Evan dipaksa menikah oleh ayahnya dengan Alya, gadis yang tidak dikenalnya. Dengan sangat terpaksa Evan menjalani pernikahan dengan gadis yang tidak dicintainya.
Evan mulai menjalani kehidupan rumah tangga bersama Alya. Perbedaan karakter dan pola pikir menjadi bumbu dalam pernikahan mereka.
Akankah pernikahan mereka berhasil? Atau mereka menyerah dan memilih untuk berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perang Gerilya
Mata Evan sedari tadi terus memandangi Alya yang masih membersihkan meja. Hari ini, selain reservasi makan siang, ternyata di malam hari pun banyak pengunjung yang datang. Alya harus memperpanjang masa tugasnya sampai selepas maghrib. Dia membantu pegawai lain menyiapkan meja untuk makan malam.
Seorang pria yang tengah menikmati kopinya, sedari tadi tidak melepaskan pandangan dari Alya. Sudah setengah jam yang lalu dia selesai dengan makannya. Namun masih enggan beranjak dari mejanya. Alasannya sudah pasti karena Alya. Pria itu masih betah memandangi wajah cantik Alya. Apa yang dilakukan pria itu tentu saja tak luput dari perhatian Evan.
Ketika Alya melintasi meja sang tamu, pria itu memanggil Alya. Mata Evan langsung memicing, berusaha melihat lebih jelas apa yang dilakukan tamu restoran tersebut. Nampak Alya menerima secarik kertas, memasukkan ke dalam saku apron, kemudian segera meninggalkan meja tersebut. Evan bergegas menuju sang istri yang berjalan ke dapur. Dihampirinya Alya yang sedang menaruh piring kotor ke dalam bak cuci.
“Al..”
“Iya, mas.”
“Udah selesai? Ayo kita pulang.”
“Iya, mas. Udah kok.”
Alya segera melepaskan apron yang dikenakannya, lalu menggantungnya di dekat bak cuci piring. Tangan Evan langsung merogoh saku yang ada di bagian depan. Dia berhasil mendapatkan secarik kertas yang tadi diterima istrinya. Dengan cepat dia membuka kertas tersebut. Ternyata isinya adalah sederet nomor ponsel.
“Ck.. hari ini banyak banget laki-laki gatel.”
“Kenapa, mas?”
“Ini.. lihat. Laki-laki tadi kasih kamu nomor hapenya, kan?”
“Udah biasa, mas. Aku sering dapet pas kerja di café bu Tania.”
“Terus, kamu kumpulin gitu nomornya di hape kamu?” nada Evan terdengar kesal. Direm*snya kertas di tangannya, lalu membuangnya ke tong sampah.
“Pulang yuk, mas. Aku capek dengar kamu marah-marah mulu dari tadi. Ayo pulang.”
Alya segera menarik tangan Evan. Sebelum meninggalkan café, terlebih dulu Alya berpamitan pada Fariz. Masih dengan wajah tertekuk, Evan memakaikan helm ke kepala sang istri. Lagi-lagi pria itu menjalankan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Pria itu baru menurunkan kecepatannya, ketika Alya mencubit pinggangnya.
Tak butuh waktu lama, keduanya sampai di rumah. Evan segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sebentar lagi adzan isya akan terdengar. Selesai mandi, dia segera mengenakan baju koko dan sarung, bersiap untuk shalat isya berjamaah.
☘️☘️☘️
Selepas menunaikan shalat isya berjamaah, Sastro mengajak semua warga yang mengikuti shalat berjamaah berkumpul dulu di masjid. Dia ingin membicarakan acara tujuh belasan yang akan berlangsung bulan depan. Mau tidak mau, Evan harus mengikuti jalannya rapat. Walau dia tidak sepenuhnya bisa berkonsentrasi.
“Buat lomba anak-anak enaknya apa, nih?” tanya Sastro.
“Seperti biasa, pak. Lomba makan kerupuk, lomba kelereng, masukin paku ke botol, lomba balap karung,” jawab Peppy, anak dari Sarpinah. Pemilik rumah di mana Evan mengontrak.
“Lomba balap karungnya pake helm, kan seru tuh. Jadi anaknya dimasukkin ke karung, posisi jongkok. Kaya tahun kemarin,” timpal Rino.
“Nah boleh juga.”
“Kalau buat ibu-ibunya gimana?” tanya Sastro lagi.
“Buat ibu-ibunya, ada lomba mindahin tepung pake piring, jadi nanti dibikin grup. Satu grup empat orang. Terus lomba lari pake sarung. Satu sarung isinya tiga orang. Buat perorangan, lomba masukin benang ke jarum.”
“Masukin benangnya sambil goyang dangdut, biar seru. Pake musik juga.”
Evan yang sedari tadi diam, akhirnya memberikan usulan juga. Peppy setuju dengan usulan Evan. Pasti lomba ini akan seru. Untuk ukuran ibu-ibu, tentu cukup sulit memasukkan benang ke lubang jarum karena mata mereka yang mulai kurang awas. Apalagi jika ditambah tubuhnya harus bergoyang dangdut.
“Kalau lomba pasangan ada, ngga?” tanya Rino.
“Adain aja. Lomba joged, biasanya kan pake balon. Sekarang ganti pake jeruk. Itu jeruk jangan sampe jatuh kalau mau juara. Yang paling lama bertahan, dia yang menang.”
“Lomba masak estafet. Jadi nanti suami istri gantian masak, bahannya ditentuin sama kita,” timpal Evan.
“Nah boleh tuh.”
Rapat berjalan semakin seru. Evan yang awalnya ogah-ogahan, jadi ikut bersemangat juga. Dia bahkan memberikan usulan game lain yang bisa ditampilkan. Pria itu terlihat antusias, karena baru kali ini terlibat dalam kepanitiaan tujuh belas Agustus.
“Lomba panjat pinang mau ada ngga?” tanya Sastro.
“Adain dong, pak. Tapi ada syaratnya, bapak-bapak yang ikutan harus pake daster pas lomba panjat pinang.”
“Waduh gawat, tar kolor saya diintipin ibu-ibu yang nonton,” sahut Rusdi.
“Hahahaha.. ngga apa-apa, pak. Anggap aja amal jariyah.”
Semua tertawa mendengar celetukan Rino. Evan yang mengusulkan hal tersebut pun tak bisa menahan tawanya. Dia sudah membayangkan pak Rusdi, dengan perut sedikit buncit memakai daster bu Tuti, lalu memanjat tiang dan di bawahnya bu Wati siap mengintip.
“Ok deh.. buat susuan acara, lomba sama hadiahnya kita serahkan pada yang muda-muda. Mas Evan, Peppy sama Rino siap ya?”
“Siap, pak,” jawab ketiganya kompak.
Setelah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Sastro mempersilahkan warga yang lain kembali ke rumah masing-masing. Tanpa menunggu lama, Evan segera meninggalkan masjid. Dia harus segera tiba di rumah. Mengisi tenaga dengan makan malam, untuk selanjutnya menyambung kegiatan tadi pagi yang sempat tertunda.
Di rumah, Alya sudah selesai menyiapkan makan malam untuk mereka. Sepulang dari café, dia langsung memasak untuk makan malam mereka. Hanya dua macam saja, tumis kangkung dan pepes ikan patin. Begitu Alya selesai shalat isya, pepes ikan patinnya juga sudah matang. Gadis itu membawa nasi, lauk dan piring ke meja depan.
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Evan masuk ke dalam rumah setelah rapat tujuh belasan selesai. Matanya langsung tertuju pada masakan di atas meja. Aroma pepes ikan yang harum langsung masuk ke indra penciumannya. Pria itu bergegas masuk ke kamar untuk berganti pakaian. Tak lama kemudian, dia keluar mengenakan kaos oblong dan celana bokser selutut.
“Makan dulu, mas,” ajak Alya.
Dengan cepat Alya mengambilkan nasi, tumis kangkung dan pepes ikan patin untuk suaminya. Harum bumbu kuning dan daun kemangi beserta sereh, salam dan laja langsung menguar ketika Alya membuka bungkus pepes. Tanpa menunggu lama, Evan langsung melahap makanan buatan istrinya.
Senyum Alya mengembang ketika Evan mengacungkan jempol tangannya. Kemampuan memasak Alya memang sudah tidak perlu diragukan lagi. Sejak kecil dia memang sudah diajarkan hidup mandiri. Mencuci, menyetrika, membereskan rumah, termasuk memasak sudah dipelajarinya. Tentu saja Titin yang mengajari gadis itu. Dan sekarang Evan yang menikmati hasilnya.
“Tumben lama, pulang dari masjidnya.”
“Tadi rapat buat acara tujuh belas Agustus dulu. Aku, Peppy sama Rino disuruh bentuk kepanitiaan.”
“Wah pasti rame ya, mas.”
“Iya, lombanya banyak juga. Pokoknya bakalan seru deh.”
“Aku juga mau ikutan, ah.”
“Ada lomba buat pasutri juga. Nanti kita ikut aja. Lomba dansa pake jeruk. Jadi jeruknya ditahan pake kening kita, sampai lagu beres jangan sampe jatuh.”
“Waduh, mas kan tinggi. Susah dong nantinya.”
“Gampanglah. Lagian kamu juga ngga pendek-pendek amat. Coba kamu lihat bu Wati sama suaminya.”
“Iya juga, ya.”
Tinggi antara Wati memang jauh berbeda. Tubuh wati tingginya tidak sampai 150 cm, mungkin hanya 147 cm. Sedang suaminya bertubuh kurus, tinggi menjulang. Tingginya mencapai 180 cm. Pasti mereka akan kesulitan kalau melakukan lomba dansa.
Tak terasa acara makan malam mereka yang diselingi perbincangan selesai juga. Evan membantu Alya mencuci peralatan bekas makan. Setelahnya, mereka menonton televisi, sambil menurunkan makanan yang mereka konsumsi tadi. Evan menarik bahu Alya, hingga posisi mereka berdekatan.
“Mas.. ujian saringan masuknya dua hari lagi. Kira-kira aku bisa ngga, ya? Kan udah lewat setahun, aku takutnya banyak yang lupa pelajarannya.”
“Ngga usah takut. Nanti aku bantu kamu belajar. Besok aku beli buku latihan soal, supaya kamu bisa belajar buat persiapan.”
“Makasih ya, mas.”
“Makasihnya pake cara lain aja.”
“Kaya gimana?”
Evan menunjuk pipi sebelah kanan dengan telunjuknya. Malu-malu Alya mendaratkan ciuman di pipi suaminya. Kemudian Evan kembali menunjuk pipi sebelah kiri, lagi-lagi Alya menuruti keinginan sang suami. Pria itu lalu menunjuk bibirnya. Kepala Alya menggeleng, tapi Evan terus menunjuknya.
Perlahan Alya mendekatkan wajahnya, lalu menempelkan bibirnya di bibir sang suami. Begitu kedua bibir yang kenyal seperti yupi bertemu, Evan langsung menahan tengkuk Alya agar ciumannya tidak terlepas. Pria itu segera memainkan bibirnya, memagut dan mel*mat bibir istrinya.
Alya berusaha melepaskan diri dari sergapan sang suami, namun usahanya sia-sia. Tenaga Evan lebih besar darinya. Akhirnya dia pasrah saja mengikuti permainan Evan dan mulai membalas ciumannya. Begitu Alya mulai membalas, suasana di antara mereka jadi semakin panas. Posisi keduanya semakin intim saja.
Kini Alya sudah berada di atas pangkuan Evan. Kedua tangannya sudah bertengger cantik di leher suaminya. Gadis itu sudah tidak malu-malu lagi seperti tadi. Tangan Evan mulai bergerilya, mengusap punggung Alya, menelusup ke balik kaos yang dikenakannya dan menyusuri kulit lembut nan halus.
TOK
TOK
TOK
“Assalamu’alaikum”
Ciuman keduanya sontak berakhir begitu mendengar suara ketukan pintu disusul suara seseorang memberikan salam. Lagi-lagi bu Tuti yang mengganggu kesenangan mereka. Dengan kesal Evan menurunkan Alya dari pangkuannya.
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam,” jawab Alya.
Sebelum membukakan pintu, terlebih dahulu Alya merapihkan pakaian dan rambutnya. Evan bergegas masuk ke kamar untuk mengambilkan hijab instan istrinya, kemudian memilih berdiam diri di kamar. Setelah memakai hijabnya, barulah Alya membukakan pintu. Nampak Tuti, Wati, Salma, Endang dan Susi sudah berdiri di depannya.
“Kita ganggu ngga, nih?” tanya Salma.
“Ngga, bu. Tadi lagi tanggung, maaf lama buka pintunya.”
“Tanggung apa nih?” tanya Tuti menyelidik.
“Beresin bekas makan, bu.”
Alya terpaksa berbohong. Mana mungkin dia mengatakan kalau sedang beradu bibir dengan suaminya ketika para ibu pengganggu ini datang. Gadis itu segera mempersilahkan tamunya untuk masuk.
“Mau minum apa, bu?”
“Ngga usah repot-repot. Sini duduk,” ajak Salma.
Alya segera mendudukkan diri di dekat Salma. Gadis itu jadi bertanya-tanya, apa yang mereka lakukan datang ke kediamannya secara keroyokan seperti ini. Sebagai warga baru, gadis itu cemas, apa ada kesalahan yang dilakukannya.
“Gini loh, Al.. kita ke sini mau bahas soal acara Jum’at berkah. Tiap hari Jum’at, kita selalu bergantian masak buat jamaah shalat Jum’at. Nah buat minggu ini, giliran blok kita.”
“Oh gitu. Rencananya kita mau masak apa, bu? Kebetulan waktu saya udah senggang sekarang.”
“Alya udah ngga kerja lagi?”
“Iya, bu. In Syaa Allah, saya mau kuliah.”
“Alhamdulillah. Selamat ya, Al.”
Hanya anggukan kepala yang diberikan Alya. Para wanita itu kemudian mulai membahas apa yang akan mereka masak untuk hari Jum’at nanti. Walau masih tiga hari lagi, tapi semuanya harus dipersiapkan dengan baik.
“Kita masak yang murah meriah tapi lezat dan mengenyangkan,” usul Tuti.
“Apa tuh?” tanya Salma.
“Sayur asem, tempe dan tahu goreng, ikan asin dan sambal. Mantul tuh pasti,” jawab Tuti.
“Nah benar itu. Sederhana tapi menggugah selera.”
“Biar saya yang buat sayur asem sama sambalnya,” usul Alya.
“Tempe dan tahu goreng, biar jadi urusan saya,” sahut Wati.
“Saya, ikan asinnya aja. Mau ikan asin apa?”
“Enaknya sepat kalau makan sama sayur asem,” sambung Susi.
“Sepat sama selar aja. Tapi selarnya ditepung bu, kaya yang waktu itu ibu buat,” ucap Wati.
“Oh yang pake tepung beras sama terigu ya. Oke deh.”
“Saya bawa nasi dan puding aja buat cuci mulutnya,” lanjut Salma.
Semua menganggukkan kepalanya tanda setuju. Endang pun berinisiatif membawa buah sebagai menu pelengkap. Dia akan membawa jeruk Pontianak. Suaminya mendapat oleh-oleh jeruk Pontianak cukup banyak dari teman sekantornya.
“Lah saya bawa apa dong?” tanya Susi.
“Ibu bawa jajanan pasar aja. Kan yang shalat Jum’at ada anak-anak juga. Mereka kan jarang makan, lebih suka ngemil.”
“Ya sudah, kalau gitu saya buat risoles sama kue talam aja.”
“Bu Rita mau bawa donat katanya.”
“Alhamdulillah banyak yang mau nyumbang. Mudah-mudahan jadi amal ibadah buat kita, aamiin..”
“Aamiin..”
Dari dalam kamar, Evan mendengarkan percakapan para ibu yang sedang berkumpul itu. Pria itu bersyukur, pembicaraan tidak berlangsung lama. Dia akan langsung mengajak Alya masuk ke dalam kamar nantinya. Namun ternyata harapan Evan tidak menjadi kenyataan. Setelah diskusi menu untuk Jum’at berkah selesai, pembicaraan menyambung ke arah lain.
“Haaiisshh.. nih ibu-ibu kapan baliknya sih. Ampun deh..” rutuk Evan.
Tak terasa sudah setengah jam lebih para ibu itu masih betah berkumpul di kediaman Evan. Mata pria itu melihat jam digital di ponselnya. Waktu menunjukkan pukul sembilan lebih sepuluh menit. Dia mengusak rambutnya dengan kesal. Dari hasil pantauan telinganya, sepertinya mereka masih belum ada niatan untuk pergi.
“Oh iya, mumpung di sini. Nanti bantu-bantu panitia tujuh belas Agustus ya, Al. Kita kebagian nyiapin kado,” ujar Salma.
“Iya, bu. Tenang aja.”
“Biasanya untuk tujuh belasan kita suka dapet endorse dari pak Irawan. Rumahnya di luar kompleks ini, tapi dia itu dermawan banget. Suka nyumbang buat lingkungan sekitar.”
“Iya, istrinya juga baik banget. Nanti kapan-kapan kita kenalin,” sambung Tuti.
“Eh udah malam ini. Ayo kita pulang, kasihan Alya, pasti mau istirahat.”
Tanpa sengaja mata Endang melihat jam yang tergantung di dinding. Sudah hampir jam setengah sepuluh malam. Kelima wanita itu segera bangun dari duduknya, bersiap untuk pergi. Alya berdiri untuk mengantarkan tamunya sampai ke pintu pagar. Kelima wanita itu langsung bubar jalan setelah keluar dari kediaman Alya.
Karena sudah malam, Alya langsung menggembok pintu pagar. Dia masuk ke dalam rumah lalu mengunci pintu. Tak lupa mematikan lampu ruang depan. Gadis itu lebih dulu ke kamar mandi untuk menggosok gigi dan mencuci muka, kemudian segera masuk ke dalam kamar. Nampak Evan sedang duduk menyender ke headboard ranjang sambil memainkan ponselnya.
“Udah selesai rapatnya?” tanya Evan tanpa melepaskan pandangan dari benda pipih miliknya.
“Udah, mas.”
Sebelum naik ke atas ranjang, Alya lebih dulu memakai krim malamnya. Evan segera menghentikan aktivitasnya. Pria itu bergegas menuju kamar mandi untuk menggosok giginya. Dia nampak bersemangat sekali. Bagaimana pun juga, malam ini jangan sampai gagal lagi.
Usai menggosok giginya, Evan kembali ke kamarnya. Alya sudah menunggunya di atas ranjang. Pria itu segera naik ke atasnya, lalu membaringkan diri di samping sang istri. Alya merubah posisinya menjadi menyamping.
“Mas.. buat hari Jum’at nanti, aku bakalan masak buat acara Jum’at berkah.”
“Terus?”
“Aku kebagian masak sayur asem. Mas suka kan, sayur asem?”
Belum ada jawaban dari Evan. Tangan pria itu menarik pinggang Alya, hingga tubuh mereka merapat. Bibirnya mulai bergerak menciumi wajah sang istri, mulai dari kening, mata, hidung, pipi, bibir hingga area leher.
“Euugghh.. mas suka sayur asem, ngga?”
“Hem..”
Hanya itu saja yang keluar dari mulut Evan. Pria itu terlalu sibuk menelusuri tubuh sang istri dengan bibirnya. Jangan lupakan tangannya yang mulai bergerilya, menelusup masuk ke dalam kaos Alya. Mengusap lembut kulit halusnya. Tubuh Alya mulai tak enak diam.
“Be.. sok mau sa.. rapan a..p. pa, mas?”
Alya mulai kesulitan berbicara karena pergerakan sang suami. Tangan Evan diam-diam merayap, mengelus, meraba dan meremat bulatan kenyal istrinya yang masih terbungkus rapih. Bukannya menjawab pertanyaan Alya, pria itu justru membalasnya dengan ciuman di bibir. Dia akan membuai Alya dengan sapuan bibir dan lidahnya, agar misinya terlaksana malam ini.
“Euugghh..”
Lagi terdengar lenguhan Alya, ketika Evan terus memberikan rangsangan dengan sentuhan tangan dan pagutan bibirnya. Kesadaran Alya mulai berhamburan. Gadis itu benar-benar terbuai dengan apa yang dilakukan suaminya. Melihat itu, tentu saja membuat Evan semakin bersemangat. Kini posisinya sudah berada di atas Alya.
Keduanya sama-sama sudah terbakar gairah. Perang gerilya yang Evan lancarkan semakin hebat saja dan berhasil memporak porandakan pertahanan Alya. Bahkan gadis itu tidak sadar kalau Evan sudah berhasil melepaskan pakaian yang melekat di tubuhnya. Kini tangan itu sudah membebaskan penutup gunung kembar sang istri.
Kembali Evan memperagakan gerakan diam-diam merayap, tangannya mengusap dengan lembut bulatan kenyal itu, merematnya perlahan, kemudian, haap.. langsung dilahapnya bulatan itu yang ukurannya terasa pas, tidak kecil dan juga tidak besar. Alya semakin dibuat tak enak diam. Tubuhnya bergerak tak tentu arah, merasakan sensasi perang gerilya sang suami.
Efek diam-diam merayap juga berpengaruh pada Evan. Suhu tubuh pria itu mulai naik. Udara di sekitarnya terasa lebih panas. Dia pun segera melepaskan kaos yang dikenakannya, lalu membuangnya asal. Tak sampai di sana, Evan melepaskan juga bokser yang dikenakannya. Kini hanya menyisakan segititiga bermuda warna hitam.
Jantung Alya berdetak tak karuan melihat tubuh di hadapannya. Dia kembali teringat saat pertama kali melihat tubuh polos Evan. Hanya saja kali ini terong milik pria itu masih terbungkus rapat. Evan menjatuhkan dirinya kembali di atas Alya, kemudian melanjutkan perang gerilyanya. Kini tangannya sudah bergerak melepaskan segitiga pengaman sang istri.
Hasrat Evan semakin membuncah melihat lembah sempit yang begitu indah. Dia pun melepaskan segitiga bermuda miliknya. Matanya menatap lurus pada Alya yang tengah memandangi senjata andalannya, terong ungu dengan ukuran besar dan panjang. Ukurannya melebihi terong made in Indonesia.
Perlahan namun pasti, Evan mulai mengarahkan terongnya pada keranjang belanjaan Alya yang sudah terbuka. Alya mengigit bibirnya, menunggu detik-detik terong suaminya masuk ke dalam keranjang belanjaannya. Matanya terpejam ketika terong itu berusaha masuk. Karena lubang masuknya masih sempit, terong itu terpaksa ditarik keluar lagi.
Dengan semangat juang tinggi, Evan terus berusaha memasukkan terong ke dalam keranjang belanjaan. Setelah tiga kali keluar masuk, untuk upaya keempatnya ini, dia memberikan dorongan penuh, full speed, hingga akhirnya terong ungunya bisa masuk ke dalam keranjang belanjaan Alya.
Alya nampak meringis setelah terong berhasil masuk, berbeda dengan Evan yang terlihat lega. Tahu rasa sakit yang mendera istrinya, Evan berusaha mengeliminisir rasa sakit itu dengan memberikan ciuman dan sentuhan gerilya lagi. Ternyata apa yang dilakukannya berhasil. Dengan gerakan pelan, dia mulai memainkan terong ungunya.
Sebagai pemula yang baru merasakan nikmatnya bercinta, tentu saja tak butuh waktu lama bagi keduanya untuk sampai pada puncaknya. Setelah Alya berhasil dibuat puas sampai tubuhnya bergetar, kini giliran Evan yang merasakan kepuasannya. Terong ungunya yang masih berada di keranjang belanjaan, sekarang sudah dibasahi santan kental. Pria itu nampak puas, pening di kepalanya seketika hilang, berganti dengan kenikmatan yang tiada tara.
☘️☘️☘️
Dah lunas ya, Van.. Udah ngga pening lagi😂
Alya tidak tahu itu - jadi bikin Alya merasa diabaikan - tak di sayang ayahnya.
Gak jadi kabur Bro - jadi menikah nih /Facepalm/