Dara yang baru saja berumur 25 tahun mendapati dirinya tengah hamil. Hidup sebatang kara di kota orang bukanlah hal yang mudah. Saat itu Dara yang berniat untuk membantu teman kerjanya mengantarkan pesanan malah terjebak bersama pria mabuk yang tidak dia ketahui asal usulnya.
"ya Tuhan, apa yang telah kau lakukan Dara."
setelah malam itu Dara memutuskan untuk pergi sebelum pria yang bersamanya itu terbangun, dia bergegas pergi dari sana sebelum masalahnya semakin memburuk.
Tapi hari-hari tidak pernah berjalan seperti biasanya setelah malam itu, apalagi saat mengetahui jika dia tengah mengandung. apakah dia harus meminta pertanggungjawaban pada lelaki itu atau membesarkan anak itu sendirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanela cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29
Pagi ini Arkan terlambat ke kantor karena harus membuatkan mereka sarapan, mengantar putranya ke sekolah, dan juga Arkan yang dibuat khawatir karena Dara yang tidak mau makan dan terus saja muntah. Sepanjang perjalanan Arkan terus tidak merasa tenang karena mengkhawatirkan kondisi Dara. Walaupun dia pernah mengalami situasi semacam ini bersama istrinya pertama saat mengandung rafa tapi tidak separah ini.
“Pak Arkan?”
Arkan tersentak ketika Dika, sekretarisnya, memanggil pelan. Hampir semua kepala di meja rapat menatapnya menunggu kelanjutan instruksi, sementara layar presentasi sudah berhenti di slide yang tadi dipaparkan.
“Oh… ya,” gumamnya, kembali fokus. “Lanjutkan.”
Namun selanjutnya pun ia tidak benar-benar mendengar apa yang dikatakan tim marketing. Sesekali ia menatap jam tangan, sesekali meraih ponsel hanya untuk memeriksa apakah ada pesan dari Dara.
Tidak ada.
Dara mungkin masih tidur… atau mungkin sedang mual lagi.
Dadanya mengencang ketika membayangkan istrinya itu sendirian di rumah dalam kondisi seperti itu.
“Pak, untuk target triwulan—”
“Kita bahas nanti,” potong Arkan akhirnya sambil menutup map rapat. “Meeting selesai sampai di sini. Revisi presentasinya kirim lewat email.”
Semua orang saling berpandangan terkejut, tapi tidak ada yang berani protes.
Arkan berdiri cepat, merapikan jas, lalu memberi isyarat pada Dika untuk mengikutinya keluar.
DI RUANG KERJA ARKAN
Dika masuk sambil membawa tablet dan berkas. “Pak Arkan, apakah ada yang perlu saya—”
“Aku mau kamu carikan seseorang,” potong Arkan sambil melepas dasinya dengan kasar, seolah kerah itu membuatnya sesak.
“Carikan seseorang?” ulang Dika bingung.
“Pembantu,” jawab Arkan tegas. “Yang bisa mulai secepatnya. Kalau bisa hari ini.”
Dika terperangah. “Untuk rumah Bapak?”
Dika menelan ludah. “Baik, Pak. Kriteria khusus?”
Arkan berhenti sejenak, kemudian berkata pelan tapi tegas, “Yang bisa dipercaya. Dan yang nggak banyak tanya.”
“Siap, Pak,” jawab Dika, mencatat cepat.
Arkan kembali melihat ponselnya.
Masih tidak ada pesan.
Ia memijat keningnya yang berdenyut.
......
Di apartemen, suasana terasa sunyi. Dara baru saja selesai memaksakan diri minum teh hangat yang dibuatkan Arkan tadi pagi. Ia berbaring di sofa ruang tamu, mencoba membaca buku untuk mengalihkan rasa mual, tetapi pandangannya sering kali kabur.
Tiba-tiba, bel pintu apartemen berbunyi nyaring.
Dara mengerutkan kening. Siapa yang datang? Arkan sudah pergi, dan Rafa di sekolah. Ia memutuskan untuk mengabaikannya, berharap tamu itu akan pergi. Tetapi bel itu berbunyi lagi, kali ini lebih lama dan mendesak.
Dengan langkah yang masih lemas, Dara berjalan ke pintu dan melihat melalui lubang intip. Di luar berdiri seorang wanita, tinggi, dengan pakaian desainer yang sangat elegan dan rambut tertata rapi. Wajahnya cantik, namun memancarkan aura dingin yang kuat.
Dara membuka pintu sedikit. "Ya?"
Wanita itu tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya. Ia melangkah maju, seolah-olah berniat menerobos masuk, memaksa Dara mundur selangkah.
"Dara, bukan?" tanya wanita itu, suaranya halus namun tajam. Ia mengamati Dara dari ujung rambut hingga ujung kaki, tatapan menilai yang membuat Dara merasa tidak nyaman dalam pyjama longgarnya.
"Saya Nadine," lanjut wanita itu, mengulurkan tangan dengan gerakan leisure yang berkelas. "Saya datang untuk berbicara serius denganmu."
Dara tidak menyambut uluran tangan itu, ia hanya menatap bingung. "Maaf, Anda siapa? Saya tidak merasa kenal dengan Anda."
Nadine menarik tangannya kembali dan tersenyum sinis. "Wajar jika kamu tidak kenal."
Ia melipat kedua tangannya di dada, tatapannya kini fokus pada wajah Dara yang pucat.
"Aku adalah calon istri Arkan, Dara. Aku datang untuk memastikan kamu tahu batasmu di sini."
Darah Dara seolah berhenti mengalir. Kata-kata itu menghantamnya seperti pukulan keras, membuat kepalanya yang sudah pusing semakin berdenyut.
Wanita itu berdiri di tengah ruang tamu, menatap sekeliling dengan ekspresi tidak puas seakan-akan tempat itu tidak layak dihuni Arkan. Kemudian ia menoleh lagi kepada Dara.
“Aku datang bukan untuk bertengkar,” katanya manis, meski tatapan matanya menusuk. “Aku hanya ingin memastikan kamu mengerti… peranmu.”
Dara menelan saliva yang terasa pahit. “Saya… saya nggak ngerti maksud Anda.”
“Gini, Dara.”
Ia melangkah lebih dekat, sepatu high heelsnya mengetuk lantai marmer dengan sikap angkuh.
“Keluarga Arkan, terutama mamanya, sudah menjodohkan aku dan Arkan sejak lama. Kami sudah cocok, keluarga cocok, latar belakang sama. Rencana pernikahannya sudah dibicarakan.”
Dara merasakan dadanya diremas dari dalam.
Dijodohkan? Pernikahan direncanakan?
Nadine melanjutkan dengan nada yang lebih dingin,
“Dan semuanya berjalan mulus sampai… kamu tiba-tiba muncul dan menghancurkan semuanya.”
Dara mengerutkan kening, bingung dan tersinggung. “Hancurin? Saya nggak ngerti. Saya bahkan nggak pernah—”
“Kamu merebut Arkan,” potong Nadine tajam.
Dara membelalakkan mata. “Saya tidak merebut siapa-siapa. Kami—”
"kamu menggoda Arkan dengan tidur bersamanya" potong Nadine dengan suara tinggi.
Nadine mendekat hingga wajahnya hanya beberapa sentimeter dari Dara.
“Kamu tahu posisi kamu sekarang?” bisiknya. “Kamu penghambat. Kamu… kesalahan.”
Dara memejamkan mata, dadanya nyeri. Tangannya refleks menyentuh perutnya.
Nadine melihat gerakan itu dan tersenyum lebih sinis.
“Oh? Kamu hamil, ya?”
"Tapi jangan gunakan anak itu sebagai alat untuk menahannya. Karena setelah anak itu lahir, Arkan akan mengurus perpisahan kalian."
Nadine mengangkat alis, puas.
“Beraninya kamu. Pakai cara itu untuk mengikat Arkan.”
Dara menggeleng lemah. “Saya nggak pernah punya niat apa pun—”
Nadine menatapnya dengan tatapan terakhir yang dingin.
“Kudengar Arkan itu orangnya tanggung jawab. Tapi tanggung jawab tidak sama dengan cinta, kan?”
"Kalian akan bercerai," ulang Nadine dengan penekanan dingin. "Dan Arkan akan kembali padaku, pada rencana awal kami,
Dara terpaku, air matanya menggenang.
Nadine melanjutkan dengan nada merendahkan,
“Aku hanya ingin kamu sadar diri. Jangan terlalu nyaman berada di tempat yang bukan milikmu.”
Ia mengambil tasnya yang mahal, melangkah menuju pintu.
Dara tiba-tiba berbalik, tangannya menutupi mulut. "Aku... aku nggak enak badan..."
Ia terhuyung, berlari sekencang mungkin ke arah kamar mandi.
"Hoekk! Huekkk!" Suara muntah keras memecah keheningan apartemen, jauh lebih hebat dan menyakitkan dari muntah pagi tadi. Dara berlutut di depan kloset, tidak hanya mengeluarkan isi perutnya, tetapi juga air mata yang mulai deras mengalir.
Dara menutup wajahnya dengan kedua tangan, bahunya bergetar. Air matanya jatuh membasahi lantai kamar mandi yang dingin.
“Aku… kenapa hidupku jadi begini…” bisiknya lirih di antara tangis dan sesak napas.
Dadanya sakit, bukan hanya karena mual, tapi karena hatinya seperti diremas tanpa belas kasihan. Dara tahu pernikahannya tidak direncanakan, hanya sebuah “kesalahan semalam” seperti yang selalu ia ulang pada dirinya. Tapi mendengar Nadine mengatakannya langsung seolah ia tidak pantas berada di sini.
Dara mengusap pipinya yang basah, namun air mata tak berhenti turun.
“Apa… aku memang salah?”
“Apa Arkan… bakal nyesel?”
“Apa dia… bakal ninggalin aku kalau keluarganya nggak mau nerima?”
Ia memejamkan mata, mencoba bernapas dalam-dalam meski dada sesak.