Ratu Ani Saraswani yang dihidupkan kembali dari kematian telah menjadi "manusia abadi" dan dianugerahi gelar Ratu Sejagad Bintang oleh guru ayahnya.
Aninda Serunai, mantan Ratu Kerajaan Siluman yang dilenyapkan kesaktiannya oleh Prabu Dira yang merupakan kakaknya sendiri, kini menyandang gelar Ratu Abadi setelah Pendekar Tanpa Nyawa mengangkatnya menjadi murid.
Baik Ratu Sejagad Bintang dan Ratu Abadi memendam dendam kesumat terhadap Prabu Dira. Namun, sasaran pertama dari dendam mereka adalah Ratu Yuo Kai yang menguasai tahta Kerajaan Pasir Langit. Ratu Yuo Kai adalah istri pertama Prabu Dira.
Apa yang akan terjadi jika ketiga ratu sakti itu bertemu? Jawabannya hanya ada di novel Sanggana ke-9 ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Hendrik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Kelompok Manusia Atas
Sebanyak sepuluh lelaki berpakaian hitam-hitam bergerak cepat menaiki bukit. Medannya tidak mudah karena selain menanjak ekstrem, orang-orang itu melewati banyak pepohonan dan semak-semak liar. Namun, mereka dapat bergerak lincah seolah-olah sedang balapan untuk memperebutkan hadian separas wajah cantik nan glowing.
Terkadang mereka berlari cepat, terkadang melompat-lompat dari satu titik ke titik yang lain, bahkan juga sesekali berlari di udara. dalam pergerakan menaiki bukit tersebut, terlihat jelas pakaian mereka yang tebal berlapis dan ada kain sayapnya di bagian ketiak.
Hari ini baru saja meninggalkan pagi. Meski demikian, pagi tidak bersedih.
Hingga akhirnya, kesepuluh lelaki berpakaian gombrong dan berlapis itu tiba di puncak bukit, tepatnya di bibir jurang. Di depan mereka adalah alam terbuka dan ada tebing jurang lain nun jauh di seberang yang ketinggiannya lebih rendah.
“Kita harus mencapai tebing di sana!” kata lelaki berkumis jingkrak tapi berkepala botak. Ketahuan botak karena kepalanya ditutupi oleh ikatan kain hitam.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa lelaki yang suka menutupi kepalanya ada dua kelompok. Pertama kelompok lelaki botak dan kedua kelompok lelaki berketombe agar ketombenya tidak keluar ke dunia luar.
“Baik, Ngolor!” ucap kesembilan lelaki lainnya yang dalam kondisi ngos-ngosan.
Sebenarnya, nama lelaki usia separuh abad yang memberi perintah itu adalah Gelak Rawok, tetapi dia akrab dipanggil “Ngolor”. Ngolor sendiri adalah singkatan dari Ngoko Loro, yang berarti Ketua Dua alias Wakil Ketua.
Gelak Rawok lalu melangkah mundur menjauhi bibir jurang.
“Kenapa mundur, Ngolor? Katanya harus ke tebing sana,” tanya salah satu anak buah. Namanya adopsinya Elang Pingit.
“Aku mengambil ancang-ancang!” bentak Gelak Rawok kesal.
Mereka semua pun segera mundur karena mereka sama-sama tahu harus mengambil ancang-ancang. Si Elang Pingit saja yang rada bebek goreng alias bego.
Setelah manggut-manggut, Elang Pingit yang masih berusia muda itu ikut mundur.
Setelah itu, Gelak Rawok berlari ke arah jurang dan langsung melompat ke udara bebas, meninggalkan bibir jurang yang tidak pernah tersenyum.
Segera para lelaki yang lain juga berlari bersama lalu melompat jauh ke depan. Elang Pingit menjadi lelaki terakhir yang melompat.
Mereka langsung merentangkan sepasang lengannya untuk merentangkan sayap. Sayap kain dan pakaian mereka seketika menggelembung diisi oleh udara. Di udara itu mereka tidak meluncur jatuh, tetapi mereka terbang seperti tupai terbang tanpa ekor.
Mereka terlihat seperti sepuluh burung yang terbang dengan damai. Semuanya bisa mengendalikan terbangnya menuju ke arah tebing yang cukup jauh di depan.
Tidak perlu berlama-lama mengagumi kehebatan mereka menjadi manusia terbang. Singkat cerita, satu per satu orang-orang itu mendarat di atas tebing berhutan yang mereka tuju. Tentunya orang yang pertama mendarat adalah Gelak Rawok. Dan lagi-lagi yang terakhir adalah Elang Pingit.
“Apakah ada yang hilang? Apakah ada yang jatuh?” teriak Elang Pingit sambil memandangi rekan-rekannya untuk memastikan semuanya mendarat dengan selamat.
“Kalau ada yang jatuh, itu pasti kau orangnya,” celetuk rekan senegaranya yang bernama Tepak Abal. Sesuai namanya, dia menepak kepala Elang Pingit yang lebih muda darinya lima tahun.
“Ayo, jangan sampai kita terlewat!” seru Gelak Rawok lalu lebih dulu berlari pergi menjauhi bibir jurang.
“Baik, Ngolor!” sahut para anak buah lalu segera ikut berlari lagi.
Keterburu-buruan mereka menunjukkan bahwa mereka sedang mengejar sesuatu. Jangan diungkap sesuatu itu apa!
Medan kali ini yang mereka lewati lebih tidak menantang seperti wanita yang sudah tiga kali beranak pinak. Medannya lebih datar meski cenderung alam liar yang perawan, dalam arti nyaris tidak tersentuh oleh manusia.
Gelak Rawok terus berlari memimpin, seolah-olah dia hapal betul daerah berhutan itu.
Setelah menempuh perjalanan sejauh dua kilometer dengan berlari, mereka akhirnya berhenti.
Gelak Rawok dan kesembilan anak buahnya kini berjongkok berjemaah di bibir jurang yang lain, bukan bibir wanita yang lain. Ini perkara tugas kependekaran, bukan perkara asmara di balik ranjang, apalagi di balik jurang.
Mereka memandang jauh ke bawah. Ternyata di bawah mereka ada jalanan tanah yang salah satu ujungnya mengekor ke arah selatan, ujungnya hilang di lembah yang tertutupi oleh tanaman liar dengan pepohonan yang jarang.
Jalanan itu diapit oleh dua tebing tanah yang curam. Tebing tanah di seberang ketinggiannya lebih rendah. Ujung lain dari jalan yang lebar itu hilang tertutupi oleh badan bukit.
Pandangan Gelak Rawok tertuju ke ujung selatan karena mereka tidak menemukan sesiapa di jalan bawah mereka.
“Apakah kita terlambat, Ngolor?” tanya Tepak Abal.
“Mungkin juga, tapi kita tunggu mereka hingga lewat puncak hari,” jawab Gelak Rawok.
“Seharusnya Ngolor tidak terlambat,” celetuk Elang Pingit.
Seketika Gelak Rawok melirik dengan mata melotot. Tentunya bisa dibayangkan visualnya. Gelak Rawok yang berekspresi marah, tetapi Tepak Abal yang menepak kepala Elang Pingit.
“Jangan bicara sembarangan. Kau mau dilempar oleh Ngolor ke bawah?” hardik Tepak Abal.
“Aku bisa terbang kalau dilempar ke bawah,” sahut Elang Pingit dengan bibir monyong mengejek.
“Dasar mbek!” maki Tepak Abal sambil menendang pinggul Elang Pingit dengan kuat.
“Aaak!” pekik Elang Pingit yang terdorong dan jatuh berguling di tebing tanah yang miring sedikit.
Gelak Rawok dan yang lainnya sempat terkejut melihat tindakan Tepak Abal.
“Hahaha!” Mereka kemudian menertawakan Elang Pingit yang menjerit panik hanya sebentar.
Elang Pingit berhenti menjerit setelah dia berhasil menggenggam akar pohon yang menjuntai, tiga tombak dari atas.
Setelah menenangkan jantungnya sejenak, Elang Pingit lalu memanjatkan kakinya dan melompat naik. Sebagai orang yang punya kesaktian, Elang Pingit mampu naik lagi dan mendarat di dekat rekan-rekannya.
“Hahaha! Aku ini orang sakti, tidak akan jatuh segampang itu jika tidak dicurangi,” kata Elang Pingit yang didahului tawa jumawanya.
“Kau mau dilempar sungguhan?” tanya Tepak Abal sewot sambil hendak menyerang Elang Pingit lagi. Lagak Elang Pingit begitu menjengkelkan hawa nafsunya.
“Eh eh eh!” seru tiga orang rekan yang lain sambil buru-buru memegangi tangan dan badan Tepak Abal agar tidak mendorong Elang Pingit lagi.
Elang Pingit hanya terbeliak melihat Tepak Abal es mosi.
“Sudah, jangan berdamai, jangan menarik perhatian musuh!” hardik Gelak Rawok.
Karena dilarang berdamai, maka Tepak Abal dilepas. Namun, meski dilepas, Tepak Abal tidak melanjutkan niatnya untuk ribut lagi dengan Elang Pingit.
“Awas kau nanti, saat kau sedang buang tahi!” ancam Tepak Abal.
“Coba saja, nanti aku kasih tahi kau!” tantang Elang Pingit.
“Elang Pingit, kau jangan bicara lagi!” perintah Gelak Rawok sambil menunjuk anak buahnya itu.
“Ee ee!” sahut Elang Pingit dengan bibir dikatup rapat dan kepala manggut-manggut seperti burung parut.
“Semuanya merunduk!” perintah Gelak Rawok.
“Ngolor, ada yang muncul!” seru seorang yang tadi memegangi perut Tepak Abal.
“Karena itu kita disuruh merunduk!” hardik Tepak Abal tanpa sungkan menepak kepala rekannya itu.
Mereka pun segera berjongkok lagi demi menghindari tertangkap mata oleh orang yang muncul nun jauh di ujung jalan arah selatan.
Orang yang dimaksud muncul bukan satu orang atau satu makhluk, tetapi lima orang dan dua makhluk.
Ada lima orang penunggang kuda yang muncul di ujung jalan. Tidak ada jalan lain selain jalan yang menuju ke bawah tebing itu, kecuali mereka nekat menerobos semak belukar dan rawa-rawa atau naik ke tanah tinggi.
Lima orang itu sudah dapat dikenali dari jauh jenisnya bahwa mereka semua adalah wanita. Satu wanita mengenakan pakaian warna serba biru muda terang, satu warna kuning, satu warna hitam, dan dua warna merah tapi gelap.
Kelima kuda dipacu berlari tidak begitu kencang, menunjukkan bahwa mereka tidak sedang mengejar uang atau duren. Ketika semakin dekat jaraknya, ternyata wanita berpakaian hitam memiliki wajah yang sama hitamnya dengan warna pakaiannya.
“Itu Nyai Bale dan Cira Keling,” kata Tepak Abal yang sudah bisa mengenali dua wanita penunggang kuda. (RH)
asik lagi keren
tapi kalau Om belum juga berniat menyudahi perkara lubang ini, tolong keinginan Bg@😎 ȥҽɳƙαɱʂιԃҽɾ 😎 Om penuhi dengan memberi nama Lubang Kenikmatan untuk satu tokoh baru🤦😭🤣