Pernikahan siri antara Nirmala Wongso dan juga Seno Aji Prakoso membuahkan hasil seorang anak laki-laki yang tidak pernah diakui oleh Seno, karena ia takut keluarga besarnya akan tahu tentang aibnya yang diam-diam menikahi gadis pelayan di club malam.
Setelah dinyatakan hamil oleh dokter Seno mulai berubah dan menyuruh Nirmala untuk menggugurkan kandungannya jika masih tetap ingin menjadi istrinya.
Namun Nirmala memilih jalan untuk mempertahankan buah hati dan meninggalkan kemewahannya bersama dengan Seno.
Penasaran?? ikuti jalan kisah Nirmala yang penuh dengan lika-liku kehidupan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Setelah menghadiri acara pelantikan putranya, Nirmala memutuskan untuk langsung pulang ke desa. Anak semata wayangnya sempat mencegah, memohon agar ia tinggal beberapa hari di rumah dinasnya, karena dua hari lagi sang anak baru mendapat jatah libur. Namun wanita paruh baya itu merasa sungkan, ia tidak ingin merepotkan. Lagipula, ia sudah terbiasa hidup sendiri.
Bus angkutan kota yang ia naiki kini melaju meninggalkan gedung megah tempat pelantikan tadi berlangsung. Di kursi belakang dekat jendela, Nirmala bersandar, sesekali mengusap air mata yang tak henti jatuh sejak tadi. Tangisan itu bukan hanya bahagia—tetapi juga haru dan bangga. Semua perjuangan bertahun-tahun, semua luka yang ia simpan rapat, seolah terbayar melihat putranya berdiri tegak dengan seragam kehormatan.
Namun, kebahagiaan itu berbaur dengan getir. Di balik senyum, ada luka lama yang mendesak keluar. Kota ini, tempat bus melintas, menyimpan kenangan pahit. Kenangan tentang seorang pria yang pernah ia cintai sepenuh hati, lalu mengusirnya di saat ia sedang mengandung.
Nirmala buru-buru menunduk, menarik ujung kerudungnya ke dada. Ia tidak ingin larut. Namun tiba-tiba laju bus berguncang keras. Badan para penumpang terhentak, sebagian berteriak panik.
“Aaaaah!” seru mereka hampir serentak.
“Aduh! Kepalaku terbentur!” keluh seorang bapak.
“Pak supir, ini gimana sih! Kok tiba-tiba berhenti di tengah jalan?” protes seorang ibu muda.
Supir hanya menoleh singkat, wajahnya cemas. “Ibu-ibu, bapak-bapak, mohon sabar ya. Kami cek dulu. Ban kayaknya bermasalah,” katanya sambil memberi isyarat pada kernet.
Beberapa menit kemudian, hasilnya jelas: ban bocor parah. Bus tidak bisa melanjutkan perjalanan. Dengan berat hati para penumpang diminta turun. Suara keluhan dan omelan terdengar di mana-mana.
Nirmala ikut melangkah pelan, menjejak aspal panas. Perjalanan ke desanya masih jauh, ia harus menunggu bus lain. Duduk di pinggir jalan dekat sebuah minimarket, ia menghela napas panjang. Ujung rok dan kerudungnya mulai berdebu.
“Ya Allah… kenapa harus berhenti di sini,” gumamnya, lirih namun penuh keluhan.
Ia melirik jam tangan butut yang melingkar di pergelangan. Jarumnya seakan berjalan lambat. Jalanan lengang, hanya sesekali motor melintas dengan suara berisik. Nirmala meremas ujung kerudungnya, mencoba menahan rasa jengkel dan cemas. “Kalau gini terus, bisa-bisa aku sampai rumah malam nanti,” bisiknya.
☘️☘️☘️☘️
Di seberang jalan, sebuah restoran mewah berdiri dengan dinding kaca bening. Dari dalam, seorang pria berjas biru tua melangkah keluar sambil menempelkan ponsel di telinganya. Wajahnya serius, suaranya tegas memberi arahan pada lawan bicara. Setelah percakapan usai, ia memasukkan ponsel ke saku jas.
Langkahnya sempat terhenti. Tatapannya tersedot ke arah kerumunan kecil di tepi jalan. Di sana, seorang wanita duduk menunduk, kerudungnya lusuh, wajahnya letih. Mata pria itu melebar. Dadanya bergetar.
“Tuan, ayo masuk mobil,” ajak asistennya, Rafa.
Namun pria itu tidak bergeming. Matanya terpaku. “Rafa… lihat wanita di depan minimarket itu.”
Rafa menoleh, lalu nyaris tercekat. “Yang pakai baju krem itu, Tuan? Bukannya… itu…?”
“Iya, Fa,” sahut pria itu, suaranya berat. “Itu memang dia. Nirmala.”
Nama itu meluncur dari bibirnya dengan getir. Dua puluh dua tahun berlalu, tapi ia masih mengenali wajah itu. Wajah yang dulu ia usir dengan tega, padahal sedang mengandung darah dagingnya.
“Tuan, apa yang harus kita lakukan?” Rafa bertanya hati-hati.
Seno, nama pria itu, menghela napas. Ada kilatan ragu di matanya. “Aku… hanya ingin tahu reaksinya kalau aku menghampiri dia.
Sebelum Rafa sempat mencegah, Seno sudah menyeberang. Langkahnya mantap, meski jantungnya berdentum tak karuan.
☘️☘️☘️☘️
Nirmala yang tengah menunduk tiba-tiba merasa gelisah. Ada bisikan aneh di telinganya. Ia mendongak—dan tubuhnya membeku. Sosok yang tak pernah ia duga berdiri hanya beberapa langkah darinya.
“Mas… Seno…” suaranya tercekat.
Dunia seakan berhenti berputar. Nafasnya tercekat, jemarinya gemetar. Ingin rasanya bangkit dan menjauh, tetapi tangan kokoh Seno sudah lebih dulu mencekal lengannya.
“Nirmala…” panggil Seno, suara itu masih sama seperti dulu, tegas namun bergetar.
“Lepas.” Nirmala menepis kasar, matanya berkilat. “Kita sudah tidak ada hubungan apa-apa.”
“Aku tahu. Tapi izinkan aku bicara.”
Nirmala menggeleng cepat, kerongkongannya tercekat. “Tidak ada waktu. Aku tidak ingin mendengar apa-apa darimu.”
Seno menahan napas, menatap tajam, seolah berusaha menembus benteng di hadapan. “Kamu masih marah padaku?” tanyanya pelan.
Pertanyaan itu seperti bensin yang menyiram bara. Wajah Nirmala memerah, matanya berkilat. “Kau tanya aku masih marah? Seno… sampai kiamat pun luka ini tidak akan hilang! Kau usir aku saat mengandung, kau injak harga diriku, lalu sekarang dengan polosnya kau bertanya apakah aku masih marah?”
Suara Nirmala meninggi, membuat beberapa penumpang yang menunggu bus ikut melirik.
Seno mencoba bertahan. “Aku hanya… dulu kita sama-sama tahu, statusmu.....”
“Cukup!” potong Nirmala lantang. Air matanya akhirnya jatuh. “Aku tahu aku hanya istri siri. Aku tahu posisiku lemah. Tapi kau tahu, Seno? Aku tetap seorang ibu! Tidak ada status apa pun yang bisa membuatku tega membunuh darah dagingku sendiri!” Napasnya tersengal. Dada naik turun.
Seno menunduk, wajahnya muram. “Nirmala…” ia mencoba mendekat, tetapi wanita itu mundur selangkah.
“Jangan panggil namaku dengan suara itu.” Nirmala mengangkat dagu, suaranya bergetar namun tegas. “Hari ini aku baru saja menghadiri pelantikan putraku. Anak yang kau sebut tak punya hak. Anak yang kau tinggalkan. Dan tahukah kau, Seno? Dia berhasil. Dia berdiri tegak tanpa sedikit pun bantuanmu.”
Kata-kata itu menampar keras. Wajah Seno kaku, jemarinya mengepal. Ia ingin bicara, tapi lidahnya kelu.
“Aku tidak akan pernah membiarkan anakku bertemu denganmu,” lanjut Nirmala, matanya berkilat. “Harga diri anakku jauh lebih berharga daripada citra yang kau jaga mati-matian.”
Hening sejenak. Jalan raya tetap ramai, tapi bagi keduanya dunia seperti berhenti.
Seno menatapnya dengan sorot yang sulit terbaca. Namun Nirmala sudah berbalik, meninggalkan pria yang dulu pernah menjadi seluruh hidupnya. Langkahnya tegak, meski air mata jatuh di sepanjang jalan.
Bersambung semoga suka ya.
😂😂😂😂