Kairos Valente.
Seorang pria yang memiliki masa lalu percintaan yang kelam hingga menambah traumanya. Trauma akan kekerasan yang dilakukan oleh Daddy nya kepada Mommy kandungnya. Kairos Valente mengidap penyakit CPTSD. Pewaris Valente Corp. sebuah dinasti yang dibangun oleh mendiang kakek Valente diwariskan kepada kedua cucunya yaitu Kairos Valente dan Aureliany Valente. Namun, karena Aurel tidak tertarik di dunia bisnis, Valente Corp. dipimpin oleh Kairos Valente. Suatu pertemuan tidak disengaja di suatu malam antara Kairos dan seorang gadis yang bernama Aurora membuatnya tersentuh. Semesta menemukan mereka, obsesi Kairos mendekati gadis itu tumbuh semakin besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Saskya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chaos
Dari kejauhan, suara mesin mulai menggema, menandai para pembalap yang baru datang.
Lampu-lampu neon di bawah jembatan memantul di bodi mobil-mobil sport yang berjejer seperti predator siap menerkam.
Kairos berdiri di samping mobilnya, sarung tangan kulit sudah terpasang.
Wajahnya datar, tapi tatapan matanya tajam seperti bilah baja.
Suara klakson panjang terdengar dari ujung lintasan tanda bahwa rival-rivalnya telah tiba.
Mobil merah menyala berhenti tepat di sebelahnya. Dari balik kaca yang turun pelan, seorang pria berambut pirang dengan senyum congkak menatap Kairos.
“Wah, Valente akhirnya turun gunung juga,” ucapnya dengan nada sinis. “Gue pikir lo udah pensiun sejak hampir menabrak pembatas dua bulan lalu.”
Kairos menatap datar, tanpa ekspresi.
“Lucunya, gue gak ingat ada nama lo di podium terakhir.”
Tawa ejekan terdengar dari mobil hitam di belakang pria itu—rekannya, yang selalu ikut membuat kekacauan di lintasan.
Mereka berdua dikenal licik, selalu menggunakan cara kotor untuk menang.
Aurel berdiri tak jauh di belakang Kairos, menyilangkan tangan. “Mereka mulai lagi,” gumamnya pada Matteo.
Matteo hanya mendengus. “Selama Kairos gak terpancing, mereka gak punya peluang.”
Kairos tak menoleh sedikit pun.
Ia hanya menutup pintu mobil, menyalakan mesin. Suara raungan halus tapi kuat terdengar, membuat beberapa orang di sekitar tanpa sadar menelan ludah.
Suara Luca terdengar melalui headset.
“Lintasan aman. Polisi gak di sekitar sini. Tapi hati-hati di tikungan ketiga yang licin.”
Kairos menjawab singkat, “Copy.”
Lalu menatap ke depan. Lampu hijau di atas jembatan mulai berkedip.
Tiga. Dua. Satu.
Suara knalpot meledak bersamaan. Mobil-mobil itu melesat bagai peluru dari laras baja.
Debu berhamburan, angin malam berdesir tajam di telinga.
Kairos memacu mobilnya dengan presisi nyaris sempurna—gerakannya cepat tapi terkendali.
Setiap perpindahan gigi dilakukan dengan insting yang terlatih, setiap tikungan dilalui dengan keanggunan seorang predator yang menari di ujung bahaya.
Rivalnya terus menempel dari sisi kiri, mencoba menyalip dengan cara kotor.
Di tikungan kedua, mereka berdua—pria berambut pirang dan rekannya mengapit mobil Kairos dari dua sisi, menghimpit dengan jarak yang nyaris menabrak.
“Breng*sek,” desis Luca dari radio, suaranya terdengar panik. “Kairos, keluar dari tengah!”
Tapi Kairos tetap tenang. Ia menurunkan gigi, lalu menarik tuas rem tangan sepersekian detik. Manuver tajam membuat mobilnya berputar sedikit dan keluar dari jebakan itu dengan sempurna.
Sorakan dari penonton liar meledak di udara. Matteo berteriak puas. “Itu dia! Itu Valente!”
Kairos menyalip keduanya di lintasan lurus berikutnya.
Jarum speedometer nyaris menembus batas.
Cahaya lampu jalan membentuk garis panjang di kaca depan.
Namun di tikungan terakhir, tempat yang terkenal berbahaya—rivalnya yang licik sudah menunggu.
Dari sisi kanan, mobil hitam meluncur cepat, menabrak bagian belakang mobil Kairos.
Terdengar benturan keras.
Roda belakang tergelincir. Mobil Kairos kehilangan kendali.
Dalam sepersekian detik, dunia terasa melambat.
Cahaya neon berubah menjadi garis-garis kabur. Suara mesin berubah menjadi dengungan samar.
Kairos menarik kemudi, tapi sudah terlambat.
Mobilnya terpental ke arah pembatas baja, menghantam keras. Suara logam beradu memecah malam.
Asap putih mengepul dari kap mobil yang ringsek.
Aurel berteriak. “KAIROS!”
Botol di tangannya terjatuh dan pecah di aspal.
Matteo dan Luca langsung berlari, menembus kerumunan. Bau bensin menyengat di udara.
Luca membuka pintu mobil yang penyok parah dengan bantuan teknisi.
Kairos masih di kursi kemudi, sabuk pengamannya menahan tubuh dari hantaman.
Darah menetes dari pelipisnya, mengalir perlahan di sepanjang pipi.
Matanya setengah terbuka, masih sadar, tapi pandangannya kabur.
“Aku… masih di lintasan?” suaranya serak, hampir tak terdengar.
Luca memegang bahunya. “Tenang, bro. Kami di sini. Jangan gerak dulu.”
Aurel menahan napas, lututnya gemetar. Matteo berlutut di samping pintu, wajahnya pucat.
Di balik lampu-lampu neon yang masih berkedip, suasana yang tadi penuh teriakan dan sorak berubah hening.
Asap masih keluar dari kap mobil yang remuk ketika Luca dan Matteo memapah Kairos menuju mobil cadangan.
Luka di pelipisnya sudah membasahi sebagian wajah, tapi langkahnya tetap tegas meski tertatih.
“Cepat, sebelum polisi datang,” desis Matteo, membuka pintu belakang mobil Luca.
Namun sebelum mereka sempat melangkah lebih jauh, tiga mobil lain meluncur mendekat dari sisi lintasan, berhenti mendadak dengan suara rem berdecit.
Dari dalam, dua pria turun rival Kairos tadi, dengan ekspresi puas di wajah mereka.
Pria berambut pirang itu melangkah pelan ke depan, menepuk-nepuk tangannya seolah baru selesai bekerja.
“Balapan udah selesai, Valente,” katanya sinis. “Lo kalah. Taruhannya mobil, kan?”
Aurel yang berdiri di samping mobil langsung melangkah maju, wajahnya memerah karena marah.
“Taruhan apaan?! Kalian main curang! Gue lihat jelas kalian nabrak dari belakang!”
Pria itu tertawa pendek, mengangkat bahu. “Curang? Dalam balapan jalanan gak ada kata curang, manis.”
Nada suaranya terlalu ringan, terlalu menghina.
Aurel mengepalkan tangan, tapi Matteo cepat menahan bahunya. “Aurel, jangan—”
Kairos berdiri diam beberapa langkah di belakang mereka, menatap dingin tanpa ekspresi. Luka di pelipisnya meneteskan darah ke pipi, tapi matanya… matanya tajam seperti bara.
Rival itu melangkah lebih dekat, mengulurkan tangan.
“Serahkan mobilnya, Valente. Lo kalah, dan semua orang di sini tahu aturan mainnya.”
Aurel mendesis, “Mimpi!.”
Pria itu menyeringai. “Atau lo mau gue ambil paksa di depan nona kecil ini?”
Luca menegakkan tubuh, tapi Kairos mengangkat tangan, memberi isyarat untuk berhenti.
Suasana hening sesaat. Angin malam membawa aroma logam dari sisa tabrakan.
Tanpa banyak bicara, Kairos merogoh saku jaketnya, menarik keluar kunci mobil.
Langkahnya tenang, tatapannya kosong seperti tidak peduli.
Ia menyerahkan kunci itu langsung ke tangan rivalnya.
“Ambil,” ucapnya datar. “Mobil itu gak sebanding dengan kebodohan kalian malam ini.”
Rival itu menyeringai puas, menerima kunci dengan gaya sombong. Tapi sebelum berbalik, ia bergumam cukup keras untuk didengar semua orang—
“Lain kali, jangan bawa ja*lang ke lintasan. Bawa ke hotel aja, biar gak bikin sial.”
Seketika, udara di sekeliling membeku.
Luca menegang. Matteo memaki pelan. Aurel terdiam, matanya membulat karena syok.
Kairos tak berkata apa-apa. Hanya diam beberapa detik—
Lalu tangannya mengepal kuat, hingga buku-bukunya memutih.
Tanpa aba-aba, tanpa kata peringatan, ia melangkah maju dan mengayunkan tinjunya ke wajah pria itu dengan kekuatan penuh.
Suara pukulan itu terdengar keras dan memuaskan—bruk!
Rivalnya terhuyung, darah mengucur dari hidung.
“Apa—” belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Kairos sudah memukul lagi, kali ini ke rahang.
Kekacauan langsung pecah.
Teman-teman rival itu ikut menyerang. Matteo berusaha menahan dua orang sekaligus, sementara Luca menendang satu pria yang mencoba menarik Kairos dari belakang.
Baku hantam antara mereka membuat malam menjadi chaos.
Aurel menjerit pelan, lalu Matteo segera menarik lengannya. “Ke mobil! Sekarang!”
Aurel menolak sejenak, menatap Kairos yang masih berkelahi dengan brutal. Tapi Matteo tidak memberinya pilihan—ia menyeretnya masuk ke mobil Luca.
Luca melompat ke kursi pengemudi, mesin menyala dengan raungan tajam. “Kairos, cepat!”
Kairos menendang lawannya ke tanah, lalu melompat ke arah mobil. Luca menginjak gas begitu pintu menutup.
Ban berdecit, meninggalkan aroma terbakar di udara.
Dari kaca spion, Aurel masih bisa melihat rival mereka terhuyung di bawah lampu jalan, menatap mobil mereka yang melaju menjauh dengan ekspresi kesal.
Kairos bersandar di jok, dadanya naik turun, napas berat terdengar di antara keheningan.
Tangan kanannya masih berdarah, tapi ia tidak bicara sepatah kata pun.
Hanya tatapan dinginnya yang menatap kosong ke luar jendela, seolah dunia di luar sana sudah lenyap bersama sisa-sisa amarahnya.
Tbc🤍