NovelToon NovelToon
Dari Dunia Lain Untuk Anda

Dari Dunia Lain Untuk Anda

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Mata Batin
Popularitas:397
Nilai: 5
Nama Author: Eric Leonadus

Sepuluh mahasiswa mengalami kecelakaan dan terjebak di sebuah desa terpencil yang sangat menjunjung tinggi adat dan budaya. Dari sepuluh orang tersebut, empat diantaranya menghilang. Hanya satu orang saja yang ditemukan, namun, ia sudah lupa siapa dirinya. Ia berubah menjadi orang lain. Liar, gila dan aneh. Ternyata, dibalik keramah tambahan penduduk setempat, tersimpan sesuatu yang mengerikan dan tidak wajar.

Di tempat lain, Arimbi selalu mengenakan masker. Ia memiliki alasan tersendiri mengapa masker selalu menutupi hidung dan mulutnya. Jika sampai masker itu dilepas maka, dunia akan mengalami perubahan besar, makhluk-makhluk atau sosok-sosok dari dunia lain akan menyeberang ke dunia manusia, untuk itulah Arimbi harus mencegah agar mereka tidak bisa menyeberang dan harus rela menerima apapun konsekuensinya.

Masker adalah salah satu dari sepuluh kisah mistis yang akan membawa Anda berpetualang melintasi lorong ruang dan waktu. Semoga para pembaca yang budiman terhibur.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 29 : [ Tersesat ] Di Nakampe Gading - Bagian Pertama

PROLOG :

Wanita itu membuka matanya.

Kaki dan tangannya terikat kuat pada sebuah patung hitam legam dan mengerikan. Patung itu berwujud sebuah makhluk yang memiliki 4 tanduk. 2 tanduk itu menancap pada kepala bagian kanan, kiri dan dua tanduk yang lain menancap tepat pada dahi kiri dan kanan.

Sepasang matanya merah membelalak lebar, menatap ke arah para penduduk yang duduk di hadapannya. Mulut menganga, memperlihatkan deretan gigi yang panjang dan runcing.

Jumlah tangannya 10 buah, 2 buah diletakkan di dada, 4 tangan menempel di tubuh sebelah kiri membawa benda seperti pedang, tombak, trisula dan gada. 4 tangan lain, menempel pada sebelah kanan membawa kepala manusia, poci / cangkir, jantung dan piring. Warna patung itu hitam legam bagaikan arang, tampak hidup saat cahaya api pada lentera dan obor menyinarinya.

Wanita itu berontak mencoba melepaskan diri dari ikatan tersebut. Di hadapannya ada kira – kira 20 orang lebih duduk bersila, mata mereka terpejam, mulutnya komat – kamit seakan mengucap mantra. Sementara, udara di sekitar seakan menebarkan aroma aneh, aroma wewangian yang berasal dari tungku di tengah ruangan seluas dua puluh meter persegi itu.

Seorang laki – laki tua berpakaian abu – abu berdiri disamping patung itu sementara sepasang matanya yang kecil, menatapnya tanpa berkedip.

“Mbah Jauhari, apa yang hendak Mbah lakukan pada saya ?” tanya wanita itu.

Laki – laki tua itu membisu, sepertinya tidak mendengar. Ia berjalan ke arah meja dimana terdapat mangkuk dan pisau berjumlah dua puluh satu buah. Jari-jemarinya meraih sebuah mangkuk perunggu berukiran indah setelah itu mengeluarkan sebuah kudi.

Kudi atau kudhi adalah alat bantu pekerjaan untuk membelah atau memotong benda keras, seperti parang. Sebagaimana parang, kudi hanya memiliki satu sisi tajam, berbentuk agak melengkung menyerupai celurit tetapi bagian pangkalnya membesar.

Bentuk kudi yang lebih langsing dapat dipergunakan sebagai senjata.

Senjata kujang dianggap sebagai kembangan dari kudi. Asal kata "kujang" konon adalah "kudi hyang" atau ("kudi milik dewa"). Tokoh pewayangan Bagong versi Banyumas, dinamakan Bawor, digambarkan mengenakan kudi sebagai senjata pegangannya (curiga). Oleh orang Banyumas, kudi dianggap sebagai salah satu identitas budaya.

Wajah wanita itu memucat saat Kudi itu didekatkan padanya.

“Maaf, Mbah harus melakukannya, sebab, TAPA BRATA YOGA SAMADHI adalah jalan untuk menghindarkan desa ini dari balak / malapetaka. Warga desa ini sepakat untuk tidak menerima kaum pendatang. Karena, merekalah pembawa bencana itu,” kata laki – laki tua yang dipanggil dengan sebutan Mbah Jauhari itu, dan...

“Sreth...”

Mata Kudi yang tajam berkilat – kilat itu tahu – tahu sudah menyayat betis paha, wanita itu berteriak kesakitan, darah merembes membasahi betis pahanya. Buru – buru Mbah Jauhari segera mendekatkan mulut mangkuknya di dekat luka dan sebagian darah yang menetes masuk ke dalam mangkuk.

Beberapa orang berdiri, berjalan menuju meja, mengambil sebuah mangkuk dan pisau. Satu persatu, mereka menyayatkan pisaunya ke bagian tubuh wanita itu dan memenuhi mangkuk dengan darahnya. Tubuhnya bergetar hebat, ia menjerit – jerit kesakitan, tapi tak seorang pun mempedulikannya, mereka terus menyayat dan menyayat hingga akhirnya pingsan. Sementara orang – orang itu tidak berhenti menyayat hingga orang yang kedua puluh mengakhiri deritanya.

Setelah orang – orang memenuhi mangkuknya dengan darah wanita itu, mereka berdoa yang dikemas dalam lirik sebuah lagu :

“Hidup senjakala di Kaki Raung ...

Nakampe Gading, aman sentosa,

Sekalipun sederhana namun berkecukupan...

Selalu dalam lindungannya....

Bersih dari angkara murka...

Tak berwujud tapi berwujud...

Tak berdarah tapi berdarah....

Tak berdaging tapi berdaging...

Lelepah tidak ada lagi....

Selamanya .... “

_____

"Sudah, siap berangkat Cel ?" tanya Bella.

"Sudah. Tinggal nunggu yang lain, mereka belum datang, ya, Bel ?"

"Tinggal nunggu si Pedro, Ikbal, Parto dan Akhmad. Cowok-cowok cupu itu mesti telat padahal bentar lagi mobil kita datang," Yulia menimpali.

"Trus, si Joan ?" tanyaku.

"Tuh, lagi makan," ujar Hudi sambil menunjuk Joan yang sedang duduk santai di warteg tak jauh dari tempat kami berdiri.

Aku tersenyum melihat Joan yang sekalipun ia banyak makan namun, badannya tetap tidak bisa gemuk. Bukannya, dia cacingan atau apa, namun sudah perawakannya yang atletis seperti Pemeran Tokoh serial Xena Warrior Princess yang pernah populer ditayangkan oleh salah satu stasiun tv swasta. Tubuh Joan memang mirip Lucy Lawless.

Saat aku menatapnya, secara kebetulan sepasang mata kami bertemu. Ia tersenyum, melambaikan tangannya lalu memanggilku, "Hei, Cella... kemarilah,"

Aku segera menghampirinya dan saat mataku tertuju pada piring berisi 2 potong daging babat, telur, sayur dan sambal goreng kacang, tempe dan buncis yang masih mengepulkan asap tipis membuat cacing-cacing dalam perutku berontak. Semenjak bangun tidur, mandi dan mempersiapkan diri untuk berangkat KKN ke kota sebelah, aku sama sekali belum mengganjal perutku meski sepotong roti dengan mentega serta susu yang sudah dipersiapkan oleh Mbak Sus dari jam setengah lima pagi tadi.

"Kau belum makan, bukan... ini kebetulan aku memesan lauk-pauk & minuman kesukaanmu itu. Ayo, makan bersama-sama denganku... mereka sudah aku tawari, namun, menolak takut muntah di jalan katanya. Ayo, ambil. Tidak usah sungkan. Aku sudah bayar semuanya," sahut Joan sambil menyodorkan sebuah piring dan sendok.

"Terima kasih, Joan... aku memang tadi bangun kesiangan ga sempat makan," kataku sambil mengambil nasi dan lauk yang sudah disediakan di tas meja. Kami berdua makan dengan lahap sekali.

***

Kami seakan naik rollercoaster manakala mobil yang kami kendarai dengan kecepatan tinggi melewati jalanan yang tidak rata, lubang disana-sini, tikungan yang tajam sementara di sebelah kanan adalah dinding gunung yang sewaktu-waktu bisa longsor sementara di sebelah kiri jurang yang dalam menganga. Meski kami ketakutan setengah mati, kami sekaligus takjub dengan pesona pemandangan alam yang tersaji di depan mata kami.

Berulang kali Bella memperingatkan Pak Dadung, sopir mobil untuk mengurangi kecepatan saat melewati tikungan tajam dan jalanan menurun. "Tenang, saja, non... bapak sudah berpengalaman melewati jalan-jalan seperti ini," kata Pak Dadung.

Jalanan semakin menikung dengan tajam, sopir berusia kepala 5 itu segera membelok, jalanan menurun, di depan sana sebuah truk melaju dari arah yang berlawanan, kami semua terkesiap di kanan tebing, di kiri jurang di depan truk menghadang, sekalipun Pak Dadung ahli dalam mengendarai mobil namun tidak bisa menghindar dari kendaraan raksasa tersebut. Pak Dadung memilih untuk melintasi bibir jurang.

Roda mobil terlalu tipis untuk menggilas jalanan sempit di bibir jurang untuk sesaat kami menahan nafas berharap tidak jatuh ke jurang akan tetapi, jalanan itu rapuh dan mobil kami condong ke kiri hingga akhirnya....

Mobil berguling-guling, kami semua berpegang pada apa saja yang bisa kami pegang untuk menahan supaya kami tidak terlempar keluar, tak ada yang bisa kami lakukan selain berteriak dan menangis hingga akhirnya pandangan kami gelap, sebelum mataku terpejam aku sempat melihat sosok-sosok bayangan berdatangan dan terdengar suara...

"Dorong-dorong terus, mereka hanya luka-luka dan gegar otak ringan tak ada yang mati, tapi, sopirnya tergencet badan mobil nyawanya tak bisa diselamatkan lagi, kita harus membantunya keluar,"

Aku bersyukur sekali mendengarnya, setidaknya teman-temanku selamat... setelah itu pandanganku berkunang-kunang, tubuhku lemas karena sakit tak tertahankan di bagian pelipis kananku.

***

Saat aku membuka mata, kudapati tubuhku terbaring di sebuah pembaringan yang empuk, dan tercium aroma harum menyengat bercampur dengan aroma masakan tepat di samping tempat tidur.

"Kau sudah sadar ?" seorang wanita yang duduk disamping kanan pembaringan, umurnya sekitar 45 tahunan, wajahnya tampak begitu ramah, pandangan matanya menunjukkan kasih sayang dan saat kami beradu pandang, aku merasa nyaman sekali, "Kau pingsan selama 2 hari," katanya.

"Dimana saya berada, bi ?" tanyaku lemah,

"Lalu mana teman-teman saya yang lain ?"

"Kau berada di desa Nakampe Gading. Jangan khawatir, keenam temanmu, selamat. Penduduk desa telah menempatkan mereka di rumah tamu tak jauh dari sini. Pulihkan kesehatanmu terlebih dahulu baru kau bisa menemui mereka, nak," kata wanita itu sambil menyelimutiku dan aku mendengar perutku bersuara aneh. Wanita itu tertawa, "Oya, ibu hampir lupa," katanya sambil mengambil beberapa potong daging kecap lalu menaruhnya di dalam lemari.

"Karena kau belum sehat betul, maka, sini biar Bi Midar yang menyuapimu," ujar wanita itu sambil mengambil sebuah piring, mengisinya dengan nasi dan menambahkan daging kecap yang masih mengeluarkan asap tipis, "Daging kecap ini, enak dimakan selagi hangat-hangat begini. Ayo, buka mulutmu,"

Aku segera membuka mulutku dan ujung sendok yang sudah diisi nasi beserta lauknya perlahan-lahan masuk ke dalam mulutku.

"Astaga rasanya enak sekali. Belum pernah aku memakan daging seenak ini," seruku dalam hati.

Wanita itu tersenyum, "Bagaimana, nak, rasanya enak, tidak ?" tanyanya.

Aku mengangguk, "Enak, bi... kalau boleh tahu apa nama masakan ini ? Dan siapa yang membuatnya ?" tanyaku.

"Oh, orang-orang di desa ini suka sekali memasak krengsengan daging. Hampir semua orang di desa Nakampe Gading ini bisa memasaknya... tapi, tak seenak, bi Midar," katanya setengah berbisik lalu ia tertawa, "Kalau mau, biar Bi Midar mengajarkannya padamu, makanya, cepat sembuh, ya, nduk..."

"Tentu saja saya mau, bi..." sahutku untuk kemudian Bi Midar kembali menyuapiku. Seorang wanita yang ramah dan baik. Dia bagaikan almarhum Ibuku yang meninggal 13 tahun yang lalu. Mengingat kasih sayangnya, tanpa sadar mataku berkaca-kaca, membuat wanita yang kupanggil dengan sebutan Bi Midar itu salah tingkah.

"Lho... lho... lho... kenapa menangis, nduk ?" tanyanya sambil buru-buru meletakkan piring dan menyeka airmata yang membasahi pipiku. Perbuatannya ini malah membuatku makin menangis hingga akhirnya ia kebingungan.

"Wah, kalau begitu ada ucapan Bi Midar yang salah, ya ?" tanyanya.

Aku menggelengkan kepalaku, "Tidak, Bi... saya hanya teringat akan almarhum ibu saya," sahutku.

"Oalah..." kata Bi Midar sambil memeluk dan membelai rambutku dengan penuh kasih sayang, "Kalau begitu, kau bisa menganggap ku sebagai ibumu, nduk," sambungnya.

"Terima kasih, Bi..." ujarku sementara Bi Midar kembali menyuapiku, "Masakan ini benar-benar enak," kataku sambil terus mengunyah dan mengunyah hingga akhirnya piring di tangan Bi Midar yang tersisa ada bekas-bekas kuah kecap,

"Mau nambah, nduk ?" tanyanya.

Aku malu mau mengatakan "Iya," akan tetapi, perutku memang masih berontak, karena sudah beberapa hari tidak terisi. BI Midar tersenyum, lalu kembali mengambil dan mengisinya dengan lauk yang sama lalu kembali menyuapiku.

***

Saat aku membuka mataku, aku berada di sebuah hutan yang cukup luas. Pohon-pohon tumbuh berjejer di sekelilingku, tingginya mungkin lima kali lipat dari tinggi orang dewasa pada umumnya. Rimbun, begitu rimbunnya hingga cahaya matahari hanya bisa menyisakan garis-garis sinar putih keperakan di sela-sela ranting dan dedaunan. Menerangi jalanan berumput hijau tempatku berpijak.

Titik-titik embun yang sebagian membasahi daun dan rerumputan, membuatku seakan berjalan di tengah berlian yang berkilauan.

Jalanan itu panjang dan luas, sejauh mata memandang yang tampak hanyalah rerumputan hijau membentang bagaikan permadani. Aku tak ingat bagaimana bisa sampai di tempat ini. Akan tetapi, bagaikan digerakkan oleh kekuatan tak kasat mata, membuat kaki-kaki ini melangkah. Ringan seakan tanpa beban atau bobot. Melangkah menyusuri jalanan tersebut. Jalanan itu berakhir pada sebuah desa kecil, mungkinkah itu desa Nakampe Gading seperti yang dibilang oleh Bi Midar ? tanyaku dalam hati.

Aku terus berjalan, hingga akhirnya sampai pada 2 buah gapura yang terbuat dari batu alam setinggi 6 meter. Pada bagian atas gapura itu terukir sebuah patung makhluk raksasa. Bentuk patung itu aneh sekali mirip hewan seperti kerbau, memiliki 2 tanduk besi pada sisi kanan kiri kepalanya, juga bagian tengah. Matanya terbelalak lebar, bola matanya seakan keluar dan memancarkan sinar merah membara.

Patung itu serupa dengan patung pada gapura sebelah kanan. Diantara 2 gapura itu terpasang sebuah banner raksasa sepanjang 15 meter pada ujungnya terikat oleh tali yang diikatkan pada salah satu sisi tanduk besi patung makhluk raksasa yang aneh dan menyeramkan itu.

Ada beberapa kalimat tertera pada Banner tersebut.

"SELAMAT DATANG DI DESA NAKAMPE GADING Butuh pengorbanan untuk maju dan berkembang "

Semboyan yang bagus, menurutku. Masa bodoh dengan segala semboyan, yang penting adalah aku harus tahu dimana aku berada sekarang, bagaimana pula bisa sampai di tempat ini, lalu kemanakah Joan dan yang lain, mengapa aku bisa sendirian di tempat ini.... kepalaku pusing memikirkan berjuta-juta pertanyaan yang mengganjal di dalam diriku. Aku terus melangkah dan aku tak mendapati siapapun di tempat ini, padahal aku sudah berjalan jauh sejak dari gapura itu sampai di tempat ini.

Mendadak, tampak olehku sesosok bayangan tengah berjalan ke arah Timur melewati jalanan setapak berbatu tak jauh dari tempatku berada.

"Hei, tunggu dulu..." seruku sekeras mungkin sambil berlari mendekat. Bayangan itu seakan tak mendengar teriakanku, ia terus berjalan. Aku tergerak untuk mengikutinya, maka, kuputuskan untuk mengejarnya.

Langkah kakiku terhenti di hadapanku muncul seorang pria yang ... bagiku sudah sangat familiar sekali Si Pedro, tapi, Pedro tak setampan dan se-macho itu, Pedro yang kukenal adalah bertubuh jangkung kurus dan kulitnya gelap, siapa dia.

"Pedro, kemana saja kamu ?!" sapaku.

"Jangan kau kejar lagi, Cella ..." katanya, "Dia sengaja memancingmu, untuk masuk lebih ke dalam lagi... maka, kalau sudah begitu jiwamu akan terjebak di sana selamanya,"

"Kau bicara apa, dro ? Aku tak mengerti,"

"Untuk kali ini percayalah padaku, Cel... Kau dan teman-teman segeralah pergi dari desa terkutuk ini, please... percayalah padaku," rengek Pedro perlahan-lahan tubuhnya menghilang dan membuatku heran, "Dro... Pedro, kau ada dimana ? Jawab aku, dro,"

Tidak ada jawaban, pandanganku menyapu ke sekeliling yang kulihat hanyalah rimbunan semak belukar. Pedro tidak ada, apakah aku berhalusinasi ? Tidak barusan dia ada di depanku lalu mengapa kini hilang bagai ditelan bumi.

"Kemarilah, nak..."

Suara itu terdengar diantara hembusan angin yang menggesek ranting dan dedaunan. Aku menoleh kesana-kemari, mencari sumber suara tapi, tak ada siapapun ditempat itu.

"Datanglah kemari, nak... kemarilah... kami menunggumu,"

Lagi. Suara itu terdengar, ada suara tapi tak ada wujud, mungkinkah aku salah dengar ? Tidak. Aku yakin ada suara yang memanggilku. Aku bisa mendengarnya dengan jelas.

8 meter di depan sana, tampak olehku sebuah bayangan hitam, ia duduk membelakangiku. Bayangan aneh itu mengenakan pakaian hitam compang-camping, kurus dan sedikit membungkuk.

"Pak... pak... kalau boleh tahu, dimana sekarang saya berada ?" tanyaku saat sudah berdiri di belakang sosok itu. Sosok itu tak menjawab, telingaku mendengar suara "Kraus... Kraus... Kraus..." sepertinya orang itu tengah memakan sesuatu.

Soal makan, aku dan teman-teman memang gampang tergoda. Terlebih, apabila melihat seseorang yang makan dengan lahap, membuat perut kami mudah sekali tergoda untuk turut menikmati makanan tersebut. Terlebih seperti saat sekarang ini, aku seperti telah berjalan cukup jauh, dan menguras seluruh energiku, perut mudah sekali merasa lapar.

"Pak... Kalau boleh tahu dimanakah saya berada sekarang, " ulangku, kali ini aku memberanikan diri untuk menyentuh bahu sosok itu. Ia menengadah, perlahan-lahan ia menoleh. Dan...

Aku menjerit tertahan, tak percaya dengan pandangan mataku. Tulang dahinya menonjol ke atas sepasang matanya kecil tampak liar berwarna merah, tidak memiliki hidung dan tulang bibir, ia menyeringai memperlihatkan deretan giginya yang tajam dan runcing pada ujung-ujungnya dihiasi cairan berwarna merah bercampur air liur.

Aku mundur beberapa tindak, sementara sepasang mataku menatap jari-jemarinya yang berwarna hitam lagi runcing mencengkeram sebatang tulang. Tepat, diantara pangkal pahanya, terdapat potongan-potongan daging bersimbah darah dan itu bukanlah daging kerbau, sapi atau ayam namun, itu adalah potongan tubuh manusia. Ternyata, ia memakan daging manusia. Hilang sudah selera makanku, kini digantikan oleh rasa takut merayap di sekujur tubuhku.

"Daging lezat dan menggiurkan... he...he...he..." katanya dengan suara menyeramkan. Ia perlahan-lahan berdiri, tubuhnya tinggi sekali mungkin lebih tinggi daripada pepohonan di sekeliling tempat ini dan berjalan menghampiriku.

Aku jatuh terduduk, makhluk itu makin lama makin dekat, sebisa mungkin aku harus menjauhinya.

Makhluk itu membuka mulutnya lebar-lebar, gigi-giginya yang runcing dan basah oleh air liur. Aku terus menarik tubuhku mundur, mundur dan mundur, saat sudah berada agak jauh dari makhluk itu, barulah aku bisa berdiri dan lari sekencang-kencangnya. Namun, tanah tempatku berpijak seakan bergetar hebat, aku tak peduli, sebisa mungkin menjauh dan terus menjauh. Hingga tibalah aku di sebuah tanah lapang yang cukup luas, hanya sebentar saja menghela nafas lega sebelum akhirnya, tanah tempat ku berpijak seakan melesak ke dalam dan tubuhku masuk ke dalam tanah, setelah itu suasana gelap gulita, tak tahu mana atas, mana bawah, mana kiri, mana kanan. Tubuhku ini seakan meluncur dengan derasnya hingga....

Saat aku membuka mata, wajah Bi Midar yang pucat pasi sudah berada di hadapanku, bukan cuma dia akan tetapi, Joan, Bella, Yulia dan yang lain juga menatapku dengan tatapan cemas.

"Kau membuat kami khawatir, Cel...," ujar Yulia.

"Apa sebenarnya yang telah terjadi hingga membuatmu pingsan dalam waktu yang agak lama ?" tanya Bella.

"Apakah aku pingsan lagi ?" tanyaku.

"Tubuhmu kejang-kejang beberapa saat lalu pingsan. Bi Midar kebingungan lalu meminta kami untuk menjagamu sementara, beliau orang untuk memeriksa keadaanmu," ujar Julia.

"Aku tidak apa-apa ? Beberapa hari ini kalian kemana saja ? Lalu dimana Pedro, Ikbal, dan Parto ?"

"Mereka menghilang, penduduk desa ini sudah mencarinya kemana-mana, tapi, belum ada kabar sampai sekarang," jawab Hudi.

"Kita harus ikut mencarinya," sahutku.

"Ya, kami semua berencana untuk mencari mereka. Kami tidak akan bisa mencarinya saat kau sendiri masih terus-menerus bersantai ria di pembaringan ini," tegas Hudi.

"Iya, aku mengerti. Terima kasih atas perhatian kalian,"

Dalam perawatan Bi Midar, kesehatanku pulih begitu cepatnya, selain masakan krengsengan daging, sop daging dan banyak masakan asing yang menggugah selera makanku, Bi Midar juga memasak beraneka ragam sayuran. Semua masakan Bi Midar lezat dan bergizi, teman-teman sesekali juga menginap di rumah wanita itu. Semuanya diperlakukan bagai anak sendiri, kami merasa betah tinggal disana.

***

Malam itu, desa Nakampe Gading tampak lengang, tak nampak seorang penduduk pun. Ini sudah malam ketiga kami tinggal di desa tersebut. Bi Midar sendiri tak kelihatan, biasanya ia duduk di tungku api sambil memasak sesuatu. Padahal malam ini begitu indah dengan cahaya bulan purnama menggantung di langit dan bintang-bintang bertaburan mengelilinginya.

Aku dan teman-teman duduk-duduk di serambi depan sambil menikmati pemandangan alam yang mempesona itu. Sebab, di rumah tempat kami lahir, jarang sekali diperlihatkan pemandangan seperti ini.

Dari kejauhan tampak sesosok bayangan berjalan mendekat, dari postur tubuhnya, kami bisa mengenali siapa pemilik bayangan itu. Hudi.

"Eh, Hud... tumben kok telat ngumpul," kata Akhmad, "Wajahmu pucat sekali, kenapa ?"

"Sebaiknya, kita bicarakan di dalam rumah saja," kata Hudi sambil mengajak kami masuk.

Sesampai di dalam, ia menoleh kesana-kemari memastikan tak ada orang lain yang melihat. Setelah dirasa aman, ia menutup pintu dan jendela kami semua merasa heran dengan gelagatnya ini.

"Tadi, sewaktu hendak kemari... aku melewati rumah Pak Sujar. Salah seorang penduduk mendatanginya," bisik Hudi.

"Apa hubungannya dengan pucatnya wajahmu ?" tanya Julia.

"Semula kedatangan penduduk itu, kuanggap sebagai hal biasa, namun, setelah melihat air muka Kedua orang itu, aku jadi curiga. Kucoba mendengar apa yang mereka bicarakan,"

_____

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!