Gyantara Abhiseva Wijaya, kini berusia 25 tahun. Yang artinya, 21 tahun telah berlalu sejak pertama kali ia berkumpul dengan keluarga sang papa. Saat ia berusia 5 tahun, sang ibu melahirkan dua adik kembar laki - laki, yang di beri nama Ganendra Abhinaya Wijaya, dan Gisendra Abhimanyu Wijaya. Selain dua adik kembarnya, Gyan juga mendapatkan sepupu laki-laki dari keluarga Richard. Yang di beri nama Raymond Orlando Wijaya. Gracia Aurora Wijaya menjadi satu-satunya gadis dalam keluarga mereka. Semua orang sangat menyayanginya, tak terkecuali Gyan. Kebersamaan yang mereka jalin sejak usia empat tahun, perlahan menumbuhkan rasa yang tak biasa di hati Gyan, yang ia sadari saat berusia 15 tahun. Gyan mencoba menepis rasa itu. Bagaimana pun juga, mereka masih berstatus sepupu ( keturunan ketiga ) keluarga Wijaya. Ia pun menyibukkan diri, mengalihkan pikiran dengan belajar. Mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin Wijaya Group. Namun, seiring berjalannya waktu. Gyan tidak bisa menghapus
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Pria Menyebalkan Ini Lagi.
Cia merogoh tas bagian luar untuk mengambil tanda pengenal karyawan miliknya. Sebelum ia keluar dari dalam mobil.
Namun, gadis itu berdecak kesal karena tidak menemukan benda itu.
"Apa ketinggalan di rumah?" Gumam gadis itu. Ia kemudian menghubungi sang mami, dan meminta wanita paruh baya itu melihat di ruang ganti kamar Cia. Namun mami Renatta mengatakan tidak ada.
"Apa jangan - jangan, jatuh di kedai kopi?" Cia berusaha untuk mengingat.
Tanda pengenalnya pasti terjatuh saat ia mengambil dompet. Gara - gara berdebat dengan pria menyebalkan itu, Cia bergegas pergi dan tak menghiraukan apapun.
Gadis itu pun hanya mampu menghela nafas berat. Semoga rekan - rekan kerjanya tak mengira ia bekerja sesuka hati karena tidak menggunakan tanda pengenal.
Semuanya pun berjalan dengan normal. Tidak ada teman yang bertanya tentang tanda pengenal Cia. Setelah jam kerja di mulai, semua sibuk dengan pekerjaan masing - masing.
Namun, kedatangan Gyan ke ruangan itu mengancaukan ketenangan Cia.
Entah ada tujuan apa calon Direktur Utama itu datang ke ruangan Devisi Keuangan.
"Dimana tanda pengenal kamu, Cia?" Tanya pria itu tepat di depan kubikel Cia.
Tangan Cia terkepal di bawah meja. Ia menarik nafas panjang, kemudian mendongak.
"Sepertinya terjatuh saat saya membeli kopi pagi tadi, pak Gyan." Ucap gadis itu dengan tenang.
"Benarkah? Kenapa kamu ceroboh sekali?"
Pertanyaan Gyan semakin membuat Cia menjadi semakin kesal. Gadis itu melirik dengan ekor matanya, beberapa rekan sedang melihat ke arah mereka.
"Saya memang ceroboh, pak. Kalau saya tau akan jatuh, mungkin saya akan memakainya dari rumah." Kesal gadis itu.
"Pak Gyan tenang saja. Saya akan meminta papi untuk membuatkannya lagi." Imbuh Cia kemudian.
"Jangan hanya karena kamu anak dari Direktur Utama, kamu bisa seenaknya, Cia. Tetap patuhi aturan yang berlaku di perusahaan ini." Ucap Gyan lagi.
Cia menghela nafas panjang. Belum menjabat sebagai Direktur Utama saja, Gyan sudah semenyebalkan ini.
"Maaf, pak Gyan. Saya sudah berkata dengan jujur kalau tanda pengenal saya terjatuh saat saya mengambil dompet. Pak Gyan boleh tidak percaya. Tetapi, tolong jangan bicara sembarangan. Saya selalu bersikap profesional dan tidak bekerja sesuka hati saya."
Cia tidak perduli jika sekarang mereka menjadi pusat perhatian para rekan kerjanya. Ia hanya tidak ingin Gyan menjatuhkan harga dirinya di hadapan orang banyak seperti ini.
Baru saja Gyan ingin kembali membuka mulutnya, ponsel Cia berdering. Gadis itu pun memilih mengambil benda pipih itu, karena melihat nama sang papi di layar.
"Ya, Pi." Ucap Cia saat ponsel telah menempel di telinganya.
"Apa kamu sedang sibuk? Datang sekarang ke ruangan papi. Ada seseorang yang ingin bertemu dengan kamu. Dia menemukan tanda pengenal kamu."
"Benarkah? Jadi ada orang yang mau mengembalikan tanda pengenal aku, Pi? Aku ke sana sekarang."
Panggilan berakhir. Cia merapikan meja kerjanya dan mematikan komputer. Ia tidak mau ada yang menyabotase pekerjaannya.
"Maaf, pak Gyan. Saya permisi sebentar. Mau ke ruangan papi, ada orang yang mau mengembalikan tanda pengenal saya." Ucap gadis itu yang bergegas pergi meninggalkan ruangan Devisi Keuangan.
Sementara itu, Gyan masih terpaku di tempatnya.
'Siapa yang menemukan tanda pengenal Cia? Kenapa langsung datang ke ruangan papi?'
Gyan menjadi penasaran. Ia harus mencari tau.
Hal yang sama juga di pikirkan oleh Cia. Siapa kira - kira yang menemukan tanda pengenalnya? Kenapa bisa sampai di ruangan sang papi?
"Tan, papi di dalam sedang bersama siapa?" Tanya Cia saat gadis itu sudah berada di depan meja kerja Tante Mona.
Meski wanita dewasa itu merupakan sekretaris ayah Dirga, namun ia juga melihat siapa saja yang keluar masuk ruangan sang papi.
Selain itu, ia juga sering merangkap sebagai asisten om Dion. Menjadi sekretaris untuk papi Rich.
"Sedang bersama kliennya, Cia. Apa kamu ingin bertemu dengan pak Rich?" Tanya Tante Mona.
Cia mengangguk pelan. "Papi yang meminta aku untuk datang kemari. Katanya ada yang mau mengembalikan tanda pengenal aku."
Tante Mona mengangguk paham. Cia kemudian masuk ke dalam ruangan sang papi.
"Pi."
Langkah Cia melemah ketika melihat punggung seorang pria yang duduk di atas sofa *single*, dan membelakangi pintu masuk ruangan sang papi.
Ia merasa tidak asing dengan perawakan pria itu.
"Nah ini dia anaknya sudah datang. Kemari sayang. Ada yang ingin bertemu dengan kamu." Papi Rich yang duduk di atas sofa *single* yang lain pun mengulurkan tangan, meminta Cia untuk mendekat.
Gadis itu menurut, ia melangkah maju. Membuat tamu papi Rich memutar kepalanya.
"Kamu."
Cia terbelalak saat melihat siapa orang itu. Pria menyebalkan yang telah merebut kursinya di kedai kopi pagi tadi.
'*Pria menyebalkan ini* *lagi*.'
"Kita bertemu lagi, nona Gracia Aurora." Ucap pria itu dengan tenang dan penuh senyum.
"Darimana kamu tau nama aku? Papi yang memberitahu nama aku sama dia?" Cia berbicara dua arah. Menatap ke arah sang papi, dan pria menyebalkan itu secara bergantian.
"Aku membacanya dari tanda pengenal kamu yang terjatuh di kedai kopi tadi." Pria itu memperlihatkan tanda pengenal Cia di tangannya.
Jadi benar dugaan Cia, tanda pengenalnya jatuh di kedai kopi. Gadis itu pun meraihnya dengan cepat.
"Yang sopan kamu, Cia." Peringat sang papi.
Cia pun mengerucutkan bibirnya.
"Ternyata putri pak Richard sangat bersemangat sekali." Ucap pria itu dengan terkekeh.
Papi Rich menanggapi dengan anggukan kecil sembari tersenyum. Ia kemudian meminta Cia untuk mengucapkan rasa terima kasih pada pria itu.
"Terima kasih karena telah menemukan dan mengembalikan tanda pengenal saya, pak -- Cia memotong ucapannya, ia tidak tau siapa nama pria menyebalkan itu.
Gadis itu pun melirik sang papi. Namun pria paruh baya itu hanya mengedikan bahunya.
Cia mendengus pelan. Pria itu kemudian mengulurkan tangannya. Dengan malas dan enggan, gadis itu menyambutnya.
"Arrea Dinata." Ucap pria itu.
'*Dinata? Apa dia putra pengusaha Arthur Dinata itu? Pantas saja dia memiliki wajah yang tampan. Tetapi sayangnya dia sangat menyebalkan*.'
"Cia." Suara papi Rich membuyarkan lamunan gadis itu.
"Terima kasih, pak Arya --
"*No* Arya. Tetapi, A - R - R - E - A." Pria itu mengeja huruf namanya menggunakan bahasa Inggris, dan membuat Cia paham.
'*Astaga.. menyebut namanya saja susah sekali*.' Gerutu Cia dalam hatinya.
...\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*...
cepet Lapor sama papi mu gadis bodoh...
gyan memang kelewatan. gak ada tanggung jawab nya.