Aku Raima Nur Fazluna, gadis yang baru saja menginjak usia 21 tahun. Menikah muda dengan Sahabat Kakakku sendiri yang sudah tertarik sejak awal pertemuan kita.
Namanya Furqan Hasbi, laki-laki yang usianya berbeda 5 tahun di atasku. Dia laki-laki yang sudah menyimpan perasaannya sejak masa sekolah dan berjanji pada dirinya sendiri akan menikahiku suatu saat nanti ketika dirinya sudah siap dan diantara kita belum ada yang menikah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chocoday, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29
Aku akan pergi setelah melambaikan tangan pada Aksara. Tangan Kak Furqan dengan cepat menahannya.
Aku langsung menepiskan tanganku darinya, "ada apa lagi sih?"
"Nur, Kakak mau bicara dulu sebentar sama kamu," pintanya.
"Kalau aku gak mau gimana? Belum cukup buat aku sakit sama kata-kata Kak Furqan tadi?" Tanyaku beruntun dengan wajah yang memerah.
Dia hanya terdiam mendengarnya, benar apa yang dikatakan olehku. Perkataannya tadi terlalu menyakitkan apalagi untuk seorang perempuan dan dipertontonkan di tengah banyak orang.
"Nur gak bakal ganggu Kak Furqan lagi, tenang aja! Setelah urusan Nur dengan penerbit selesai, Nur bakal balik lagi ke rumah," ucapku lalu pergi meninggalkan Kak Furqan.
Kak Furqan menghela napasnya panjang, dia hanya melihat punggungku yang menjauh darinya.
Laki-laki itu mengusak rambutnya kesal, dia berjalan dengan hampa keluar dari hotel. Duduk pada bangku taman yang tidak terlalu jauh dari sana.
Dia merogoh ponsel yang ada di saku celana, nampak wallpaper foto kita berdua saat di pantai dulu.
Senyumnya sedikit terbit dengan mata yang mulai membendung kekesalan dan kecewa dengan dirinya sendiri.
Panggilan masuk dari Bang Daffa di ponselnya muncul, "Daffa."
"Halo Daf,"
"Furqan, Lo udah ketemu sama Nur?" Tanyanya.
"Udah," jawaban singkat dari Kak Furqan dengan sedikit lesu.
"Kenapa Lo? Suara Lo kayak gak enak gitu,"
Dia menghela napasnya berat, "menurut Lo, Gw udah salah ya menjauh dari Nur?" Tanya Kak Furqan dengan keputusasaannya.
"Baru sadar Lo?"
"Daf... Gw serius,"
"Gw juga serius Furqan. Adik gw gak bakal kayak yang Lo khawatirkan, justru dengan Lo menjauh kepercayaannya akan berkurang sama Lo,"
"Contohnya sekarang, Gw baru sadar kalau Gw gak mau kehilangan Dia. Dia malah deket sama cowok yang baru dia kenal,"
Bang Daffa menautkan alisnya bingung, Dia sama sekali tidak tau tentang hal ini, "maksud Lo?"
"Lah Lo gak tau? Nur deket sama cowok di sini,"
"Gw belum dapet kabar lagi dari kemarin pagi loh!"
"Coba Lo tanyain deh! Gw agak takut aja Nur diapa-apain sama tuh orang,"
"Iya nanti Gw tanyain. Sekarang bahas Lo aja, maunya gimana sekarang?"
"Ya... Mau lanjutin seriusin adik lo. Cuman dianya udah marah sekarang,"
"Cobain aja terus, Gw yakin Nur simpen perasaan buat Lo,"
"Iya Gw gak bakal nyerah kok, udah dulu ya! Gw mau pulang ini,"
Bang Daffa langsung memutus panggilannya. Begitupun, Kak Furqan yang segera pulang dengan motornya.
Keesokan paginya,
Kak Furqan bahkan sudah terlihat di lobi hotel saat aku mencari sarapan. Dia kembali menahan tanganku untuk berbicara sebentar dengannya.
"Kak Furqan udah ya! Aku gak mau lagi bicara sama Kakak," kataku menegaskan.
Dia terus saja mengekori bahkan hingga duduk disamping saat aku membeli bubur untuk sarapan.
Setelahnya, dia langsung berdiri dan merogoh uang di saku celana, "Buburnya biar aku yang bayar."
"Gak usah, aku juga punya uang," ucapku langsung membayarnya dan pergi begitu saja.
Dia dengan cepat kembali menahan tanganku, "nur tunggu!"
"Apalagi sih Kak Furqan?"
"Aku mau minta maaf sama kamu," ungkapnya.
"Iya Nur maafin! Udah kan?"
Dia terdiam menatapku yang masih kesal dengannya.
"Nur, aku mau bicara sama kamu,"
Aku menghela napas lalu menoleh dengan memasang wajah ketus, "mau bicarain apalagi? Kita udah selesai kan?"
"Enggak Nur, aku tarik lagi kata-kata itu," ucapnya.
Aku mendecak kesal mendengarnya, "setelah Kak Furqan maki-maki aku? Bukannya aku wanita murahan kata Kak Furqan?"
Dia menggelengkan kepalanya cepat, "sama sekali bukan Nur. Itu semua karena aku gak mau kamu ngikutin aku terus," terangnya.
"Iya... Sekarang Nur udah setuju gak bakal ngikutin Kak Furqan lagi tapi apa sekarang? Kak Furqan yang ngikutin Nur, maunya apa?" Tanyaku beruntun.
"Semua yang aku ucapin kemarin bohong Nur," ujarnya dengan tatapan memelas.
"Udah lah, Nur gak mau ungkit yang lalu lagi. Kemarin ya kemarin, kita lupain aja semuanya," ucapku langsung pergi meninggalkan Kak Furqan.
Siangnya, Aku sudah setuju untuk bertemu penerbit melalui Aksara yang ternyata kerja di perusahaan terbit buku. Aksara mengirim alamat tempat dimana kita akan bertemu dengan staff penerbit.
Aku berangkat setelah siap dengan gamis dan kerudung. Tidak lupa dengan laptop dan beberapa catatan yang selalu ku bawa.
"Kok di hotel ya?" Gumamku merasa heran. Namun, aku segera menepis semua pikiran buruk karena berpikir Aksara tidak mungkin berbuat hal yang tidak baik.
Kak Furqan yang sejak tadi belum kembali, dia mengikuti dari jauh, "nur mau kemana itu?"
Aku masuk ke hotel yang tidak terlalu besar, sesuai dengan alamat yang diberikan Aksara.
"Permisi Mbak, kamar no.102 di sebelah mana ya?" Tanyaku pada staff lobi.
Staff lobi itu langsung menunjukkannya kepadaku. Aku mulai sedikit takut ketika berjalan di lorong kamar yang sangat berisik hingga terdengar keluar.
Sedikit ragu untuk mengetuk pintu kamarnya, tapi apa boleh buat. Aku harus bekerjasama dengan penerbit yang katanya tertarik dengan tulisanku.
Toktoktok....
"Masuk aja Nur! Gak dikunci kok," teriak Aksara dari dalam kamarnya.
Kenapa dia bisa seyakin itu kalau ini aku?
Aku mulai berpikir aneh, tapi berusaha untuk tetap tenang. Pintunya ku buka dengan perlahan.
Aksara terlihat sedang duduk di sofa tapi....
Dia sendirian?
Aku mulai melangkah masuk sedikit ragu menghampiri Aksara yang sejak tadi menatapku.
"Kok kamu sendiri? Penerbit yang mau di kenalin ke aku mana?" Tanyaku beruntun.
Dia tersenyum mendengarnya, laki-laki itu menepuk sofa di sampingnya, "sini duduk dulu aja!"
Tubuhku mulai bergetar sedikit takut, apalagi tatapan Aksara yang sedikit aneh membuatku sedikit risih melihatnya.
Aku duduk di sampingnya, laki-laki itu sedikit menggeser tubuhnya agar duduk tidak berjarak denganku.
Tangannya dengan santai merangkul bahu membuatku terkejut setengah mati.
"Kamu mau ngapain Aksara?" Tanyaku dengan nada bergetar.
"Santai aja Nur, kita akan bersenang-senang di sini sebelum penerbitnya datang," ujarnya dengan senyum misterius.
Tangannya bahkan dengan santai beralih merangkul pinggangku dari belakang. Aku langsung berdiri dengan wajah yang sudah berkeringat.
"Aksara sepertinya Aku berubah pikiran dengan hal itu. Aku batalkan janji temu hari ini," ucapku dengan napas yang tersendat-sendat.
Aksara menahan tanganku dengan cepat sebelum aku pergi, Dia membawaku ke kamarnya. Laki-laki itu mendorongku hingga tubuhku jatuh di atas kasur.
Tolong!
Aku merasa tidak tau lagi harus bagaimana selain berteriak. Dia mengunci pintu kamarnya, tangannya segera menutup mulutku yang terus berteriak.
Dengan susah payah aku menyingkirkan tangannya dari mulutku, "aku pikir kamu cowok baik-baik Aksara."
Dia tertawa jahat mendengarnya, "kamu pikir ada yang suka dengan cerita kamu yang monoton itu? Apalagi penerbit terkenal, kamu berpikir sampe sejauh mana Nur?"
merinding jadinya
jangan sampai thor kasihan si ica