Clara Moestopo menikah dengan cinta pertamanya semasa SMA, Arman Ferdinand, dengan keyakinan bahwa kisah mereka akan berakhir bahagia. Namun, pernikahan itu justru dipenuhi duri mama mertua yang selalu merendahkannya, adik ipar yang licik, dan perselingkuhan Arman dengan teman SMA mereka dulu. Hingga suatu malam, pertengkaran hebat di dalam mobil berakhir tragis dalam kecelakaan yang merenggut nyawa keduanya. Tapi takdir berkata lain.Clara dan Arman terbangun kembali di masa SMA mereka, diberi kesempatan kedua untuk memperbaiki semuanya… atau mengulang kesalahan yang sama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anastasia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 29.Menunggu.
Pagi itu, langit masih berwarna abu-abu pucat ketika suara alarm di kamar Finn berdering nyaring.
Jarum jam di dinding baru menunjuk pukul 05.15, waktu yang biasanya masih ia habiskan dengan menarik selimut dan mematikan alarm untuk kedua kalinya.
Namun kali ini berbeda.
Finn terbangun seketika, duduk di tepi ranjang sambil mengusap wajahnya yang masih setengah mengantuk. Ada sesuatu yang mendorongnya untuk bangun lebih cepat sesuatu yang bahkan ia sendiri belum mau akui yaitu keinginannya untuk melihat Clara.
Ia menatap keluar jendela. Udara pagi masih basah oleh sisa hujan semalam, dan kabut tipis melayang di atas halaman rumah keluarga Morgan. Burung-burung di pepohonan belum ramai berkicau, tapi di dada Finn sudah ada irama detak yang tidak tenang.
Setelah mandi cepat dan mengenakan seragam sekolahnya kemeja putih dengan jaket hitam di atasnya,ia turun ke ruang makan.
Kakeknya, Morgan, dan neneknya, Marina, sedang duduk menikmati teh pagi. Begitu melihat cucunya turun lebih awal dari biasanya, keduanya saling berpandangan heran.
“Wah, keajaiban apa ini?” suara neneknya menggoda dengan senyum kecil. “Biasanya jam segini kamu masih bergulat sama bantal.”
Finn hanya tersenyum tipis sambil mengambil roti panggang di meja. “Hari ini mau berangkat lebih pagi, Nek.”
Morgan menatapnya tajam di balik koran. “Berangkat lebih pagi atau mau buat masalah lagi?”
Finn tersenyum canggung. “Kakek ini buat aku serba salah,berangkat pagi katanya buat masalah,berangkat siang katanya malas. Kakek cucu mu ini sudah tobat buat kalian pusing.”
Morgan mendengus pelan tapi tidak menanggapi lebih jauh. Ia tahu cucunya cukup keras kepala untuk tidak menjawab jujur.
Sementara itu, Nenek nya menatapnya lembut. “Kalau begitu hati-hati di jalan, Nak. Jalanan masih licin, hujan semalam cukup deras.”
Finn mengangguk cepat. “Iya, Nek.”
Tak lama kemudian, suara deru motor gede milik Finn memecah kesunyian halaman rumah. Mesin bergetar halus, dan lampu depannya menyala menembus kabut pagi. Ia mengenakan helm hitamnya dan melajukan motor pelan keluar dari gerbang.
Namun begitu keluar dari tikungan, arah rodanya bukan menuju jalan besar melainkan ke arah rumah kecil berwarna krem muda, yang baru semalam dihuni dua perempuan yang kini terus berputar dalam pikirannya.
Rumah Luna dan Clara.
Finn memperlambat laju motor, lalu berhenti di seberang jalan. Ia mematikan mesin agar suaranya tidak mengusik siapa pun. Napasnya mengembun di udara dingin.
Dari balik kaca helm, ia menatap rumah itu.
Lampu dapur di dalam rumah menyala samar, menandakan seseorang sudah bangun.
Beberapa menit kemudian, tirai di ruang depan bergerak pelan. Seorang wanita muncul di balik jendela yaitu Luna, mengenakan pakaian rumah sederhana, sedang menyapu lantai. Tak lama kemudian, suara pintu kamar terdengar dari dalam rumah.
Finn menegakkan tubuh. Ia tahu, itu pasti Clara.
Pintu depan terbuka perlahan. Clara keluar dengan rambut terikat tinggi, mengenakan seragam sekolah dan membawa tas ransel hitam. Wajahnya tampak lebih tenang dibanding semalam, tapi matanya masih menyimpan sedikit bayang lelah.
Clara berdiri terpaku di ambang pintu, sepatu sekolahnya belum sepenuhnya menapak di tanah ketika matanya menangkap sosok itu,pria berjaket hitam dengan motor gede yang berhenti tepat di depan rumahnya.
Helm hitam itu menutupi sebagian wajahnya, tapi suara mesin yang baru saja dimatikan, cara pria itu duduk dengan satu kaki menapak tanah, dan bayangan tubuhnya yang tegap… semuanya terasa terlalu familiar.
Detak jantung Clara langsung melonjak.
Tidak mungkin… dia?
Finn melepas helmnya perlahan. Rambutnya yang agak berantakan tertiup angin pagi, dan seulas senyum kecil muncul di sudut bibirnya. “Pagi.”
Clara membeku di tempat. Butuh beberapa detik sampai suara itu benar-benar menembus pikirannya. Suara yang sama yang siang itu menenangkan dirinya di tengah gerimis, di jalanan sepi yang nyaris membuatnya putus asa.
“Finn…” bisiknya pelan, hampir tak terdengar.
Finn menurunkan helm dan menyandarkannya di setang motor. “Pagi Clara,sejak kapan kamu pindah disini?” tanyanya dengan nada setengah bercanda, meski matanya menatap lekat, memastikan Clara benar-benar baik-baik saja.
Clara sempat terdiam hanya beberapa detik setelah mendengar suaranya,tapi lalu sesuatu dalam dirinya seperti meledak.
Tanpa berpikir panjang, ia melangkah cepat menuruni anak tangga, lalu berlari kecil mendekati Finn. Jaket hitam pemuda itu belum sempat tertata rapi di pundaknya ketika tiba-tiba Clara sudah berdiri tepat di depannya, wajahnya bersinar penuh semangat.
“Finn!” serunya dengan nada lega yang nyaris seperti teriakan kecil.
Finn refleks menegakkan tubuh, belum sempat menyiapkan diri ketika tangan Clara tiba-tiba menggenggam tangannya erat yang terasa hangat dan lembut, membuatnya spontan membeku.
“Terima kasih!” ujar Clara cepat, matanya berkilat penuh rasa syukur. “Terima kasih banyak, Finn! Kalau waktu itu kamu nggak nolong aku, aku mungkin nggak bakal sempat ketemu Mama lagi. Aku… aku nggak tahu harus gimana balasnya.”
Finn hanya bisa menatapnya, masih kaget. Ia tak pernah melihat Clara seperti ini sebelumnya. Biasanya gadis itu dingin, cepat bicara lalu cepat pergi, dengan tatapan datar seolah tidak peduli pada siapa pun. Tapi sekarang berbeda senyumnya selebar itu, matanya begitu hidup, dan jemarinya masih menggenggam tangannya tanpa sadar.
“Oh, uh… i-itu cuma kebetulan aja,” ucap Finn gugup, mencoba mengalihkan pandangan. “Aku cuma lewat waktu itu. Kamu nggak perlu segitunya.”
Clara menggeleng cepat, masih tersenyum. “Nggak, aku nggak bakal lupa. Kamu tahu nggak? Mama waktu itu lagi sakit, dan kalau aku terlambat sedikit aja… aku—” suaranya melemah, tapi kemudian ia tersenyum lagi. “Pokoknya, aku berutang sama kamu, Finn.”
Finn menelan ludah pelan. Ia bisa merasakan jantungnya berdetak agak cepat yang bukan karena dingin, tapi karena cara Clara menatapnya sekarang. Ada sesuatu yang baru di sana. Sesuatu yang hangat dan tulus, yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
“Y-ya sudah, kalau kamu baik-baik aja, aku senang,” jawab Finn, berusaha menjaga nada suaranya tetap santai meski ujung telinganya mulai memerah.
Clara menyadari masih menggenggam tangannya. Ia buru-buru melepaskannya, wajahnya langsung merah padam. “Ah—maaf! Aku nggak sadar…” katanya cepat, menunduk malu.
Finn terkekeh kecil, masih agak kikuk tapi tak bisa menahan senyum. “Nggak apa-apa. Biasanya kamu kalau ngomong ke aku itu kayak… pengen nyubit, bukan salaman.”
Clara spontan melotot, tapi tak bisa menahan tawa kecil yang lolos dari bibirnya. “Kamu ini! Jangan aneh-aneh, ya.”
Finn menaikkan sebelah alis, pura-pura serius. “Jadi sekarang kamu bisa senyum juga, ternyata.”
Clara mencubit pelan lengannya, tapi wajahnya masih merah dan matanya berbinar. “Aku senyum kalau alasannya cukup bagus.”
Finn menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. “Kalau gitu, aku harap bisa bikin kamu senyum seperti ini.”
Clara tertegun, tak tahu harus membalas apa. Di udara yang masih dingin dan lembap, kata-kata Finn seperti menggema lebih lama dari seharusnya.
Suara pintu rumah berderit dari belakang mereka. Luna muncul di ambang pintu, memandangi keduanya dengan alis terangkat dan senyum samar yang sulit dibaca.
“Clara, kamu nggak mau berangkat?” panggilnya lembut. “Kalau tidak, kamu bakal terlambat ke sekolah.”
Clara cepat-cepat mengangguk. “Iya, Ma!”
Finn menyentuh helmnya, mencoba menutupi rasa gugup yang kembali datang. “Kalau kamu mau, aku bisa antar. Sekalian kita bisa berangkat bersama.”lanjut Finn, “Boleh tante, Clara berangkat dengan ku?. ”
“Tentu saja, bukankah kalian satu sekolah. ”
Clara memandang motor besar itu, lalu menatap Finn. Setelah ragu sejenak, ia tersenyum lagi yang lebih lembut kali ini. “Boleh. Tapi jangan ngebut, ya.”
Finn menyalakan mesin, menatapnya sambil tersenyum kecil. “Janji. Aku pelan saja,jangan khawatir!.”
Akhirnya mereka berdua berpamitan dengan Luna, dan Luna mengiyakan mereka pergi bersama.
Clara tertawa kecil, lalu naik ke motor. Saat motor melaju menembus kabut, Luna berdiri di depan rumah sambil menatap punggung anaknya yang perlahan menjauh bersama pemuda itu.
Ada senyum lembut di wajahnya senyum seorang ibu yang tahu, mungkin pagi itu adalah awal dari sesuatu yang berbeda dalam hidup Clara.“Sepertinya pria yang bernama Finn menyukai Clara, cepat sekali putriku sudah dewasa!. ”
Setelah mengucapkan itu Luna langsung masuk kedalam rumah baru mereka, ia masih membersihkan dan menata rumah mereka untuk mengisi waktu luang.
penasaran bangetttttttt🤭