Radella Hafsah dan Delan Pratama memutuskan mengakhiri pernikahan mereka tepat pada satu tahun pernikahan mereka. Pernikahan dari perjodohan kedua orangtua mereka yang tidak bisa ditolak, tapi saat dijalani tidak ada kecocokan sama sekali pada mereka berdua. Alasan yang lain adalah, karena mereka juga memiliki kekasih hati masing-masing.
Namun, saat berpisah keduanya seakan saling mencari kembali seakan mulai terbiasa dengan kehadiran masing-masing. Lantas, bagaimana kisah mereka selanjutnya? Apakah terus berjalan berbeda arah atau malah saling berjalan mendekat dan akhirnya kembali bersama lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AiMila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehampaan
Di dalam sebuah ruangan yang cukup luas, dengan berkas tertumpuk tinggi di meja disertai alat-alat kerja lainnya, salah satunya komputer yang menyala. Di depannya, seorang pria dengan fokus menatap ke sana, mengabaikan sosok lain yang duduk di sofa panjang yang ada di dalam ruangan tersebut.
Waktu sudah menunjukkan istirahat makan siang, tapi pria itu masih setia memandang setiap deretan kata dan kalimat yang disajikan di sana. Dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya, kacamata yang dipakai saat merasa matanya kelelahan menatap layar. Sesekali dahinya mengernyit saat menemukan hal yang kurang sesuai dengan pikirannya.
"Delan!" Panggilan dari seseorang yang berbaring di sofa sama sekali tidak dia acuhkan.
Pria itu yang tak lain adalah Delan, masih fokus pada pekerjaannya. Setelah menyoroti layar komputernya, pria itu berganti menggores kertas dengan pena, seperti itu berulang kali hingga merasa sesuai. Sesekali, tangannya memijit kepalanya yang mulai berdenyut.
"Delan!" Panggilan dengan nada naik tujuh oktaf itu langsung menghentikan pergerakan Delan.
Pria itu berdecak kesal dan menatap sosok yang masih setia merebahkan tubuh di sofa. Delan mendengar panggilan dari orang tersebut beberapa kali, tapi dia enggan untuk merespon di saat otaknya tengah fokus bergelut pada pekerjaannya. Hingga, kesabaran orang tersebut mulai habis karena dia abaikan dan membuatnya meninggikan suara.
"Kau ini kenapa? Sudah beberapa hari ini terus memaksakan diri bekerja keras seperti itu?" tanyanya saat atensi Delan sudah sepenuhnya menghadap ke orang tersebut.
"Apa maksudmu? Tentu saja aku selalu bekerja keras, aku orang yang profesional dalam bekerja," balas Delan terdengar sinis karena kalimat yang dilontarkan kepadanya barusan.
Orang tersebut berdecak malas, lalu mengubah posisinya menjadi duduk dan berbalas menatap Delan yang masih memperhatikannya. "Apa Kau tidak ingin istirahat makan siang dulu, tuan Profesional?" sindirnya.
Delan memijat kepalanya sebentar, sebenarnya dia juga sudah merasa lapar. Namun, dia enggan untuk beranjak dan mengalihkan pikirannya dari pekerjaan. Hanya dengan inilah, dia bisa sedikit mengurangi beban pikirannya tentang Radella yang masih mengusik kepalanya.
"Mau makan di mana?" tanyanya sambil melepaskan kacamata yang tadi bertengger di hidungnya.
Menggeser duduknya sedikit menjauh dari layar komputer yang telah diatur untuk istirahat sebentar. Membereskan kertas-kertas yang tadi dia coret dan merapikannya. Akan kembali dia kerjakan setelah istirahat makan siang selesai.
"Nah gitu, dong. Ayo, makan di luar saja!" balas orang tersebut sambil berdiri.
Delan ikut berdiri, mengambil ponsel dan dompetnya yang ada di laci meja kerjanya. Mengikuti langkah orang di depannya, seorang pria seusianya yang menjadi satu-satunya teman dekat yang Delan miliki. Delan bukan tidak memiliki teman, tapi orang tersebut yang paling bisa bertahan lama berteman dengan Delan.
Beberapa karyawan menyapanya saat berpapasan dengan Delan, yang hanya dibalas senyuman tipis atau hanya anggukan saja. Sebenarnya, Delan bukan orang yang memiliki sifat hangat, tapi juga bukan orang yang dingin. Dia hanya orang yang berkomunikasi seperlunya saja, tidak suka basa-basi dan memperlama keadaan.
Berbeda dengan pria yang beberapa langkah di depannya, pria dengan sifat hangat dan terlalu ramah dengan senyuman tak lepas dari bibirnya saat ada orang yang menyapanya. Perbedaan itulah yang malah membuat pertemanan mereka awet, mereka berteman sejak kecil, sejak duduk di bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah akhir.
Mereka sampai di parkiran kantor, menggunakan mobil temannya, mereka mulai meninggalkan kantor menuju tempat makan. Delan tidak tahu, tempat makan mana yang akan mereka tuju, dia hanya diam mengikuti temannya yang akan membawanya. Temannya bahkan bukan pegawai kantor di tempatnya, tapi pria itu selalu datang dan merusuh ke tempatnya terutama menjelang istirahat makan siang.
"Apa Kau benar-benar tidak memiliki pekerjaan? Kenapa hampir setiap hari selalu datang ke kantorku?" Pertanyaan yang sudah dari kemarin bersarang di kepalanya, hari ini Delan utarakan.
Pria itu, menoleh dengan jengkel mendengar ucapan temannya. Kalau orang lain mendengar, mereka akan berpikir dirinya seorang pengangguran di usianya yang sangat matang ini. Apalagi pertanyaan keduanya, bisa saja orang malah berpikir lain, misalnya dirinya tidak normal mungkin, itu sangat menggelikan.
"Kerja tidak harus diam di tempat saja, membosankan. Lagian, aku bosnya, hanya tinggal menyuruh dan menerima uangnya, beres tanpa perlu ikutan pusing begitu," jawabnya jumawa dan sedikit menyindir Delan.
"Aku bos yang baik untuk pegawaiku, dengan ikutan kerja keras juga," balas Delan sengit.
Karan, nama pria yang tengah mengemudi itu tertawa mendengar nada dan balasan dari Delan. "Kau ini kenapa, sih? Beberapa hari ini sensitif sekali seperti perempuan yang sedang menstruasi."
Delan termenung, dia juga menyadari ucapan Karan ada benarnya dan pria itu yang paling sering terkena imbasnya. Perpisahan dengan Radella ternyata berdampak buruk pada perasaan dan hidupnya. Dia jadi gila kerja hanya untuk mengalihkan pikiran dari Radella, kenangan mereka dan rasa rindunya yang membuatnya hampir gila.
Ini baru sepuluh hari dari perpisahan mereka secara resmi, tapi hidupnya sudah sehampa ini. Tangannya bahkan beberapa kali sudah mengetik pesan di ruang chatnya dengan Radella, tapi dengan cepat dia hapus lalu berakhir dia mendesah frustasi. Padahal, hanya berisi sebaris kalimat yang menanyakan kabar perempuan itu.
"Wajahmu benar-benar bikin sakit mata," ejek Karan yang tengah melirik ke arahnya.
"Diam saja, dan fokus mengemudi!" balas Delan yang semakin merana.
Baru melepas pekerjaannya sebentar, tapi pikirannya sudah lari kepada Radella lagi. Ditambah dengan orang di sampingnya yang semakin memancing emosinya, membuat kepala Delan berdenyut sakit. Dia tidak tahu sampai kapan akan terjebak seperti ini, tapi dia berharap seiring berjalannya waktu semuanya akan membaik dan dirinya bisa melupakan perasaannya kepada Radella.
Rasa yang telat dia sadari, rasa yang terus dia halau kedatangannya. Sekarang, saat semuanya berakhir dia baru merasakan bagaimana sakitnya. Sakit karena orang dicintainya malah dilepas begitu saja, seharusnya dia mempertahan dan memperjuangkan bersama. Tidak peduli dengan kekasih perempuan itu, karena dirinya yang sudah menang dengan status suami perempuan itu.
"Tidak bisa, aura yang Kau bawa membawa pengaruh negatif," celutuk Karan dengan santai. Mulutnya memang terbiasa mengeluarkan kalimat yang muncul seketika di otaknya tanpa dipikir terlebih dahulu.
"Sialan, Kau yang datang merecokiku," umpat Delan yang sudah biasa dengan kalimat sarkas Karan.
"Apa Kau ada masalah? Aku tahu, Kau bukan tipe pria gila kerja hingga membuat wajahmu seperti mayat hidup seperti itu." Wajah Karan menoleh sekilas dengan sorot serius.
Hampir usia mereka habiskan bersama, sejak umur tujuh tahun hingga sekarang tiga puluh tahun. Tentu mereka paham satu sama lain dengan baik, bahkan hanya gerak-geriknya saja. Hanya saja mereka laki-laki yang tidak terlalu memperlihatkan kepedulian, mereka tahu kapan bersuara, diam dan bertindak untuk satu sama lain.
"Apa ada masalah dengan Radella? Atau Kau sudah memutuskan hubungan konyolmu dengan Tantri?"
Karan menjadi satu-satunya orang yang tahu bagaimana perjanjian konyol Radella dan Delan yang masih menjalin hubungan dengan kekasih masing-masing, di saat mereka sudah terikat menjadi suami istri. Namun, Karan tidak tahu kalau tujuan akhir pernikahan mereka adalah perpisahan. Yang Karan tahu, hubungan Delan dan Radella selama ini terlihat baik-baik saja saat dirinya berkunjung ke rumah Delan.
"Ya Tuhan, Delan. Sampai saat ini, aku tidak habis pikir dengan perjanjian aneh kalian. Bukankah, itu malah akan menyakiti banyak pihak, termasuk keluarga kalian juga kalau mereka sampai tahu!" serunya. Sudah lama Karan menahannya, dan hari ini pria cerewet itu membukanya.
"Kami berpisah," lirih Delan dengan lemah. Sakit itu terus datang saat mengingat hal tersebut, hal yang sudah direncanakan tapi malah menyerangnya.
Karan menoleh, mengulas senyum tipis. "Harusnya sedari awal saat Kau akan menikahi Radella. Tapi, baguslah setidaknya otakmu sudah mulai benar," sahutnya salah paham dengan jawaban Delan.
"Bukan berpisah dengan Tantri, tapi dengan Radella."
Mobil berhenti mendadak, membuat Delan sedikit terpental ke depan karena tidak siap. Karan menoleh dengan melebarkan mata tidak percaya. "Delan, Kau benar-benar sudah gila!"