NovelToon NovelToon
Bukan Cinderella Sekolah: Deal Sinting Sang Pangeran Sekolah

Bukan Cinderella Sekolah: Deal Sinting Sang Pangeran Sekolah

Status: sedang berlangsung
Genre:Si Mujur / Diam-Diam Cinta / Idola sekolah / Cinta Murni
Popularitas:111
Nilai: 5
Nama Author: Dagelan

Kayyisa nggak pernah mimpi jadi Cinderella.
Dia cuma siswi biasa yang kerja sambilan, berjuang buat bayar SPP, dan hidup di sekolah penuh anak sultan.

Sampai Cakra Adinata Putra — pangeran sekolah paling populer — tiba-tiba datang dengan tawaran absurd:
“Jadi pacar pura-pura gue. Sebulan aja. Gue bayar.”

Awalnya cuma kesepakatan sinting. Tapi makin lama, batas antara pura-pura dan perasaan nyata mulai kabur.

Dan di balik senyum sempurna Darel, Reva pelan-pelan menemukan luka yang bahkan cinta pun sulit menyembuhkan.
Karena ini bukan dongeng tentang sepatu kaca.

Ini kisah tentang dua dunia yang bertabrakan… dan satu hati yang diam-diam jatuh di tempat yang salah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dagelan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 29: Amarah dan negosiasi

 

Aku duduk di bangku pinggir lapangan, napasku masih tersengal seolah udara di dada cuma sedikit. Tangan masih menggenggam botol minum yang udah setengah kosong, dan keringat menetes dari pelipisku ke daguku—basahin kaos yang udah kepanasan.

Lapangan mulai sepi, siswa-siswa bubar pulang satu per satu sambil bercanda atau ngobrol tentang lomba estafet tadi. Tapi ada sesuatu yang berbeda—suara yang tidak pas dengan kebahagiaan mereka, yang menarik perhatianku meski aku cuma mau duduk dan istirahat.

Keributan kecil terdengar dari sisi jauh: suara langkah kaki cepat yang berdesak-desak, bercampur teriakan yang tidak jelas. Beberapa siswa berhenti sejenak, berkumpul membentuk lingkaran sempit, menatap ke arah tertentu seperti menonton drama yang tiba-tiba tayang tanpa pemberitahuan. Seperti biasa, aku penasaran—aku selalu penasaran pada drama sekolah—tapi kali ini rasa penasaran itu bercampur rasa khawatir yang aneh, seolah ada benang yang menarik hatiku ke situasi itu dengan kuat.

Dan… aku hampir tersedak udara.

Cakra berdiri terpisah dari kerumunan. Wajahnya muram sampai bikin langit yang baru saja cerah jadi kelabu total. Rambutnya sedikit berantakan karena angin dan keringat, bajunya yang biasanya rapi kini kusut di bagian dada—seolah dia baru saja bergerak cepat. Lengan bajunya tergulung sampe siku, tangan yang berotot terlihat jelas, dan matanya tajam menatap seseorang di depan dia—seperti harimau yang siap menyerang. Aura marahnya… luar biasa. Beberapa siswa mundur perlahan, memberi jarak seperti takut tersapu badai yang tiba-tiba dan ganas.

Jantungku berdegup kencang sampe kepala pusing. Hatiku campur aduk antara cemas, bingung, dan sedikit takut. Aku menelan ludah, jari-jari ku menggenggam botol minum sampe kencang sampai rasa sakit. Apa… yang terjadi? Dia nggak pernah marah segininya—biasanya cuma tatapan dingin doang yang bikin orang malu dan mundur. Sekarang ini… kayak orang lain deh. Bikin jantung gue mau copot. Batinku berteriak, tapi mulutku tidak bisa mengeluarkan suara—terlalu kaget.

Keributan makin memuncak. Terdengar beberapa kata keras yang teredam. “Jangan pernah Lo ganggu dia!” “Lo keterlaluan!”—tapi tak jelas siapa yang berbicara. Aku cuma bisa menonton dari tempat dudukku, badan terasa kaku, ragu untuk mendekat. Satu hal jelas ku lihat, ini bukan marah biasa. Ini marah yang bikin orang sekitar sadar harus menjauh, biar tidak terkena dampak yang tidak disengaja.

Beberapa menit kemudian, matanya menyapu lapangan dengan cepat—seolah mencari sesuatu, atau seseorang—dan pandangannya berhenti tepat di arahku. Aku menunduk sebentar, berusaha menyembunyi di balik bangku yang agak tinggi, berharap dia tidak terlalu diperhatikan. Tapi langkahnya cepat mendekat—muram, tegas, tanpa menoleh ke kiri-kanan, seolah dunia lain tidak ada selain aku dan dia.

“Kayyisa.”

Suaranya rendah tapi terdengar jelas di tengah lapangan yang mulai sepi. Nada desakannya membuatku langsung berdiri, kaki ku gemetar sedikit—tidak tau karena capek atau takut. Gugupnya bikin aku lupa harus ngomong apa.

“Eh… iya… Cakra?” Suaraku gemetar sedikit, ragu-ragu.

Aku menatap lantai, tidak berani melihat wajahnya yang masih muram. Aku tidak tahu harus bertanya apa—apakah aku harus menanyakan keributan itu, atau apakah aku ikut disalahkan, atau apakah dia baik-baik saja?

Dia menghela napas panjang, suaranya terasa berat seolah dia bawa beban besar. Dia menatapku sebentar dengan wajah tegang, lalu berkata, “Ayo… ikut gue pulang.”

Aku mengernyit, bingung total. “Pulang? Tapi… gue belum ambil tas di kelas! Buku dan pulpenku masih ada di situ—kalo lupa, besok gue bingung ngumpul tugas!”

Dia tidak menanggapi, hanya menatapku dengan serius. Tatapan itu… bikin aku merasa tidak punya pilihan selain menurut. Seolah dia ngomong “jangan tanya banyak, ikut aja” tanpa perlu bicara.

"Soal tas gue yang urus nanti."

Tanpa berkata apa-apa lagi, aku mengikuti langkahnya ke arah parkiran mobil, hati berdebar tak karuan.

Sepanjang jalan ke parkiran, aku mencoba menebak apa yang terjadi—siapa yang bikin dia marah segini, apa yang mereka bicarakan—but ekspresinya muram dan tegang. Aku takut bertanya terlalu banyak—takut memicu kemarahannya lagi, takut dia marah ke arahku dan bikin aku lebih panik.

Kami masuk mobil. Aku duduk di kursi depan, jari-jari ku menggenggam sandaran kursi sampe uratnya terlihat. Tiba-tiba, hujan mulai turun—rintik-rintik tipis yang jatuh perlahan ke kaca mobil, lalu berubah jadi deras dalam sekejap, menyemprot dengan keras seperti butiran batu. Suasana sore itu kelabu, gelap, tapi sedikit indah dengan cahaya lampu jalan yang memantul samar di permukaan jalan yang basah dan licin.

Cakra menyalakan mobil, menyalakan AC dan wiper yang bergerak ritmis dengan bunyi swish-swish. Tanpa kata apapun, dia meluncur keluar dari gerbang sekolah. Hanya suara wiper dan hujan deras yang desir-desir yang terdengar di dalam mobil—sangat hening, tapi penuh ketegangan. Aku menatapnya dari samping, mencoba membaca ekspresinya—rambutnya basah di bagian depan karena hujan yang masuk saat buka pintu, wajahnya masih tegang sampe garis alisnya terjal, tangan dia menekan setir kuat sampai uratnya terlihat di pergelangan tangan.

“Cakra? Lo sebenarnya kenapa?” aku memberanikan diri bertanya, suara gemetar dan lemah.

Dia menoleh sejenak, menatap jalan dengan wajah yang memerah karena menahan emosi. “Gue… ribut aja,” katanya singkat, tanpa menoleh ke arahku.

Suaranya rendah, tapi ketegangan di baliknya bikin aku sedikit takut—seakan dia bisa meledak kapan saja.

Aku menelan ludah, dada aku terasa sesak lebih lagi. “Berantem? Sama siapa?”

Dia menoleh sekilas ke arahku, ekspresinya campur marah dan kecewa—rasanya dia kecewa lebih banyak daripada marah. “Orang yang bikin gue kesal dari lama. Selalu ngomongin hal-hal yang nggak perlu, ganggu orang lain….” Dia berhenti sebentar, suara tiba-tiba meninggi, terbawa emosi yang sudah dia tahan. “Tapi… gue kelewat batas. Gue hampir kehilangan kendali. Hampir berantem disekolah.”

Dada aku terasa seperti tertekan oleh batu besar. Gila… dia hampir mukul orang? Ini bukan Cakra yang aku kenal—dia biasanya cuma pakai tatapan dingin buat ngalahin lawan, nggak perlu pake tangan. Sekarang ini… beneran serius. Aku mencoba tetap tenang, berbicara dengan logika seperti yang aku selalu lakukan—supaya dia ikut rileks dan nggak lupa dia lagi ngemudi. Agak kenceng, dan terkesan ugal-ugalan banget.

Kan nggak lucu, kalau tiba-tiba aku terlempar dan transmigrasi karena kecelakaan. Aku ingin hidup ku baik-baik saja. Tanpa kecelakaan.

“Cak… tarik napas dulu. Pelan-pelan. Nafas dalam-dalam. Jalan licin banget, hujan deras—kita nggak mau kejadian apa-apa kan? Jangan dipaksakan pikirin masalah tadi sekarang. Anggap ini… jeda sebentar. Biar kita nafas dan pikirin baik-baik. Bukan cuma masalahnya, tapi keselamatan kita sekarang yang lebih penting.”

Dia menarik napas panjang, dada dia naik turun perlahan. Tangan dia di setir mulai masih sibuk. muter-muter kemudi, meskipun masih kencang. “Gue… iya. Gue ngerti. Makasih, Yisa. Lo selalu bikin gue ngerti hal-hal yang sederhana tapi gue lupa kalo lagi marah.” Nada suaranya masih berat.

"Cakra." refleks karena aku ketakutan, memegangi tangannya dan menepuknya beberapa kali. "Hei! Lo mau bawa gue mati hah!"

Cakra melirik dan seketika matanya membola sebentar. Sedikit memelankan mobilnya, membuat aku juga sedikit menghela nafas menatapnya dari samping, sedikit lega. “Lihat kan? Kita yang kontrol situasi, bukan situasi yang kontrol kita. Emosi itu wajar—semua orang marah kalo dibikin kesal. Tapi kita harus tau cara ngelayaninya, biar nggak bikin hal buruk yang sesudahnya nyesel.”

Suasana menjadi hening lagi. Hanya suara wiper yang ritmis dan hujan deras di luar, plus cahaya lampu kota yang memantul di kaca mobil, membuat suasana terasa… terpencil tapi aman. Seperti kita ada di dunia sendiri, terpisah dari keramaian dan masalah luar yang bikin pusing.

Setelah beberapa menit mengemudi dengan kecepatan lambat, Cakra menepi di halte kecil yang sepi—hanya ada bangku kosong yang basah dan pohon beringin yang menjulang tinggi, dedaunannya basah dan mengkilap. Dia mematikan mesin mobil, menyalakan lampu dalam yang lembut, dan menatapku dengan tatapan yang lebih tenang—meskipun masih ada sisa ketegangan di wajahnya.

“Maaf… gue tadi terlalu emosional. Nggak seharusnya bawa semua itu ke jalan, apalagi bawa lo. Mungkin lo takut sama aku sekarang. Orang yang marah gini… pasti ngeri banget.” Katanya pelan, ada sedikit kecewa di suaranya yang bikin aku sedih—seolah dia kecewa sama dirinya sendiri.

Aku menelan ludah, masih bingung tapi mencoba jujur. “Iya… agak takut. Beneran. lo jarang banget kayak gini—selalu keliatan tenang dan terkendali. Tapi nggak sampai benci atau apa. Cuma… kaget. Dan cemas. Khawatir lo kenapa-kenapa atau sampe ngelakuin hal yang nggak seharusnya.”

Dia mengangguk, menghela napas panjang. “Kadang gue… labil. Bisa bikin orang lain khawatir, sama dirinya sendiri."

Aku menatapnya, sedikit terkejut mendengar kata-kata itu. Matanya melihatku dengan jujur, tanpa cela—bikin hatiku berdebar lagi tapi dengan rasa hangat. “Gue ngerti. Semua orang punya sisi yang sulit dikendalikan. Bukan cuma Lo. Tapi kita bisa coba bareng-bareng… tenang. Gue bisa bantu lo biar nggak terlalu terbawa emosi. Kita cuma perlu saling ngerti aja—bahkan kalau cuma sebentar.”

Dia menatapku, matanya mulai melembut. Ada setitik air mata yang hampir keluar dari sudut matanya, tapi dia cepat menutupi dengan menunduk sebentar dan mengusap matanya dengan jempolnya. “Lo… serius? Mau bantu?”

Aku tersenyum tipis, jari-jari ku sedikit rileks dari sandaran kursi. “Ya… kan kita partner? Bahkan kalau cuma pura-pura, tapi partner tetap partner kan? Daripada panik atau bingung sendirian, mending kita pikirin bareng. Lebih mudah, dan lebih aman juga.”

Dia diam beberapa saat, menatapku dengan mata yang sekarang lebih hangat—seperti cahaya matahari yang muncul setelah hujan. "Udah kan gila nya? Tapi kalau mau gila-gilaan lagi sekalian aja ke sirkuitnya." Cakra menegakkan badan, seperti terkesiap dengan ocehan ku. Sedangkan aku kaget sendiri, dan sedikit mengoreksi."

"Tapi, dengan catatan jangan bawa gue."

Lalu, akhirnya, cowok itu tersenyum tipis—senyum yang jarang dia tunjukkan ke orang lain, cuma ke aku. Suara tawa kecilnya terdengar, lembut dan manis.

“Besok… jangan bawa semua emosi ke sekolah lagi ya,” aku bercanda pelan, setengah tersenyum. “Kalau mau marah, bikin aja daftar orang yang bikin kesal, biar kita ngobrolin satu-satu. Gue jadi konselor lo deh—bayar dengan bakso porsi besar yang gue beli dari warung depan rumah.”

Dia menoleh, senyum sedikit lebih lebar—matanya cerah meski hujan masih turun di luar. “Gue bakal coba… tapi kalo ada daftar itu, namanya cuma satu.”

Aku mengangkat alis, penasaran banget. “Siapa? Orang yang bikin lo marah hari ini?”

Dia menatapku, mata dia terang bercahaya seperti bintang. “Orang yang bikin gue lupa cara marah. Lo.”

Pipi aku panas sampe mau meleleh, jantungku berdegup kencang sampe aku lupa napas. “Sial, dia ngomongin hal gini di saat kayak gini? Bikin gue bingung apakah ini pura-pura atau beneran! Jantung gue nggak kuat buat ngalamin ini.”

Tapi aku cuma bisa tersenyum kecil, sedikit menyandar kebelakang dengan berkomentar. "Jangan peres."

Aku menatap setirnya yang sekarang sudah tidak ditahan terlalu kuat, wajahnya yang mulai rileks dan malah terlihat lembut, dan sedikit tersenyum sendiri. Hari ini absurd banget. chaos lomba yang ngos-ngosan, Cakra marah yang bikin takut, hujan deras yang membuat jalan licin, mobil yang berhenti di halte sepi—tapi dari semua itu, aku belajar banyak. Belajar tentang menghadapi emosi, menjaga diri sendiri, dan menenangkan orang yang kita pedulikan—bahkan kalau cuma pura-pura.

Aku meneguk air mineral dari tas yang ternyata aku sempat ambil di kelas sebelum ke mobil untung aja, kalo nggak gue mau haus mati! lalu tersenyum tipis lagi.

✨ Bersambung…

1
Yohana
Gila seru abis!
∠?oq╄uetry┆
Gak sabar nih nunggu kelanjutannya, semangat thor!
Biasaaja_kata: Makasih banyak ya! 😍 Senang banget masih ada yang nungguin kelanjutannya. Lagi aku garap nih, semoga gak kalah seru dari sebelumnya 💪✨
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!