Seorang bocah ikut masuk dalam mobil online yang di pesan Luna tanpa ia sadari karena mengantuk. Setelah tahu bahwa ada bocah di sampingnya, Luna ingin segera memulangkan bocah itu, tapi karena kalimat bocah itu begitu memilukan, Luna memilih merawat bocah itu beberapa hari.
Namun ternyata pilihannya merawat bocah ini sementara, membawa dampak yang hebat. Termasuk membuatnya berurusan dengan polisi bahkan CEO tempatnya bekerja.
Bagaimana kisah Luna membersihkan namanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lady vermouth, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 29
Rumah sakit.
Ian di larikan ke rumah sakit. Ternyata pria ini terkena vertigo. Trauma karena kehilangan istrinya kembali mencuat tiba-tiba hingga membuat rasa pusing yang dahsyat.
Naura sedang duduk di samping ranjang. Sementara Luna yang di telepon Danar, menemani Elio di luar.
"Papa kemana, Tante?" tanya Elio sambil memeluk Luna.
"Papa sedang istirahat. Jadi kamu sama Tante,” jawab Luna. Saat ini mereka berdua sedang berada di taman rumah sakit.
"Papa tadi memang kelihatan kesakitan. Apa papa mau di suntik?" tanya Elio.
"Iya. Papa memang mau di suntik biar sembuh. Jadi kita tunggu di sini saja," kata Luna menangkan. Luna sengaja tidak membawa bocah ini ke kamar Ian. Jadi hanya bermain-main di lorong.
Saat itu ponsel Luna berdering.
"Dimana kamu?” tanya Danar di seberang.
“Di taman rumah sakit,” sahut Luna seraya melihat ke arah Elio.
“Pak Ian sudah mulai baikan. Beliau menyuruh kalian masuk," kata Danar.
"Ya. Baik." Luna menutup ponselnya. "Sekarang papa Elio sudah selesai di suntik. Jadi kita bisa melihatnya." Luna membawa kabar bagus untuk bocah ini.
"Benarkah? Jadi aku bisa lihat papa?" Bocah itu tampak bahagia.
"Betul sekali. Ayo!"
...***...
"Papa!!" teriak Elio saat tiba di ambang pintu kamar perawatan. Luna membiarkan anak itu berlari ke arah ranjang. Naura yang berada di pinggir ranjang ingin menangkap bocah itu dalam pelukan, tapi entah kenapa bocah itu justru berbelok dan berganti ke arah Yuda yang ada di sisi ranjang lainnya.
Naura terkejut. Dia sudah berpikir kalau bocah ini menuju ke arahnya. Segera Naura berpura-pura melakukan hal lain agar tidak terlalu mencolok kalau dia di abaikan. Luna mengerjapkan mata berpura-pura tidak melihat itu.
"Mau lihat papa?" tawar Yuda ketika bocah itu mendekat ke arahnya.
"Iya." Elio mengangguk. Yuda menggendong bocah itu dan mendudukkan bocah itu pada tepi ranjang. Elio mencoba memeluk papanya. "Papa tidak menangis?" tanya Elio membuat Ian heran.
Luna melirik.
"Tidak. Kenapa?" tanya Ian tidak paham.
"Kata Tante Luna papa di suntik. Jadi aku harus kuat karena tidak ada lagi yang melindungi papa, kalau papa menangis." Semua orang melihat ke arah Luna bersamaan.
Perempuan ini sibuk menggaruk tengkuknya karena salah tingkah.
"Tidak. Papa tidak menangis. Jadi Elio tadi tidak menangis?" tanya Ian mengerti.
"Tidak."
"Bagus. Kalau begitu anak papa, sangat pintar," puji Ian.
"Benar! Aku anak papa yang pintar!" Elio menyuarakan kebahagiaannya karena di puji. Luna tersenyum puas akhirnya. Karena setelah itu, pembicaraan soal Ian yang menangis tidak ada. "Kapan kita pulang?" tanya Elio. Bocah ini sepertinya lelah.
“Biarkan aku yang mengantar Luna pulang. Juga sekalian membawa Elio agar bersama bibi pengasuh,” kata Yuda menawarkan diri.
Luna menoleh. Dia berharap tidak.
“Kamu mau mengantarkannya?” Tanya Naura seakan tidak percaya.
“Ya.”
“Ya. Lagipula jalan rumah ku searah dengan rumah Ian. Jadi Danar bisa tetap di sini jika Ian membutuhkan," kata Yuda pada Naura.
"Oh, tidak. Saya bisa pulang sendiri." Luna menolak terang-terangan.
"Jangan sungkan. Kita sejalan. Aku bisa mengantarkan Elio pulang kan, Ian?" Yuda sengaja bertanya pada Ian karena Luna adalah bawahan Ian.
Luna berharap tidak. Masih.
"Ya."
Oh, tidak. Luna menggerutu. Ternyata Ian mengijinkan.
"Asyiiik! Jadi Tante Luna dan Om Yudha yang akan mengantar aku pulang.” Tampaknya itu membuat Elio kegirangan. Luna jadi kasihan jika menolak. Mereka pun pulang bersama.
...***...
Di dalam mobil, Elio mulai tertidur. Yudha melihat ke samping. Awalnya Luna menolak duduk di depan, tapi Elio ingin dekat dengan Yudha. Akhirnya Luna menyetujui keinginan bocah ini.
"Dia tertidur," kata Yuda. Luna tidak menjawab. Hanya menunduk melihat pada wajah bocah keriting di dalam pangkuannya. "Kamu sudah menikah?"
"Kenapa?" tanya Luna tidak suka.
"Hanya bertanya."
"Aku tidak suka di tanya," jawab Luna ketus. Yuda tersenyum.
"Kamu pasti masih marah karena aku menghilang waktu itu." Yuda kembali mengingatkan kejadian waktu lalu. Luna memutar matanya dengan malas. Perempuan ini enggan membicarakan kejadian itu.
Setelah memulangkan Elio, Yuda mengantarkan Luna pulang. Dengan memberikan petunjuk pada pria ini, akhirnya mereka tiba di depan pagar rumah Bi Muti.
"Kamu tinggal di sini?" tanya Yuda saat mereka sudah turun dari mobil.
"Ya."
"Akhirnya aku justru tahu rumah kamu sekarang. Dulu kan kita hanya ketemu di lapangan basket," kata Yuda sembari tersenyum. Kepala Luna mengangguk saja mendengar ocehan Yuda.
"Terima kasih sudah mengantarkan. Aku mau masuk dulu," kata Luna tanpa basa-basi. Perempuan ini langsung berjalan menjauh.
"Tidak ada tawaran minum kopi atau sebagainya, Lun?" tanya Yuda. Luna menghentikan langkahnya dan membalikkan badan.
"Tidak," sahut Luna cepat.
Yuda tergelak. "Kamu tegas sekali saat mengatakannya."
"Ya. Aku lelah. Jadi aku mau istirahat," ujar Luna sambil memijit pundaknya.
"Baiklah. Istirahat yang nyaman Luna. Sekarang kita tidak bisa bicara dengan tenang. Mungkin nanti. Karena sepertinya kita akan sering bertemu," kata Yuda seperti yakin Luna mau bicara banyak dengannya.
"Permisi." Luna tidak menyahuti kalimat Yuda. Ia berbalik dan segera masuk ke halaman rumah.
...***...
Di ranjang rumah sakit.
Ian memegangi kepalanya. Rasa sakit tadi masih di ingatnya. Pria ini menghela napas.
"Sakit ini makin menjadi. Seakan-akan ingin menghancurkan ku," gumam Ian seraya memejamkan matanya. Kemudian ia membuka mata dan menatap langit-langit rumah sakit.
Krek! Suara pintu di buka seseorang terdengar. Ian menoleh ke arah pintu. Itu Danar.
"Saya sudah menelepon bibi pengasuh. Elio sudah tidur," kata Danar memberikan laporan.
"Lalu Luna?" tanya Ian.
"Luna juga sudah sampai di rumah sejak tadi, Pak," jelas Danar.
"Syukurlah mereka sudah sampai di rumah."
Danar mengangguk mendengar ucapan Ian.
"Lalu ... Soal Nona Naura, Pak?" tanya Danar yang sejak tadi penasaran.
"Naura? Kenapa dengan dia?" Ian justru bertanya balik.
"Anda tidak menanyakannya. Bahkan Anda meminta saya tetap di sini setelah menyuruh Nona Naura pulang," jelas Danar cukup hati-hati.
"Hhh ..." Ian menghela napas. Danar sering melihat pria ini kelelahan dan lesu sekarang. Jika di bandingkan saat masih ada istrinya dahulu, begitu jauh berbeda. Padahal Pak Ian adalah pria tegas dan dingin saat di depan orang lain. Namun dia akan menjadi lembut dan penuh perhatian saat bersama istrinya. "Aku sengaja ingin menjauhkan Naura dari sisiku, Danar," ujar Ian mulai jujur.
"Menjauhkan? Ada apa?” tanya Danar tidak mengerti. Sebagai tangan kanan Ian, pria ini tahu bagaimana kisah di balik hubungan atasannya ini dengan model cantik itu. Ya, itu karena sebuah wasiat. Terdengar tidak masuk akal, tapi Danar percaya itu terjadi. Karena semuanya di lakukan Ian demi istri tercintanya.
..._______...