“ARRRGGGHHH! PANAAS! SAAKIIITT!”
Sekar Arum tak pernah membayangkan, setelah dipaksa menjadi gundik demi melunasi hutang orang tuanya, ia justru mengalami siksaan mengerikan dari para perempuan yang iri dan haus kuasa.
Namun, di saat dirinya berada di ambang hidup dan mati, sosok gaib mendekatinya—seorang sinden dari masa lalu yang menyimpan dendam serupa.
Arum akhirnya kembali dan menggemparkan semua orang-orang yang pernah menyakitinya. Ia kembali dengan membawa semua dendam untuk dibalas hingga tuntas.
Namun, mampukah Sekar Arum menumbangkan musuhnya yang memiliki kuasa?
Atau justru ia akan kembali terjerat dalam luka dan nestapa yang lebih dalam dari sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DG 29
“Tolong ibu ya, Nak. Tolong ibu, sekali ini saja.” Sarinem merangkak, menarik jemari Arum dan menggenggamnya erat. “Kalau bapakmu mati, gimana nasib ibu dan adik-adikmu nanti, Nak.”
Tatapan Arum masih saja datar. Namun, perlahan kedua bahunya berguncang pelan—ia terkekeh.
Sebelah alisnya berjingkat. “Bagaimana nasib kalian? Selama ini dia hidup, nasib kalian memangnya bagaimana? Sejahtera? Aku loh ... dijual demi menutup hutang judinya. Jika dia hidup lebih lama ... sudah pasti adik perempuan ku yang lain akan menyusul jejak diri ini. Lalu adik laki-laki ku yang lain, akan menjadi buruh pasar di usia yang masih amat muda. Bahkan, bukan tak mungkin pula—pria bajingan itu akan mengirim Ibu menjadi wanita publik di warung remang-remang di ujung desa! Memuaskan hasrat para lelaki hidung belang yang setiap malam haus akan selangkangan!”
“Arum!” bentak Sarinem. Ia menghempaskan jemari sang putri. “Jaga bicara mu, Nak! Kenapa anak yang biasanya lemah lembut— bisa jadi berubah sekasar ini?! Apa harta yang kau dapatkan selama menjadi gundik, telah merubah mu, Nak?! Begitu? Iya?! Jawab!”
“Entahlah!” Arum mendengus. “Mungkin karena aku sudah terlalu banyak mengorbankan banyak hal ....”
Arum beranjak bangkit dari kursi jati beralas kain beludru merah, lalu melangkah pelan mendekati jendela. Menatap nanar pepohonan rimbun yang tampak dari kejauhan.
“Sejak kecil, bapak selalu mengatai aku anak yang tak berguna—anak pembawa sial. Berkali-kali ia mengucapkan kata-kata kejam itu, hanya perkara ayahnya meninggal setelah beberapa jam aku dilahirkan. Aku masih ingat betul, bapak memukul pantat ini habis-habisan dengan rotan—hanya karena ia kesal kalah berjudi dan berujung menjual aset yang menjadi mata pencaharian—”
BUGH!
Arum tiba-tiba meninju kusen jendela sangking kesalnya mengingat masa lampau.
“Tapi kalian lihat ... anak yang dipanggil sial dan tak berguna ini, sudah melunasi hutang piutang orang tuanya. Merelakan diri untuk menjadi gundik si aki-aki birahi!” Arum berbalik badan dan menatap lekat manik sang ibu yang perlahan memerah. “Ibu ... tidakkah engkau kasihan kepada diri ini, Bu? Apa salah ku, Bu? Sampai-sampai aku harus berjalan dengan duri-duri tajam di telapak kaki ini.”
Sarinem tak sanggup menjawab. Matanya terpejam, bibirnya bergetar hebat, tapi tak ada suara yang keluar. Kedua lututnya gemetar hebat di lantai paviliun yang dingin. Tangisnya pecah, tetapi tetap tak berani bersuara. Ia hanya menunduk, menahan isak dengan menggigit punggung tangannya sendiri.
Arum, yang berdiri menjulang seperti bayang-bayang dendam masa lalu, memejamkan mata sejenak. Bahunya masih berguncang, entah karena amarah yang belum tuntas—atau luka lama yang mulai berdarah kembali.
“Ibu ...,” ucapnya pelan. “Kalau saat itu, Ibu berdiri dan berkata ‘jangan’... mungkin aku masih bisa memanggilmu sebagai pelindung. Tapi, yang Ibu lakukan selama ini hanyalah diam, bungkam dan menyetujui semua jalan keluar yang disarankan oleh bapak! Kalian kelaparan, maka tenaga ku lah yang jadi jalan keluarnya. Dan saat dia dililit hutang yang tak lagi terhingga—maka tubuh ini lah yang dijual. Apa yang bisa ibu lakukan selain mengangguk-ngangguk bak lembu dicucuk hidungnya?”
Arum berjalan kembali ke arah kursinya, lalu duduk dengan santai. Dingin, seperti ratu di atas takhta tanpa empati.
“Dan sekarang, Ibu datang—memohon agar aku menyelamatkan Bajingan Laknat itu?!” pekik Arum.
“Nak, ibu minta tolong, Nak. Sekali ini saja ....” Sarinem membungkuk, bersimpuh dan tetap memohon. Membuat Arum semakin frustasi.
“Bu ... anggap saja aku tak lagi ada di dunia ini. Jangan merecoki hidupku dengan permasalahan kalian,” ucap Arum tanpa menoleh. Suaranya datar, tak ada getar iba.
Sarinem sampai terpaku. Jemarinya yang keriput menggenggam kain jarik yang lusuh, meremas-remas kuat seolah ingin membuktikan bahwa semua ini hanyalah mimpi.
Perempuan baya itu kembali membuka mulut. “Tapi ... Nak, kami ini keluargamu—”
Arum mengangkat tangannya, menghentikan kalimat yang terdengar menyakitkan di telinganya.
“Sejak hari di mana aku dijual seperti barang rongsokan oleh pria yang kau sebut suami ... hubungan darah itu sudah putus,” lirih Arum. Matanya tak berkedip. “ Kalian, bukan lagi keluarga ku.”
Ia bangkit dari duduknya, berjalan pelan menuju jendela. Punggungnya tegap, suaranya tenang—tapi ada bara yang menyala di dalamnya. “Sekarang ... silahkan pergi dari sini. Aku masih punya banyak hal penting yang harus kupikirkan.”
Sarinem berdiri perlahan, gemetar. “Kau sungguh tega, Arum. Benar kata bapakmu ... Kau ... sudah menjadi anak durhaka.”
Arum tertawa lirih. Ia kembali duduk, menyandarkan punggungnya ke kursi dengan dagu terangkat, lalu menatap kosong ke arah cangkir teh yang tak lagi hangat.
“Tak mengapa jika aku dicap sebagai anak durhaka—ketimbang harus terus berurusan dengan makhluk pemalas, penggila uang, dan selalu enggan menghargai pengorbanan orang lain ... seperti kalian,” ucapnya datar, tapi nadanya menusuk. “Sekarang pergilah. Mumpung aku masih bersikap lembut.”
Ia menyipitkan mata, menatap Sarinem terakhir kali.
“Oh ya,” sambungnya dingin, “terkait pria pemalas itu ... tenang saja. Dia akan kembali sehat, kalau sifat serakahnya telah lenyap dari badan.”
Sarinem mengernyit tak mengerti. “Apa maksud mu, Rum?”
“Selama tujuannya masih untuk menumpang hidup dari keberhasilanku, dia akan terus tersesat di sana—berputar-putar di dunia yang bahkan tidak mengenalnya. Tak akan ada dukun, tabib, atau mantra manapun yang bisa menarik pulang jiwanya ... selama keserakahannya masih melekat seperti lintah.”
Sarinem membatu. Matanya membelalak ngeri, seolah tak mengenali lagi anak yang dilahirkannya sendiri.
“Nak, jangan bilang kalau ini semua, u-u-ulahmu?!” Sarinem perlahan mundur, merasa takut dengan putrinya.
Jemarinya gemetar saat mencoba membuka daun pintu. Dan ketika akhirnya pintu terbuka, ia segera keluar dari Paviliun itu tanpa menoleh lagi.
Namun mereka tak tau, sebelum Sarinem meninggalkan paviliun—seseorang sudah berdiri di balik pintu, sedari tadi mencuri dengar informasi.
Begitu gagang pintu diputar, sosok itu terperanjat, lalu buru-buru berlari terbirit-birit menuju rumah besar. Napasnya memburu, langkahnya terantuk di anak tangga saat menaiki undakan menuju lantai atas. Tangannya terkepal, lalu—
DUG! DUG! DUG!
Ia menggedor pintu tua di ujung lorong dengan panik.
“NYAI! NYAI! SAYA DATANG MEMBAWA BERITA—BERITA PENTING DARI PAVILIUN!”
Suara gaduh itu menggema di lorong rumah besar, menandai babak baru dari badai yang tak lama lagi akan meledak.
*
*
*
Ealah ras Laras wes gedhene sak emprit kok mbok potong entek pisan Yuyun kebagian OPO Iki engko 🤭
mampus kau emg enak g ada tongkta sakti mu
wkwkwkk tgl menungu ajal
siksa dlu pelan2 biar tau rasa
burung mu sdh banyak korban
memang sdh numpuk kejahatan mu
wis rasakno ,andalan mu tumpul sak Endogee ,
ajurrr ajurr ,tinggal slulup neng kolam disambut buaya lapar ,puasa 3 bln
🤣🤣