Series #2
Keputusan Rayden dan Maula untuk kawin lari tidak semulus yang mereka bayangkan. Rayden justru semakin jauh dengan istrinya karena Leo, selaku ayah Maula tidak merestui hal tersebut. Leo bahkan memilih untuk pindah ke Madrid hingga anaknya itu lulus kuliah. Dengan kehadiran Leo di sana, semakin membuat Rayden kesulitan untuk sekedar menemui sang istri.
Bahkan Maula semakin berubah dan mulai menjauh, Rayden merasa kehilangan sosok Maula yang dulu.
Akankah Rayden menyerah atau tetap mempertahankan rumah tangganya? Bisakah Rayden meluluhkan hati sang ayah mertua untuk merestui hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 : Menunggu Sadar
...•••Selamat Membaca•••...
…Tat… Tat… Tat…
Bunyi monitor jantung kembali memenuhi lorong saat Maula dibawa kembali ke ICU. Tubuhnya dibaringkan perlahan ke ranjang perawatan, kepala sudah dibalut ketat, dan selang-selang medis menyatu dengan tubuhnya bagai benang takdir yang genting. Suster segera menyambungkan ventilator, memantau tekanan darah, serta mencatat parameter vital tiap menit.
Rayden berdiri tepat di luar kaca pembatas, memandangi wajah istrinya yang tampak tenang dalam tidur buatan itu. Tapi ia tahu, kedamaian itu adalah medan perang. Di dalam tengkorak Maula, otaknya sedang berjuang melawan tekanan, trauma, dan kematian.
Eliza duduk di samping Marlo. Wajahnya muram, tangan gemetar di atas rosario kecil yang tak henti ia genggam.
“Dia gadis kecilku…” bisik Eliza lirih. “Anak itu sudah melalui banyak hal dalam hidupnya. Aku mohon, jangan ambil dia sekarang, Tuhan…”
Rayden tak bergeming. Matanya tak lepas dari Maula. Dalam diam, pikirannya melayang pada janji-janji mereka dulu—tentang Madrid, tentang anak-anak yang akan mereka besarkan bersama, tentang kebersamaan yang tak akan pernah bisa dilupakan jika tua nanti.
Pukul 10.15 pagi, Maula masih belum sadar.
CT scan post-operasi menunjukkan hasil sementara: hematoma berhasil dievakuasi, pembengkakan sedikit menurun, tapi struktur otak tetap dalam pengawasan ketat. Gelombang EEG menunjukkan aktivitas lambat—komatosa ringan.
Tim medis berjaga secara bergantian. ICU dijaga dalam ketenangan maksimal, ruangan dijaga dalam mode senyap total, hanya diselingi suara alarm alat medis sesekali.
Rayden diberi izin masuk, mengenakan APD steril penuh. Ia duduk di sisi ranjang Maula, memegang tangannya yang kini sudah mulai terasa hangat. Selang endotrakeal masih menyalurkan napas buatan ke paru-paru istrinya.
Ia mencondongkan tubuh, mendekat ke telinga Maula.
“Sayang... ini aku,” bisiknya pelan, hampir seperti mantra. “Namamu masih ada di hatiku, di setiap tarikan napas... seperti yang kamu minta. Bangunlah! Katanya kamu mau segera kembali ke Madrid untuk menyelesaikan gelarmu, lalu kita tinggal di Indonesia selama satu tahun setelah lulus dan hidup menikmati semuanya dengan tenang di sana. Bangunlah sayang, katanya mau kulineran di Indonesia.”
Ia memejamkan mata, pipinya menempel lembut di pelipis Maula. Lalu ia berkata lagi, setengah bergetar. “Aku tidak akan ke mana-mana. Jadi kamu pun harus tetap di sini. Jangan pergi, Piccola. Jangan…”
Di luar kamar, Dokter Katya memanggil Eliza dan Marlo untuk berbicara empat mata. Ia menunjuk grafik tekanan intrakranial dan parameter pasca-operasi di layar monitor.
“Ini situasinya: secara teknis operasi berhasil. Tapi sekarang kami masuk fase krusial—fase pembengkakan pasca bedah dan respon sistem imun terhadap trauma. Jika dalam 48 jam ke depan Maula tetap stabil, kemungkinan pemulihan akan meningkat signifikan.”
“Dan kalau tidak?” tanya Eliza lirih.
“Kita akan melihat tanda-tanda gagal otak: pupil tidak reaktif, refleks batang otak hilang, tekanan intrakranial terus naik meski terapi maksimal. Tapi... kami belum sampai di sana. Maula masih berjuang.”
Marlo menarik napas dalam. “Dia bukan gadis biasa, Dokter. Dia anak yang keras kepala. Kalau ada orang yang bisa bangun dari ini, itu Maula. Kakakku.”
Pukul 14.00. Suhu tubuh Maula naik sedikit, 37.8°C. Perawat langsung memasang kompres dingin di dahi dan mengganti infus dengan larutan elektrolit seimbang. Rayden tetap di sisinya, kini tak berbicara lagi, hanya menyentuh lengan Maula, mengirim kehangatan yang tak bisa disalurkan oleh mesin.
Kemudian... tiba-tiba, monitor tekanan intrakranial berbunyi bip cepat.
“ICP 21... 24... 27...”
“Suster, berikan manitol tambahan 100 ml, cepat!”
Rayden panik. “Apa yang terjadi?”
“Tekanan dalam otaknya naik lagi. Bisa karena respons inflamasi atau perdarahan minor sekunder,” jawab suster tegang.
Namun setelah manitol masuk perlahan, angka mulai turun kembali. 23... 20... 17...
“Stabil,” bisik suster lega.
Rayden menghembuskan napas panjang. Ia menggenggam tangan Maula lebih erat lagi, kali ini menunduk dan menangis—bukan karena takut kehilangan, tapi karena menyadari bahwa istrinya masih bertahan. Masih bertarung melawan penyakitnya dan dalam ketidakpastian yang menyiksa itu, satu hal terasa pasti bagi Rayden. Maula belum menyerah.
...***...
Langit Jakarta masih gelap saat Leo menarik koper hitamnya ke arah pintu keberangkatan Bandara Soekarno-Hatta. Jam menunjukkan pukul 04.30 pagi, dan udara masih lengket oleh kelembapan tropis yang belum sempat menguap.
Di dalam genggamannya, boarding pass menuju Moskow—transit di Istanbul—terlipat rapi namun bergetar bersama tangannya.
Penerbangan mereka dimulai pukul 06.30 pagi waktu Jakarta. Matahari baru muncul saat pesawat mengangkasa, menembus awan jingga. Leo menatap keluar jendela kabin, memejamkan mata. Ia mendengar kembali suara Eliza di telepon semalam.
“Maula harus dioperasi, Leo. Otaknya bengkak. Kami tak tahu... dia akan bertahan atau tidak.”
Juga informasi dari Marlo dan Rayden bahwa Maula sudah selesai di operasi dan berjalan lancar tapi kondisi Maula masih belum sadarkan diri.
Sejak itu, dunia Leo seperti diringkus dalam ruang kedap udara. Ia nyaris tak berbicara. Di sebelahnya, Maureen pun terdiam, hanya menggenggam tangan suaminya erat-erat, seperti menyerap sisa kekuatan yang masih bisa mereka simpan bersama.
Tiga belas jam menuju Istanbul. Waktu mengalir lambat di langit tinggi. Penerbangan berjalan senyap. Bahkan film-film di layar kabin pun terasa bisu.
Leo menolak makan, matanya terpaku pada jam tangan yang terus berdetak. Setiap satu menit berlalu terasa seperti satu hari yang tertinggal dari Maula.
“Hei sayang, jangan terlalu tegang, aku di sini,” ujar Leo sambil mengusap tangan Maureen.
“Aku sudah menduga hal ini, Leo. Aku takut.” Leo memeluk Maureen dan mencium kening istrinya.
Setelah transit 2 jam di Istanbul, mereka melanjutkan penerbangan ke Moskow. 4 jam tambahan, dengan tubuh letih dan hati yang koyak.
Waktu di Moskow masih menunjukkan pukul 13.00 siang, langit kelabu, dan udara mengiris kulit saat mereka melangkah keluar dari Bandara Sheremetyevo.
13.30 – Taksi menuju pusat kota, langsung ke rumah sakit.
“Bagaimana kalau kita terlambat?” bisik Maureen.
Leo tidak menjawab. Matanya menatap jalanan kota Moskow yang asing, putih dan dingin, berlari mundur di balik kaca jendela mobil.
14.55 – Rumah Sakit Klinis Pusat Moskow.
Taksi berhenti. Leo membayar lalu menarik Maureen menaiki tangga granit rumah sakit. Udara berbau obat dan pendingin ruangan.
15.00 – ICU.
Eliza berdiri di sana, mengenakan mantel wol hitam, wajahnya basah oleh air mata. “Dia masih hidup,” katanya langsung, tak menunggu sapaan. “Dokter sedang berjuang, anak kalian juga sedang berjuang.”
Maureen langsung menubruk tubuh ibu mertuanya, menangis dalam diam. Leo tak bergerak, matanya menatap melalui kaca ruangan ICU. Di dalam sana, terbaring Maula—putrinya—kepalanya dibalut, wajahnya pucat, napasnya dipompa mesin.
Rayden duduk di kursi logam di sisi ranjang, punggung membungkuk, tubuhnya seperti patah dua. Tapi Leo hanya menatap anak gadisnya.
“Kau bertahan, Maula. Papa dan Mama sudah datang, bukankah kamu merindukan kami? Kami datang nak.” Leo menyentuh kaca tersebut lalu menitikkan air mata, begitu rapuh dia melihat anaknya seperti itu.
“Thalia bagaimana?” tanya Eliza pada Maureen.
“Dia tidak mau ikut, tidak dapat izin dari sekolah. Aku menitipkan dia pada Citra dan Hans, Ma.” Eliza mengangguk.
Rayden keluar dari ruangan, bergantian dengan Leo yang masuk ke dalam. Tangis Leo pecah saat memeluk putri yang di matanya masihlah anak kecil.
“Sayang, kamu kuat. Kamu harus bangun nak, kamu harus sadar sayang.”
Setelah saling membesuk Maula, kini keluarga itu duduk di ruang tunggu dengan pikiran mereka masing-masing.
“Aku berencana untuk memindahkan Maula kuliah di Indonesia, Pa, Ma. Setidaknya dia bisa dekat dengan keluarganya. Apa itu salah?” Leo dan Maureen menatap Rayden.
“Sudah kau bicarakan dengan Maula?” tanya Leo.
“Belum, ini hanya pikiranku saja.”
“Sabar dulu, Ray. Biarkan dia yang memilih, kuliah Maula juga hanya tiga tahun lagi.” Rayden tak menjawab, dia hanya menunduk dan memegangi kepala.
Archer datang sambil mendorong kursi roda milik Vanessa. Wanita itu sudah terlihat hampir pulih.
“Bagaimana Maula?” tanya Archer pada Rayden.
“Hanya menunggu kondisinya membaik, semoga saja dia segera membaik.” Mereka semua berharap dengan satu harapan yang sama.
...•••Bersambung•••...