Sequel "Dipaksa Menikahi Tuan Duda"
Cerita anak-anak Rini dan Dean.
"Papa..."
Seorang bocah kecil tiba-tiba datang memeluk kaki Damar. Ia tidak mengenal siapa bocah itu.
"Dimana orangtuamu, Boy?"
"Aku Ares, papa. Kenapa Papa Damar tidak mengenaliku?"
Damar semakin kaget, bagaimana bisa bocah ini tahu namanya?
"Ares..."
Dari jauh suara seorang wanita membuat bocah itu berbinar.
"Mama..." Teriak Ares.
Lain halnya dengan Damar, mata pria itu melebar. Wanita itu...
Wanita masa lalunya.
Sosok yang selalu berisik.
Tidak bisa diam.
Selalu penuh kekonyolan.
Namun dalam sekejab menghilang tanpa kabar. Meninggalkan tanya dan hati yang sulit melupakan.
Kini sosok itu ada di depannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ly_Nand, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Gak Ada Kiss
Di lobi apartemen, Stasia dan Ares menunggu jemputan. Tak lama Damar tiba, mobilnya terparkir di depan. Ia turun dengan tenang lalu merentangkan tangannya ke arah Ares.
“Selamat pagi, anak Papa,” sapa Damar ramah.
“Selamat pagi, Papa,” Ares membalas dengan pelukan hangat.
“Sudah siap sekolah?” tanya Damar.
“Tentu, Papa!” Ares menjawab penuh semangat.
“Baiklah, kita siap berangkat…” Damar menggendong Ares dan mendudukkannya di kursi belakang. Setelah memastikan Ares nyaman, ia mendekat ke Stasia.
“Sayang, dasiku.”
Stasia mendengus sambil kesal manis. “Dasar bayi besar,” gerutu kecilnya, tapi ia tetap membantu merapikan dasi Damar. Jantungnya seolah bekerja ekstra — berada dekat Damar selalu membuatnya gugup.
“Terima kasih, Sayang,” Damar mengusap pipi Stasia yang memerah. Wajahnya tampak gemas, tapi ia menahan diri.
“Papa… ayo…” suara Ares memanggil dari dalam mobil.
“Siap, anak Papa,” jawab Damar. Stasia masih salah tingkah ketika Ares mengajak, “Ayo, Mama.”
Dalam perjalanan, Stasia duduk di samping Damar sesuai permintaan pria itu. Ares terus berceloteh, membuat suasana di mobil riuh dan hangat. Setelah beberapa saat, Damar bertanya lembut tentang kepulangan Ares dari sekolah.
“Biasanya siapa yang jemput pulang?” tanyanya.
“Biasanya ‘Daddy’ yang jemput Ares. Terus Ares diajak Daddy bermain bersama adik Rey.” Jawab polos Ares.
Damar lalu bertanya dengan hati-hati kepada Stasia, “Sejak kemarin Ares sering menyebut ‘Daddy’. Sebenarnya dia siapa?”
"Om-nya. Adik dari ibu kandungnya." Jawab Stasia.
“Ares, kenapa kamu panggil dia Daddy?” tanya Damar pada Ares.
“Karena Daddy baik. Sama seperti Mama Sisi,” jawab Ares polos.
Damar terdiam beberapa saat. Ada sesuatu yang mengganjal di benaknya, tapi ia berusaha menahan reaksi. Beberapa menit kemudian mereka sampai di sekolah. Damar menurunkan Ares dan, sesuai aturan drop-off di sekolah, langsung berpamitan setelah mengantar — orang tua tidak boleh masuk kelas, hanya men-drop di lobi dan guru yang menyambut murid.
Di perjalanan menuju kantor, Damar tak bisa menahan rasa ingin tahu yang terus mengganggunya.
“Sayang?”
“Hm?” Stasia menjawab pelan.
“Mengenai ‘Daddy’ Ares… apakah kamu pernah punya perasaan pada dia?” suara Damar serius.
Dahi Stasia mengernyit, lalu ia menghela napas.
“Kak Andre? Aku menganggapnya seperti kakak sendiri. Dia sangat baik, dan kami hanya dekat seperti saudara. Dia juga sudah memiliki perasaan pada almarhumah istrinya — dia sangat mencintainya."
Damar memicing, "Jadi sekarang dia Duda? Kamu gak ada perasaan khusus ke dia kan?"
"Ya, memang dia duda sekarang, tapi aku tidak pernah punya perasaan istimewa padanya. Kalau aku tertarik, mungkin kami sudah menikah; Bunda Maya bahkan sudah menganjurkan itu.”
"Siapa Bunda Maya." Tanya Damar dengan menahan kesal.
"Bundanya kak Andre."
"Mama Rini juga pasti mendukung hubungan kita. Kalau begitu kita bisa menikah secepatnya, kan?"
Stasia terdiam. Dia bingung harus menjawab apa. Satu sisi hatinya berbisik "Kalau kamu tahu seperti apa rumitnya hidupku, apa kamu tetap akan bersedia menikahiku?"
Damar menyadari kediaman Stasia, ia mencoba mengalihkan topik dari urusan pernikahan. “Baiklah kita bahas itu lain waktu. Jadi, kamu tidak tertarik pada Daddy-nya Ares, kan?”
“Tidak,” tegas Stasia. “Kalau aku tertarik, aku tidak akan mau bersamamu sekarang.”
Damar tersenyum merasa kalimat Stasia adalah lampu hijau untuk hubungan mereka. "Jadi, kita ada hubungan special kan sayang."
"Apa boleh aku bilang tidak?"
"Tentu saja tidak boleh."
"Kalau begitu, terserah kamu."
"Sayang... Aku ingin memelukmu." Rengek Damar.
"Fokus jalan, Dam. Aku tidak mau kita celaka."
"Baiklah, tapi beri aku pelukan setelah kita turun nanti."
"Gak, biar aku turun di halte dekat kantor saja. Aku tidak mau karyawan lain heboh karena melihat kita."
"Tidak bisa, sayang. Kamu turun di parkiran khusus. Aku sudah memastikan disana steril setiap kita datang."
"Sepandai-pandainya kita menyimpan ini, pasti suatu saat akan tercium juga."
"Sebelumnya aku yang akan menciummu dulu."
"DAMAR" teriak Stasia penuh kesal.
"Apa sayang..." Ucap Damar dengan santai.
"Aku gak bercanda." Stasia masih kesal.
"Kamu pikir aku bercanda? Aku sudah janji padamu untuk selalu memastikan kamu nyaman di kantor. Jadi, percayakan saja padaku. Biar ini semua jadi urusanku."
Stasia mendengus kesal. Sadar dengan sikap Damar yang memang kalau sudah bersikeras, dia pasti akan mengusahakannya.
"Sayang... Jangan cemberut" ucap Damar. "Wajah kesalmu membuat aku gemas. Pengen cium deh jadinya."
"Fokus jalan, Dam..."
"Iya, sayang" Damar terkekeh melihat Stasia yang masih kesal padanya.
Beberapa menit kemudian, mereka sampai di area parkir khusus yang sempat Damar ceritakan tadi. Tempat itu memang sepi, hampir tak ada mobil lain. Stasia baru pertama kali melihatnya, wajar karena ia memang belum pernah membawa kendaraan sendiri ke kantor.
Begitu mobil berhenti, Stasia refleks mengedarkan pandangan. “Sepi sekali…” gumamnya pelan.
“Sudah kukatakan, Sayang. Di jam tertentu tempat ini steril. Tidak akan ada siapapun,” ujar Damar tenang.
Stasia menoleh padanya. “Bagaimana kamu bisa mengatur semua ini?”
Damar tersenyum miring. “Apa kamu lupa kalau calon suamimu ini CEO di sini?”
“Oh, baiklah, Pak CEO,” Stasia menanggapi dengan nada datar. “Kalau begitu, karyawanmu ini harus segera turun dan bekerja.”
Baru saja tangannya menyentuh gagang pintu, tiba-tiba tangan Damar lebih dulu menahan pergelangannya.
Stasia menoleh, bingung. “Kenapa?”
“Isi energi dulu, Sayang…” bisik Damar pelan.
Kening Stasia berkerut. “Apa maksudmu—”
Belum sempat ia melanjutkan, Damar menarik tubuhnya lembut, mendekapnya erat ke dalam pelukan. Hangat tubuh pria itu seketika membuat jantung Stasia semakin tidak aman.
"Aku harus bekerja, Dam". Stasia berusaha melepas pelukan Damar meski sulit.
"Sebentar, sayang. Mau nabung energi dulu. Setelah ini energiku pasti cepat habis karena berjauhan dari kamu."
"Gak usah lebay. Kita masih satu kantor, hanya beda lantai." Stasia diam-diam tersenyum merasa Damar mode manja sangat lucu baginya.
Damar masih saja belum mau melepas pelukannya, "Andai kamu mau kerja di ruanganku. Pasti aku semakin semangat."
"Gak usah ngadi-ngadi." Stasia memukul pelan dada Damar namun justru ditanggapi Damar dengan kekehan.
Damar melepas pelukannya namun masih belum mau melepas Stasia, "Sayang, boleh bonus kiss gak?"
"Ogah..." Tolak Stasia.
"Kalau gak mau di bibir, di pipi juga boleh." Rengek Damar.
"Gak ada acara kiss segala. Aku aduin tante Rini, lho!"
"Baiklah..."
Akhirnya mereka berpisah di parkiran karena Stasia yang tidak mau mereka terlihat datang bersama. Namun yang tidak Stasia tahu, Damar telah memiliki rencana sendiri untuk memastikan bahwa Stasia miliknya.
"Wah... Akhirnya kamu datang juga". Ucap Max saat Stasia baru tiba di ruang kerja mereka.
"Kenapa dengan mereka?" Bisik Stasia pada Max karena dia merasa sejak tadi pandangan beberapa karyawan sinis padanya.
Max tertawa lirih dan memberi kode agar Stasia melihat ke mejanya. Seketika mata Stasia melebar karena apa yang dilihatnya.