Sebastian Adiwangsa. Nama yang selalu bergaung dengan skandal, pesta malam, dan perempuan yang silih berganti menghiasi ranjangnya. Baginya, cinta hanyalah ilusi murahan. Luka masa lalu membuatnya menyimpan dendam, dendam yang membakar hasratnya untuk melukai setiap perempuan yang berani mendekat.
Namun, takdir memiliki caranya sendiri. Kehadiran Senara Ayunda, gadis sederhana dengan kepolosan yang tak ternodai dunia, perlahan mengguncang tembok dingin dalam dirinya. Senara tidak seperti perempuan lain yang pernah ia kenal. Senyumnya membawa cahaya, tatapannya menghadirkan kehangatan dua hal yang sudah lama terkubur dari hidup Sebastian.
Namun, cara Sebastian menunjukkan cintanya pada Senara bermula dari kesalahan.
Gairah Bastian
Sejak pagi Bastian sudah tenggelam dalam tumpukan berkas di mejanya. Satu per satu ia periksa dengan teliti, memberi paraf di sudut halaman, lalu menandatangani bagian akhir. Hampir tiga jam penuh ia habiskan tanpa jeda, hingga akhirnya ia meregangkan tubuh, memutar leher yang pegal.
Ketukan pelan terdengar di pintu kaca ruangannya. Dari baliknya, tampak sosok wanita meminta izin masuk. Bastian mengangguk singkat.
Nathalie, sekretaris perusahaan, masuk dengan langkah mantap. Tubuhnya terbalut dress ketat yang menonjolkan lekuknya, senyum lebarnya mengembang seolah ruangan itu miliknya.
“Siang, Pak,” sapanya sambil menyodorkan map.
“Ini berkas penawaran dari calon partner Italia. Sudah dicek Pak Bima dan Santos. Review terakhir dari Bapak.”
Bastian menatapnya lama, lebih lama dari yang seharusnya. Ingatannya melayang pada sisi lain Nathalie yang hanya ia lihat ketika pintu tertutup rapat dan jarak di antara mereka begitu dekat. Kontras sekali dengan wujud profesional yang kini berdiri di hadapannya.
“Pak?” Nathalie memecah lamunannya.
Bastian menghela napas, cepat-cepat kembali fokus. “Taruh saja di meja. Nanti saya cek.”
“Baik, Pak. Terima Kasih” Nathalie menaruh map lalu melangkah keluar.
Dari belakang, Bastian sempat memperhatikan lenggak rok span hitamnya. Ada bara kecil yang tiba-tiba muncul dalam dirinya.
Belum lama pintu tertutup, ketukan kembali terdengar. Kali ini yang masuk adalah seorang pria.
Ravian.
“Bas, berkas calon partner Italia. Kasih ke gue,” ujarnya tanpa basa-basi. “Ada beberapa klausul yang harus diperbaiki. Dengan alur yang mereka tawarkan, bisa jadi kita yang rugi dan bahaya.”
Inilah yang disukai Bastian dari Ravian. Mereka berdua seperti punya radar yang sama. Bahkan tanpa diminta pun, Ravian selalu tahu kapan harus turun tangan.
“Map biru,” ujar Bastian sambil melirik ke tumpukan meja.
Ravian mengambil map biru itu, tapi matanya justru menangkap sesuatu lain.
Tas bekal di samping meja.
“Ini bekal siapa?” tanyanya.
“Gue.”
“Siapa yang bikin?”
“Sena.”
Ravian hampir meledak tertawa. “Bastian dibawain bekal sama istrinya? Dan lo mau-mau aja nerima? Sekarang udah resmi jadi suami penurut ya?”
Bastian hanya melirik malas, membiarkan kakak iparnya puas dengan tawa itu.
“By the way, Rav, sekretaris baru kemarin… lo yang interview?” tanya Bastian kemuian.
Ravian mengangguk. “Iya, kan lo kemarin yang minta gue buat gantiin lo”
Bastian mengangguk tipis. “Di antara semua kandidat, ia yang paling sesuai ekspektasi?”
“Iya. Gue nilai attitude, cara ia jawab pertanyaan, sama track record. Pernah kerja di perusahaan besar, jadi gue yakin ia bisa adaptasi cepat disini.”
Bastian mengetuk meja kaca pelan. “Perusahaan besar? Dimana?”
“Paradise Group.”
Alis Bastian terangkat. Wanita itu… ternyata punya latar belakang korporat? Selama ini ia mengira Nathalie hanyalah perempuan malam yang menjual dirinya. Lalu kenapa bisa berakhir seperti ini?
Ravian mencondongkan tubuh. “Kenapa? Lo kenal dia?”
“Ha? Enggak. Cuma nanya.”
Ravian hanya menatapnya curiga, seolah ingin menembus isi kepalanya.
...****************...
Malam itu Bastian pulang sedikit larut dari biasanya. Begitu membuka pintu kamar, matanya langsung tertuju pada sosok Sena yang duduk di tepi ranjang. Wanita itu mengenakan dress kuning muda, bahannya tipis dan lembut, jatuh mengikuti lekuk tubuhnya. Warna cerah itu membuat kulit Sena tampak semakin bercahaya.
Bastian teriam sejenak, napasnya tertahan. “Kamu… cantik sekali malam ini” ucapnya dengan suara berat.
Wajahnya semakin mendekati tubuh Sena. Diciuminya leher Sena seperti hewan yang kelaparan.
“Bastiann” Sena sedikit mendesah karena lehernya semakin basah karena ulah Bastian.
Bastian menghiraukan panggilan itu, dan semakin memanaskan aksinya. Ia tidak tahu, malam ini ia merasa ingin memakan tubuh Sena hingga pagi.
Seperti tidak puas dengan leher Sena, Bastian mulai menarik tali satu dress itu dan menampakkan tubuh bagian atas Sena yang polos.
“Bastian kamu mau ngapain?” tanya Sena melihat wajah Bastian yang sudah menempel dengan dua gundukan indah miliknya.
“Ayo bercinta” Bastian mulai menuruni ciuman, sentuhan lidah, dan gigitan ke seluruh tubuh Sena hingga ke bagian sensitif di bawah sana.
Tak ada bagian dari tubuh Sena yang luput dari sentuhan lidah Bastian.
“Ahh” desah Sena karena Bastian mulai bermain di area bawah sensitifnya dengan lidahnya.
Tubuh Sena bergetar, seakan setiap sarafnya menuntut pelepasan.
Seperti sudah cukup penetrasinya, Bastian segera melepaskan seluruh kain yang melekat pada dirinya dengan cepat.
Bastian mendorong Sena untuk tiduran, membuka lebar kaki Sena dan mulai memasukkan miliknya ke bagian intim Sena.
“Auwhh…” Sena meringis pelan, tubuhnya sedikit kaget dengan rasa nyeri yang muncul setelah dua minggu mereka tidak bersentuhan intim.
Bastian dengan cepat memompa tubuhnya, menggerakkan maju dan mundur dengan cepat, melupakan Sena yang saat ini sedang hamil. Nafsu di dalam dirinya lebih kuat dari apapun.
“Bas… Bastian… berhentii…” Sena kelimpungan, dadanya naik turun, tubuhnya gemetar seakan akan meledak.
Tapi Bastian terus menghantam dengan ritme cepat, membuat Sena akhirnya menyerah dan terlepas dalam erangan panjang. “Ahh… Bastiannn”
Tak puas dengan satu posisi, Bastian membalikkan tubuh mereka, menempatkan Sena di atasnya.
“Bergerak,” pinta Bastian.
“Aku… aku tidak bisa, Bas,” rengek Sena, napasnya masih tersengal.
Bastian menggenggam pinggangnya lembut, menuntun gerakannya. “Pelan saja… cukup gerakkan pinggulmu”
Dengan ragu Sena mulai bergerak naik dan turun, ritmenya lambat namun memabukkan. Setiap gerakan membuat Bastian mengerang, “Oh my God…”
Sepuluh menit berlalu seperti itu, akhirnya Sena berhenti dengan bagan tubuh mereka yang masih menyatu.
“Capek” desahnya manja.
Bastian menyeringai. Tanpa aba-aba tubuhnya dari bawah kembali bergerak keluar masuk dengan cepat, membuat Sena terlonjak kaget, terhanyut oleh gempuran yang tak memberi waktu bernapas.
“Ahhh”
“Ahh…Ahhh…Ahhh” Sena tak henti-hentinya mendesah.
Gerakan itu cepat dan semakin cepat setiap menitnya.
“Ohhh… Ahhhh Senaaa” kali ini desahan panjang keluar dari Bastian.
Setelah mendapat pelepasan itu, Bastian menarik Sena ke sisinya, lalu kembali menenggelamkan diri dan memasukkan dirinya dalam hangat tubuhnya Sena.
Desah demi desah lolos dari bibir Sena, membaur dengan erangan Bastian.
Malam itu mereka tak berhenti saling mencari, mencoba setiap gaya untuk meleburkan diri dalam hasrat yang sama.
… … …
Pagi harinya, sinar matahari menembus tirai, membuat Sena terbangun lebih dulu. Namun, senyum yang biasanya hadir di wajahnya hilang. Ia meringis sambil memegang perutnya.
“Bastian… Bass…” panggilnya lirih, nyaris tak terdengar.
Bastian yang masih terlelap langsung terjaga. Ia menoleh, matanya membelalak melihat wajah pucat istrinya.
“Kenapa?”
“Perut aku… sakit… kram banget.” Sena berusaha menahan napas, jemarinya mencengkeram selimut.
Bastian sontak bangkit, duduk di sampingnya, lalu menggenggam erat tangannya yang dingin.
“Sakitnya parah? Sena, jawab aku, sakit banget ya?” suaranya bergetar, penuh ketakutan.
“Sakit banget, Bass…” Sena mengerang pelan.
Tanpa pikir panjang, Bastian meraih ponselnya dan segera menekan tombol panggilan. Dengan suara terburu-buru ia meminta dokter pribadinya untuk datang secepat mungkin. Wajahnya pucat pasi, matanya tak lepas dari tubuh Sena yang meringkuk menahan sakit.
Tak lama, dokter tiba dan langsung memeriksa kondisi Sena. Bastian menunggu di sisi ranjang dengan gelisah.
“Gimana istri saya? Ada apa dengan kandungannya?” suara Bastian nyaris meledak, nadanya penuh cemas.
Dokter menghela napas pelan, lalu menatap mereka dengan tenang. “Tidak ada tanda bahaya serius pada janin. Namun kram ini timbul karena tekanan berlebih pada rahim semalam. Maaf, boleh saya tanya… apakah kalian baru saja berhubungan intim?”
Wajah Bastian langsung menegang. Ia mengangguk cepat, merasa darahnya berhenti mengalir.
Dokter tersenyum tipis, berusaha menenangkan. “Sebenarnya berhubungan intim saat hamil tidak masalah. Tapi, dengan riwayat rahim Ibu Sena yang lemah, hubungan yang terlalu keras bisa menimbulkan rasa sakit seperti ini. Jadi harus lebih berhati-hati.”
Kata-kata itu menusuk dada Bastian. Ia tahu persis kenapa rahim Sena menjadi lemah. Semua bermula dari perbuatannya sendiri beberapa bulan lalu, saat ia sempat berusaha menyingkirkan janin ini. Ingatan itu kembali menghantamnya, membuat rasa bersalah menggelayut semakin berat.
Bastian menunduk, genggamannya pada tangan Sena semakin kuat. Ia menatap wajah istrinya yang pucat namun masih berusaha tersenyum untuk menenangkannya.
Dokter melanjutkan dengan suara serius, “Untuk sekarang, Ibu Sena harus benar-benar menjaga diri. Hindari aktivitas berat… dan termasuk hubungan intim yang terlalu keras. Kalau tidak hati-hati, bisa memicu komplikasi.”
Bastian menunduk, menggenggam tangan Sena lebih erat. “Aku minta maaf… aku nggak akan biarin kamu sakit lagi.”
...----------------...
^^^Cheers, ^^^
^^^Gadis Rona^^^