Alya, siswi SMA berusia 17 tahun dari keluarga miskin, tak pernah menyangka niat baik menolong pria tak dikenal justru membuatnya dituduh berzina oleh warga. Pria itu ternyata kepala sekolahnya sendiri. Reihan, 30 tahun, tampan dan terpandang. Untuk menyelamatkan reputasi, mereka dipaksa menikah dalam kontrak.
Kini, Alya menjalani hidup ganda: murid biasa di siang hari, istri kepala sekolah di balik pintu rumah.
Tapi mungkinkah cinta lahir dari pernikahan yang tak pernah diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 11
** hai semua... Sebelumnya saya mau menginfokan untuk para pembaca yang sudah membaca cerita ini hingga bab 10. Agar membaca ulang dari bab 9. Dikarenakan saya baru saja melakukan revisi pada bagian bab tersebut. maaf atas ketidak nyamanan nya... Sebagai dukungan untuk autor, mohon tinggal LIKE dan KOMENTAR. Kritik dan saran kalian sangat berarti bagi saya... TERIMA KASIH ***
***
Sudah lima hari sejak Alya menghilang dari apartemen Reihan dan juga dari sekolah. Lima hari yang terasa seperti siksaan perlahan bagi Reihan, yang meski terlihat tenang dan dingin dari luar, namun di dalamnya bergolak seperti badai yang tak mampu ia redam.
Di ruang kerjanya yang sepi, Reihan duduk di balik meja besar yang penuh tumpukan berkas turnamen yang akan segera di gelar. Tangan kanannya sibuk membubuhkan tanda tangan, mencoret kertas demi kertas dengan tinta hitam yang nyaris habis. Namun tiba-tiba, tangannya berhenti.
Bibirnya menghela napas berat. Bolpoin yang sejak tadi digenggamnya diletakkan pelan ke atas meja.
Alya.
Nama itu melintas lagi dalam kepalanya, seperti hantu yang enggan pergi. Wajahnya yang pucat. Matanya yang sayu. Tubuhnya yang kaku saat disentuh. Semua terekam jelas, terlalu jelas.
"Apa aku harus mendatangi rumah orang tuanya?" gumamnya pelan.
"Dia bahkan tidak datang ke sekolah selama lima hari." Reihan bergumam lagi, kali ini lebih lirih, seolah takut mendengar jawabannya sendiri.
Bayangan peristiwa beberapa hari lalu berkelebat begitu saja di kepalanya. bagaimana Alya dipermalukan di tengah lapangan oleh para siswa yang menuduhnya wanita murahan. Bagaimana ia hanya berdiri di sana, diam... menyaksikan tanpa membela.
"Apa aku terlalu kejam...?" bisiknya.
“Membiarkannya menderita tanpa sedikit pun usaha untuk menolong…”
“Padahal aku punya kuasa. Tapi aku hanya... membisu.”
Ada rasa bersalah. Tapi bukan hanya itu. Ada perasaan lain yang belum sempat ia beri nama.
Dan saat pikirannya tenggelam semakin dalam, suara ketukan pintu memecah keheningan.
Tok. Tok. Tok.
“Masuk,” ucapnya cepat.
Pintu terbuka. Dan langkah kaki masuk, ringan namun penuh tekanan. Reihan menoleh. Pandangannya tertumbuk pada sosok yang menghantuinya setiap malam belakangan ini.
Alya.
Nama itu nyaris lolos dari bibirnya, tapi hanya menjadi bisikan. Ia berdiri, refleks, seakan tak percaya gadis itu benar-benar ada di hadapannya.
Alya berjalan pelan, langkahnya pasti. Ia berhenti tepat di depan Reihan. Wajahnya datar, tapi matanya... ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Luka, mungkin. Atau kecewa yang sudah membeku.
Wajah Reihan yang tadi sempat menunjukkan kelegaan, kembali berubah dingin. Kaku. Ia terlalu takut terlihat lemah.
“Kemana saja kau selama ini?” tanyanya tajam. Sorot matanya menatap tajam ke arah Alya.
“Saya pulang ke rumah orang tua saya,” jawab Alya tenang, dingin.
“Apa kau berniat mempermalukan ku di depan mereka? Agar mereka menganggap aku suami yang tidak bertanggung jawab?”
Nada suara Reihan mulai meninggi, berusaha menguasai percakapan seperti biasanya.
“Bapak tak perlu merasa seperti itu,” jawab Alya datar.
“Lagi pula, kita menikah hanya karena kesalahpahaman. Kita tidak saling mencintai.”
Seketika, dada Reihan terasa sesak. Kata-kata itu seharusnya tidak menyakitkan... tapi nyatanya menusuk.
“Alya!” bentaknya, tidak suka dengan ucapan gadis itu.
Tapi Alya tidak goyah. Ia membuka ranselnya, mengeluarkan selembar kertas, dan menyerahkannya ke hadapan Reihan.
“Saya tidak datang untuk berdebat. Tolong tandatangani ini,” ujarnya tegas.
Reihan mengambil kertas itu. Matanya menyusuri setiap baris.
Surat pengajuan pindah sekolah.
Seketika tubuhnya menegang. Rahangnya mengeras, penuh amarah.
“Apa-apaan ini?” suaranya pelan tapi bergetar.
“Saya akan pindah. Saya tidak ingin terus berada di tempat ini. Sekolah ini… bukan tempat saya.”
Nada suara Alya mulai goyah, tapi ia tetap berdiri tegak. Reihan bisa melihat tangan gadis itu bergetar sedikit saat berkata demikian.
“Aku tidak akan menyetujuinya.”
“Kenapa?” tanya Alya, terkejut. Ia mengira Reihan akan dengan mudah melepaskannya.
“Aku tidak tahu... Tapi aku tidak akan menyetujuinya.” Reihan menunduk, suaranya dalam. Ia sendiri tidak bisa menjelaskan alasan di balik keputusannya.
Alya melangkah maju. Kini wajahnya mulai memerah.
“Kenapa Bapak egois sekali? Bapak tidak punya hak menentukan jalan hidup saya.”
“Saya punya hak!” bentak Reihan. Matanya mulai merah, dan rahangnya mengeras.
“Kamu istri ku, Alya!”
“Saya bukan istri Anda!” Alya membalas dengan suara yang sama kerasnya.
Kata-kata itu adalah cambuk. Reihan nyaris kehilangan kendali. Ia maju cepat, mencengkeram lengan Alya dengan keras. Lalu, tanpa aba-aba, ia menarik Alya ke pelukannya.
Seketika, bibir mereka bersentuhan. Paksa. Reihan mencium Alya dalam-dalam. Tidak ada kelembutan, tidak ada cinta. Hanya kebingungan, kemarahan, dan luka yang saling menumpuk.
Tubuh Alya menegang. Ia berusaha melepaskan diri. Tapi Reihan menahannya, seperti pria yang tak rela ditinggalkan oleh sesuatu yang baru ia sadari sangat berarti.
Ciuman itu berlangsung cukup lama, dan saat akhirnya Reihan melepaskannya, napas Alya terengah. Matanya berkaca, penuh kemarahan. Dan sebelum Reihan sempat bicara,
plak!
sebuah tamparan keras mendarat di wajah pria itu, meninggalkan rasa panas dan perih di pipinya.
Dengan tangan gemetar, Alya mengusap bibirnya seolah ingin menghapus semua bekas rasa.
“Brengsek!” maki Alya. isaknya tertahan, suara patah hati yang membeku.
Alya meraih kembali surat dari meja, lalu mengambil stempel khusus kepala sekolah yang tergeletak di dekatnya. Ia menekannya dengan paksa ke atas kertas, membuat tanda resmi yang menegaskan keputusannya.
“Saya tidak butuh persetujuan Anda,” gumamnya dingin.
“Saya sudah cukup lama terkurung dalam situasi yang bahkan bukan pilihan saya.”
Lalu ia berbalik, melangkah pergi. Tidak lagi terburu-buru. Tapi pasti. Sebuah keputusan final telah dibuat.
Reihan hanya bisa mematung. Menatap punggung Alya yang perlahan menghilang di balik pintu.
Dan saat pintu itu tertutup rapat. entah mengapa, dadanya terasa begitu sesak.
“Sial…” umpat lirih. Tapi tidak ada lagi yang bisa ia lakukan.