Ben Wang hidup kembali setelah kematian tragis yang membuka matanya pada kebenaran pahit—kekasihnya adalah pengkhianat, sementara Moon Lee, gadis sederhana yang selalu ia abaikan, ternyata cinta sejati yang tulus mendukungnya.
Diberi kesempatan kedua, Ben bertekad melindungi Moon dari takdir kelam, membalas dendam pada sang pengkhianat, dan kali ini… mencintai Moon dengan sepenuh hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Ben sedang menemani Moon yang bersiap-siap untuk keluar dari rumah sakit.
“Moon, aku akan mengantarmu ke apartemen dulu. Tenangkan hati Nenek, jangan biarkan dia khawatir. Aku sudah meminta pihak rumah sakit untuk menjaga Nenek. Kalau terjadi apa pun, mereka akan segera menghubungi kita,” ujar Ben dengan lembut.
Moon mengangguk. “Iya, aku sudah beberapa hari tidak masuk kerja. Besok aku ingin mulai bekerja lagi.”
Ben menatapnya lembut. “Kau sebaiknya istirahat dulu. Nenek baru sadar, dan aku tahu kau ingin menghabiskan waktu bersamanya. Jangan khawatir soal pekerjaan, aku yang akan mengurus semuanya.”
Tiba-tiba, suara langkah terdengar dari depan pintu kamar. Joe dan Steven muncul dengan wajah hangat.
“Moon! Ben!” seru Joe.
“Moon, apakah kau ingin keluar?” tanya Steven.
“Iya, aku sudah sembuh. Hanya luka ringan,” jawab Moon dengan sopan.
“Moon, Bibi sudah menyiapkan beberapa hidangan untukmu. Bagaimana kalau siang ini kita makan bersama?” ajak Joe penuh harap.
“Benar,” tambah Steven sambil tersenyum lebar. “Bibimu bangun pagi-pagi sekali untuk menyiapkan makanan spesial untukmu. Kau tidak boleh menolak permintaan kami.”
Moon menatap keduanya, dan tiba-tiba matanya mulai berkaca-kaca. Ia bisa merasakan kehangatan dan kasih sayang dari dua orang yang ternyata adalah orang tua kandungnya.f
“Pa... Ma...” panggil Moon lirih.
Steven dan Joe sama-sama terpaku. Air mata langsung menetes di pipi Joe.
“Moon... apa yang baru saja kau panggil?” tanya Steven dengan suara bergetar, hampir tak percaya.
“Papa,” jawab Moon pelan tapi tegas.
Ben menatap mereka dengan senyum hangat. “Paman, Bibi... Moon sudah tahu semuanya.”
Joe langsung menahan isak, lalu memeluk Moon erat-erat. “Putriku... maafkan Papa dan Mama. Kami datang terlambat. Andai kami menemukanmu lebih cepat, kau tidak akan melalui semua penderitaan itu.”
Moon menggeleng dengan mata lembap. “Ma, aku tidak menderita. Nenek sudah memberiku segalanya—kasih sayang, tempat untuk pulang, dan keluarga. Ben juga selalu melindungiku.”
Steven menatap mereka dengan penuh rasa bersalah, lalu berkata dengan nada mantap, “Moon, Papa akan menebus semua waktu yang hilang. Ikutlah bersama kami pulang. Dan ajak juga Nenekmu. Beliau sudah membesarkanmu dengan sepenuh hati. Sekarang giliran kami yang akan menjaga dan menghormatinya seperti ibu kandung kami sendiri.”
Moon menatap mereka tak percaya, matanya membulat karena haru. “Pa, Ma... benarkah? Nenek bisa ikut denganku?”
“Tentu saja,” jawab Joe sambil tersenyum hangat. “Kau telah hidup bersama Nenek sejak kecil. Mana mungkin kami memisahkan kalian berdua?”
Moon tersenyum bahagia, “Terima kasih, Pa... Ma...”
Ben menatap ketiganya dengan senyum lega. Dalam hatinya, ia tahu—untuk pertama kalinya dalam hidup, Moon benar-benar pulang.
Satu Bulan Kemudian
Moon melangkah pelan ke dalam ruang kunjungan penjara wanita. Di balik kaca tebal, Viona duduk dengan wajah tanpa riasan, bekas luka masih jelas terlihat di pipinya.
Moon mengambil gagang telepon, sementara Viona menatapnya penuh amarah dan kebencian.
“Untuk apa kau datang ke sini? Ingin menertawakan keadaanku?” tanya Viona dengan suara bergetar.
Moon menatapnya datar.
“Tidak ada yang perlu ditertawakan, Viona. Semua yang kau alami sekarang adalah akibat dari pilihanmu sendiri.”
“Moon Lee… wajahku cacat, aku harus menjalani masa muda di dalam penjara. Ben dan orang tuaku bahkan tak mau melihatku lagi! Kau puas sekarang?” teriak Viona, hampir menangis.
Moon menghela napas pelan.
“Ben adalah tunanganku sekarang. Dan kedua orang tuamu… mereka adalah orang tua kandungku.”
Viona menegang.
“A-apa katamu? Tunanganmu? Dan… mereka orang tuamu?” suaranya nyaris tak keluar.
“Selama ini kau hanya menumpang di rumah itu, tapi masih berani merebut segalanya dariku,” ujar Moon tenang namun menusuk. “Bagaimana rasanya sekarang, Viona? Duduk di balik jeruji, sendiri, tanpa siapa pun membelamu?”
“Aku tidak percaya… Aku ingin bertemu Ben! Aku ingin melihat Papa dan Mama!” seru Viona panik.
“Ben tidak ingin menemuimu. Ia menungguku di luar. Papa dan Mama pun sudah menungguku makan siang di rumah,” jawab Moon dingin. “Kau kehilangan segalanya karena keserakahanmu sendiri.”
Air mata mulai jatuh di pipi Viona.
“Jadi kau datang ke sini hanya untuk menyakitiku?”
Moon tersenyum samar, namun matanya penuh luka.
“Aku datang agar kau tahu — segalanya yang dulu kau rebut dariku, kini sudah kembali ke pemiliknya. Cinta, keluarga, dan kebahagiaan. Nikmatilah hidupmu di sini, Viona… karena di luar sana, aku akhirnya bebas dari bayang-bayangmu.”
Moon menutup telepon perlahan. Ia berdiri dan berbalik tanpa menoleh lagi. Di balik kaca, Viona menatap kepergian Moon dengan wajah kosong, menyadari bahwa kali ini — ia benar-benar sendirian.
Viona menatap Moon dengan mata merah dan napas tersengal. Emosi yang ia tahan sejak tadi akhirnya meledak.
“Moon Lee! Kembalikan mereka padaku! Papa, Mama, dan Ben—mereka milikku!” teriaknya histeris sambil meninju kaca pembatas di depannya. “Kau tidak berhak mengambil apa pun dariku! Mereka semua… milikku!”
Suara jeritannya menggema di ruang kunjungan hingga membuat para petugas menoleh. Dua sipir wanita segera bergegas masuk.
“Tahanan nomor 309, tenang! Tarik napas dalam!” seru salah satu petugas sambil menahan bahunya.
Namun Viona justru meronta semakin keras. Air mata bercampur amarah, wajahnya memerah penuh kebencian.
“Tidak! Aku tidak mau! Harta mereka milikku! Orang tua itu… Papa dan Mama adalah milikku! Dan Ben… dia seharusnya menikah denganku!” suaranya serak, nyaris tak terdengar antara tangisan dan tawa gila.
“Kau hanya anak desa! Kau tidak pantas menjadi putri keluarga Lu! Kau bukan siapa-siapa, Moon Lee!” jerit Viona sambil mencoba melepaskan diri dari cengkeraman petugas.
“Kondisinya tidak stabil! Cepat bawa ke ruang medis!” perintah salah satu petugas.
Viona masih menjerit saat tubuhnya dipaksa berdiri.
“Aku bukan tahanan! Aku nona besar! Aku Viona Lu! Semuanya milikku ... Papa, Mama, dan Ben ... milikku!”
Moon melangkah keluar dari ruang kunjungan dengan langkah tenang. Udara sore hari terasa lebih ringan setelah semua beban masa lalunya ia lepaskan. Di depan gerbang, Ben sudah menunggunya dengan senyum hangat yang selalu membuat hatinya tenang.
Begitu melihat Moon mendekat, Ben berdiri dan menyambutnya.
“Mari kita pulang,” katanya lembut, menatap gadis itu penuh kasih.
Moon tersenyum pelan.
“Iya,” jawabnya singkat, namun matanya berbinar.
Ben mendekat, mengecup kening Moon dengan lembut—sebuah sentuhan yang menenangkan dan penuh janji.
Lalu, dengan lembut ia merangkul pinggang Moon, menuntunnya menuju mobil.
Mereka masuk dan duduk berdampingan. Saat mobil perlahan melaju meninggalkan halaman penjara, sinar matahari sore menembus kaca jendela, menyinari wajah keduanya.
Di sana, senyum bahagia terlukis di wajah mereka—senyum dua insan yang akhirnya menemukan kedamaian setelah badai panjang, senyum yang diiringi cinta yang tulus dan abadi.
giliran dibalik nnti baru nangis kejer kalo si Ben perhatian dan senyum ke cewe lain pas mereka pacaran
mending moon mati aja deh gausah jdi fl
makin seru😍..
dobel up