Haisya, gadis cerdas berhati teguh, meraih beasiswa ke Negeri Fir'aun, namun hatinya telah terpaut cinta pertama dari pesantren. Di Inggris, ia bertemu seseorang yang awalnya membencinya karena perbedaan, namun berubah menjadi cinta mendalam. Kembali ke tanah air, Haisya dijodohkan. Betapa terkejutnya ia, lelaki itu adalah sosok yang diam-diam dicintainya. Kini, masa lalu kembali menghantuinya, menguji keteguhan hati dan imannya. Ikuti perjalanan Haisya menyingkap simpul-simpul takdir, dalam kisah tentang cinta, pengorbanan, dan kekuatan iman yang akan memikat hatimu hingga akhir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Simun Elthaf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Topeng dan Jiwa yang Memberontak
Haisya memahami, setiap orang mengenakan topeng. Sebuah fasad yang mereka bangun untuk menunjukkan diri sebagai orang lain, demi diterima, demi aman, atau demi sekadar bertahan. Namun, tidak dengannya. Haisya memilih untuk tetap menjadi dirinya—Haisya Ardiyanti, gadis dengan nama anggun ini, yang rela meninggalkan kehangatan keluarga, tawa riuh teman-teman, serta segala kesenangan di tanah kelahiran demi satu cita-cita yang menggebu.
Tiga tahun yang lalu, Haisya melangkah masuk ke gerbang pesantren ini, sebuah tempat yang asing namun penuh janji. Penampilannya kala itu, bagaikan anomali di antara santriwati lainnya; sebuah gaun cokelat susu pas membalut tubuh rampingnya, berpadu dengan jilbab pashmina senada yang menjuntai elegan. Postur tubuhnya yang tinggi semampai, kulit putih bersih, hidung mancung, serta bibir mungil merona dengan senyuman yang terus ia tebarkan, seolah menyihir setiap pasang mata. Mereka terkesima bukan hanya oleh paras, tapi juga oleh budi pekerti yang Haisya rasa biasa saja. Ia ramah, cepat berbaur, dan berusaha menjadi sosok yang mudah diterima siapa pun.
Langkah demi langkah, Haisya menaiki anak tangga asrama, gemerisik koper di tangan kanan dan tas kecil cantik di punggungnya menjadi satu-satunya irama dalam keheningan yang menyambut. Sesampainya di kamar, wajah-wajah ramah para santriwati menyapanya, dan Haisya tahu, inilah awal dunianya yang baru. Rasa canggung menyergap, namun diatasi dengan senyum paling tulus, berusaha menciptakan suasana yang hangat di antara mereka. Ia mencoba untuk bisa menjadi siapa pun yang mereka sukai, beradaptasi dengan karakter apa pun yang mereka harapkan. Haisya ingin menjadi bagian dari mereka, secepat mungkin.
Perlahan, penampilannya mulai bertransformasi. Gaun modis dan pashmina berganti gamis longgar dan jilbab syar’i, menyesuaikan diri dengan para santriwati lainnya. Tak hanya fisik, sikapnya pun turut berubah. Dari periang menjadi lebih pendiam, dari ekspresif menjadi lebih tertutup. Apa pun yang diperintahkan kepadanya, dengan cepat dilaksanakan. Bila ada ketidakadilan menimpanya, ia terima dengan diam dan keikhlasan. Haisya ingin menjadi santriwati sempurna yang tak merepotkan siapa pun.
Mereka menyukai Haisya karena sikapnya yang "sangat terimaan" dan "pasrah", tak pernah protes. Seringkali, ia dimanfaatkan oleh teman-temannya, diminta mengerjakan ini dan itu, seolah tak ada penolakan dalam dirinya. Tak jarang pula, ia diremehkan dan dipandang sebelah mata, dianggap lemah, atau terlalu lugu. Haisya mendiamkan semua itu, membiarkan mereka membangun persepsi mereka sendiri tentang dirinya. Toh, selama ini, itu berhasil membuatnya diterima.
Suatu sore yang temaram, secarik kertas lusuh tergeletak di atas meja belajar Haisya. Syifa, sahabat karibnya yang penuh perhatian, tak sengaja membacanya. Tulisan tangan Haisya, yang seringkali menjadi wadah pelampiasan jiwanya, tertera jelas di sana:
"Maaf… Aku memang bukan pendengar dan penghayat cerita yang baik, apalagi pemberi penjelasan rumitnya cerita itu. Tapi… Setidaknya tak lepas statusku menjadi tempat pembuangan akhir cerita itu, walaupun lebih sering aku diremehkan, digunakan saat dibutuhkan saja, tapi tak masalah bagiku…. Terima kasih kawan, karena kalian masih menganggapku ada."
Hening. Syifa menatap tulisan itu, pandangannya sarat dengan pemahaman. "Haisya temanku, sesungguhnya kau adalah singa yang tertidur," bisik Syifa dalam hatinya, sebuah keyakinan yang tak pernah ia suarakan, "yang suatu saat kau akan bangun dan tunjukkan keganasanmu." Syifa yakin, suatu saat nanti, Haisya Ardiyanti yang sesungguhnya akan menunjukkan jati dirinya.
Lamunan Syifa buyar secepat kilat ketika Laila mengagetkannya. Sebuah tepukan ringan di pundak terasa seperti sambaran petir. "Assalamualaikum, Ukhty," sapa Laila ceria.
"Astaghfirullah… Laila!" Syifa menghela napas, setengah kesal.
"Stop! Jangan marah dulu, jawab dulu salamku!" Laila terkikik.
"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab Syifa, mencoba menahan senyum.
"Nah, gitu dong. Eh, ngomong-ngomong lagi mikirin apaan, sih, sampai ngalamun gitu? Nanti kemasukan gimana?" Laila penasaran.
"Iya, kemasukan anti," Syifa membalas, melirik geli.
"Yee, malah ngalihin pembicaraan. Ana mana bisa masuk ke antum." Laila cemberut.
"Sudahlah, ayo keluar. Kamarnya mau dikunci!" Syifa beranjak, menarik Laila keluar.
Di kelas, Haisya fokus mengikuti pelajaran nahwu shorof yang rumit, namun tidak menyadari bahwa di barisan belakang, beberapa pasang mata santri putra terus mengawasinya. Bisikan-bisikan samar sesekali terdengar, mengusik fokus Haisya.
"Heh, Zak, cewek yang di depan itu tadi namanya siapa, ya?" Bisik Ilham, matanya tak lepas dari Haisya.
"Yang mana?" Zaki menyahut, pura-pura tak tahu.
"Itu loh, yang cantik," Ilham menunjuk ke arah Haisya yang duduk manis di bangku depan, memperhatikan penjelasan ustadzah.
"Ooooh, itu," Zaki manggut-manggut. "Dia Haisya, lulusan dari Sekolah Negeri."
"Oh, pantesan, beda dari yang lain," komentar Ilham.
"Bedanya?" Zaki penasaran.
"Ya… lihat penampilan dan gayanya! Modis banget, 'kan?" Ilham terkekeh pelan, menyiratkan kekaguman yang tersembunyi.
"Kamu suka, kah?" Zaki memancing.
"Entahlah," jawab Ilham, nadanya ragu, namun matanya tak bisa berbohong.
Ridwan, yang duduk persis di depan Zaki dan Ilham, merasa risih dengan suara bising mereka yang mengganggu konsentrasi. Ia menghentikan tadarus Al-Qur'annya sejenak. "Ilham, Zaki, tolong diam! Perhatikan Ustadzah dengan baik!" tegurnya tegas.
"Oke, Bos," sahut mereka serempak, seketika hening.
Waktu pembelajaran pun usai. Ustadzah keluar meninggalkan kelas dengan salam penutup. Begitu pula dengan Haisya dan Fasya, mereka meninggalkan kelas dan bergegas menuju kantin, perut sudah keroncongan. Sementara Ilham, Ridwan, dan Zaki tetap berada di kelas.
"Wan, emangnya kamu enggak tertarik apa dengan cewek yang namanya Haisya?" Ilham tak menyerah.
"Mmmmmm… niat saya ke sini untuk menuntut ilmu, bukan untuk yang lainnya," jawab Ridwan singkat, tanpa mengalihkan pandangannya dari mushaf Al-Qur'an di tangannya.
"Eleh, alim banget jadi orang. Ilham yang anak kyai juga nggak alim amat," Zaki mencibir Ridwan karena sikap cueknya yang terlalu berlebihan. Ridwan sebenarnya mendengar cibiran dari Zaki, namun ia tetap memilih untuk menutup telinga, menarik napas dalam, dan melanjutkan tadarusnya, seolah tak ada yang terjadi. Ketenangan adalah bentengnya.
Haisya kembali ke kelas setelah makan siang, mendapati Ridwan masih dengan aktifitas yang sama, duduk diam dan tekun melantunkan ayat-ayat suci. Haisya tidak menyapanya, melainkan langsung duduk di bangkunya dan membaca salah satu buku tebal yang berada di atas meja. Diam-diam, Zaki yang memang tak pernah puas, menanyakan berbagai hal tentang Haisya kepada Alvia, teman dekatnya. Alvia, tanpa ragu, menceritakan semua tentang Haisya; tentang sikap, adab, perilaku, dan keramah-tamahannya selama di dalam asrama putri. Ia tahu betapa Haisya berusaha untuk beradaptasi.
"Masa, sih, dia anak yang ceria? Tapi di sini kok dia kalem banget, ya?" Zaki bertanya-tanya dalam hatinya, kontras dengan apa yang didengarnya. Ia tak tahu, bahwa sikap pendiam Haisya adalah salah satu bentuk topeng yang dipakainya.
Hari demi hari, Zaki semakin penasaran dengan sosok gadis yang telah mengusik pikirannya itu. Wajah Haisya, senyumnya, gerak-geriknya—semua menjadi bayangan yang mengganggu konsentrasinya. Zaki tidak dapat fokus belajar karena terus kepikiran tentang Haisya. Berbagai upaya telah ia lakukan untuk menghilangkannya dari pikiran; membaca lebih banyak kitab, berzikir lebih khusyuk, bahkan mencoba menghindari jalur yang biasa dilalui Haisya. Namun tetap saja, Zaki justru semakin tertarik dengan paras cantik yang dulu pernah Haisya pamerkan.
Hingga suatu hari, sebuah bisikan tak terduga sampai ke telinga Haisya. Seseorang membocorkan bahwa banyak dari kalangan santri putra yang diam-diam "naksir" kepadanya. Informasi itu bagai sengatan listrik. Haisya yang telah mengetahui hal itu pun merasa bingung dan gelisah. Bagaimana caranya agar tidak ada lagi santri putra yang menyukainya? Ia hanya ingin fokus mencari ilmu, tanpa adanya gangguan yang tak diinginkan ini.
Haisya mencari tahu penyebab mereka menyukainya. Ternyata salah satu penyebab utamanya adalah penampilannya. Lambat laun, dengan perlahan namun pasti, Haisya mulai melupakan fashion. Ia bahkan berpenampilan lebih cupu dari santri lainnya. Jilbabnya ukurannya semakin besar, tak lupa ia selalu memakai kaus kaki dan hand sock untuk menutupi kulitnya yang putih. Haisya juga sudah tidak memperhatikan wajahnya; jerawat-jerawat kecil mulai tumbuh di bagian pipinya yang lembut, dibiarkan begitu saja. Kini, Haisya merasa lebih aman dan lebih bebas berekspresi, tanpa khawatir jika ada seseorang yang "mencintainya" hanya karena fisik. Toh, sekarang paras wajahnya tidak seindah dulu. Mereka pasti akan berhenti memandang Haisya.
"Ukhty, kok sekarang jadi jerawatan, sih…?" Syifa bertanya suatu hari, sedikit terkejut melihat perubahan Haisya.
"Ya, enggak apa-apa, namanya juga di pondok ya enggak sempat perawatan," jawab Haisya santai, mencoba menutupi kegelisahan.
"Iya juga, sih, he-he-he…" Syifa tertawa kecil. "Ty, ukhty dulu sih sekolah di mana?"
"Di SMP Negeri Jateng," jawab Haisya.
"Di negeri?" ia tampak sedikit terkejut. "Kenapa Ukhty malah ke sini?"
"Entahlah, saya juga tidak merencanakannya, tiba-tiba saja saya masuk ke sini," Haisya mengangkat bahu, seolah itu adalah misteri baginya sendiri.
"Rencana Allah memang indah," Syifa mengangguk penuh makna.
"Iya, Dia tahu yang terbaik untuk hamba-Nya. Mungkin jika saya enggak ke sini, saya enggak akan kenal kamu seperti sekarang." Haisya tersenyum tulus padanya.
Haisya percaya, setiap godaan adalah ujian, dan setiap rintangan adalah jalan menuju pemahaman yang lebih dalam. Sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. Al-A'raaf (7): 200: "Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaiton, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Haisya terus meyakinkan diri, bahwa perubahan penampilannya ini adalah tameng. Bahwa dengan menjadi "cupu", ia akan terhindar dari gangguan dan bisa fokus pada ilmunya. Namun, di antara semua keyakinan itu, sebuah pertanyaan baru mulai muncul dan mengusik benaknya, pertanyaan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.
Apakah dengan mengubah dirinya, ia juga sedang memadamkan sesuatu yang penting dari masa lalunya, sesuatu yang justru mungkin sedang berusaha menemukan jalannya kembali kepadanya? Sesuatu yang akan mengubah takdirnya, jauh lebih dalam dari sekadar penampilan?