti salju di lantai gelap.
Ia menghela napas panjang, berjuang untuk bangkit. Ia merasa sangat lemah. Ia berjalan tertatih-tatih ke kamar mandi, mencuci mukanya dengan air dingin. Di cermin, ia melihat wajahnya pucat pasi.
"Ini bukan hanya demam," pikir Seo Han.
Setelah merasa sedikit segar, ia kembali ke dapur. Ia membereskan pil yang berserakan. Kemudian, ia menuju kamar untuk berganti pakaian.
saat matanya menyapu sekeliling, langkahnya terhenti. Di atas nakas, ada sebuah kotak ponsel baru berwarna perak. Ia menghampirinya dan membaca catatan kecil di atasnya:
"Maaf, ya. Gara-gara Ayah, HP-mu jadi rusak. Ayah belikan yang baru. Kalau kamu suka, kamu boleh pakai. Kalau tidak suka, kamu boleh membuangnya."
Air mata yang sudah mengering sejak semalam kembali membasahi matanya. Ia tidak bisa lagi mempertahankan tembok kebencian itu. Ini adalah simbol permintaan maaf, dan ia memilih untuk menerimanya.
Seo Han segera mengambil ponsel lamanya yang layarnya rusak parah. Ia perlu bicara, sekarang juga.
"Bixby, tolong telepon Ayah," katanya, suaranya sedikit serak karena tangisan.
"Baik, menelpon Ayah," jawab suara digital itu.
Panggilan itu tersambung.
"Halo, Nak?" Suara Le Young Jun di seberang terdengar kaget, namun penuh harap.
"Kita perlu bertemu," potong Seo Han, langsung ke intinya.
"Boleh, Nak. Mau bertemu di mana?"
"Tunggu aku. Saya akan pergi ke Seoul."
"Tapi kamu baru sembuh, Nak? Biar Ayah yang ke Jeju. Jangan terlalu memaksakan diri."
"Tidak perlu," tolak Seo Han. "Aku akan menelponmu kembali saat aku tiba di Seoul."
Seo Han langsung mematikan panggilan itu tanpa menunggu jawaban Ayahnya.
Keputusan sudah bulat. Ia harus menyelesaikan masalah ini, dan ia harus melakukannya di Seoul dan ingin memeriksa dirinya lebih lanjut.
Ia segera mengambil kotak ponsel baru dan memindahkah semua nomor kontak serta data penting. Setelah ponsel barunya siap, ia segera menyambungkannya dengan Bixby.
Seo Han mengambil tas ransel yang sebelumnya dibawa Jae Hyun. Ia mengeluarkan semua isinya yang tidak perlu, menyisakan tempat kosong. Ia lalu memasukkan botol obat pereda sakit dan kotak ponsel barunya ke dalam tas.
Sambil berjalan hilir-mudik menyiapkan barang, Seo Han berteriak ke arah ponsel barunya di meja:
"Bixby, tolong pesan tiket pesawat tercepat ke Seoul!"
Terdengar suara Bixby, "Mencari penerbangan dari Jeju ke Seoul..."
Ia tidak sabar menunggu. "Pesan tiket pesawat Jeju Air yang paling pagi dan bayarkan!" teriaknya lagi, nadanya penuh perintah.
"Pemesanan tiket Jeju Air untuk penerbangan pukul 11:00 telah berhasil dibayarkan," jawab Bixby.
Seo Han menghela napas lega. Ia sudah siap.
Ia segera keluar dari rumah dengan menggendong tas ranselnya. Ia memilih memutar, mengambil jalur belakang rumahnya, karena tak mau melewati warung ibu Jae Hyun. Ia tahu Jae Hyun akan panik dan mencoba menghentikannya jika ia melihatnya. Ia memutuskan akan memberi tahu Jae Hyun saat ia sudah berada di bandara, tidak bisa lagi dihentikan.
Ia menyusuri jalan kecil, berjalan cepat menuju jalan besar. Udara Jeju di pagi hari terasa menusuk, tapi rasa sakit di kepalanya terasa lebih menusuk.
Ia mampir sebentar ke toko serba ada 7-Eleven. Perutnya kosong, dan ia tahu ia tidak bisa melakukan perjalanan jauh dalam kondisi ini. Ia melihat jam di ponsel barunya; masih pukul 08:00. Pesawatnya pukul 11:00. Masih banyak waktu luang.
Ia segera masuk dan mengambil Samgak-gimbap (nasi segitiga Korea) dan sebotol air mineral. Ia menuju meja sudut dan segera menghangatkan makanan itu ke dalam microwave.
Sambil menunggu makanan, ia berusaha menenangkan napasnya yang terengah-engah.
"Tenang-tenang, Seo Han. tidak usah panik. kamu tidak lagi dikejar hantu kok," batinnya, mencoba meredakan kecemasan yang bergejolak.
Begitu Samgak-gimbap itu hangat, ia membukanya. Ia mengeluarkan botol obatnya dari tas dan menelan satu pil pereda rasa sakit, diikuti tegukan air yang panjang. Baru kemudian ia mulai makan Samgak-gimbap yang panas, berusaha mengisi energi yang hilang semalam.
Ia makan dengan cepat, matanya terus waspada mengawasi pintu masuk 7-Eleven, takut jika Jae Hyun tiba-tiba muncul dan menyeretnya kembali.
Seo Han menghabiskan Samgak-gimbap-nya dalam beberapa tegukan cepat, didorong oleh campuran rasa lapar, obat, dan kecemasan. Setelah selesai, ia langsung berdiri.
Ia segera mengeluarkan ponsel barunya dan memesan taksi online.
"Ke bandara Internasional Jeju," perintahnya saat mendapatkan sambungan dengan sopir taksi.
Tidak sampai lima menit, sebuah mobil hitam berhenti di depannya. Seo Han buru-buru masuk ke kursi belakang.
"Tolong cepat ke bandara, Pak," kata Seo Han, suaranya sedikit mendesak.
Sopir taksi itu mengangguk. Mobil pun melaju, membawa Seo Han menjauh dari satu-satunya tempat ia merasa aman selama pelariannya di Jeju.
Seo Han menoleh ke luar jendela, memandangi pepohonan dan batu-batu vulkanik yang melintas cepat. Ia merasa sedikit bersalah karena pergi tanpa pamit secara langsung kepada Seo Ryeon, dan karena berbohong kepada Jae Hyun. Namun, ia tidak punya pilihan.
Ia harus menyelesaikan masalah dengan Ayahnya. Ia harus tahu, apa sebenarnya yang terjadi pada dirinya? Mengapa rasa sakit ini kembali, padahal ia yakin ia sudah jauh lebih baik di Jeju?
Seo Han menutup matanya, membiarkan obat pereda nyeri mulai bekerja. Ia berharap, setelah ia tiba di Seoul, semua rahasia dan sakitnya akan terungkap.