Gimana jadinya gadis bebas masuk ke pesantren?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jebakan Untuk Arabella
...BAB 28...
...JEBAKAN UNTUK ARABELLA...
Namanya Rani. Santri kelas akhir yang dikenal pendiam, rajin dan jarang bersuara. Yups sebuah profil yang bagus dan sempurna untuk seorang ‘mata-mata’. Itulah kenapa Ustadzah Halimah mempercayakannya tugas khusus mengawasi Arabella.
Setelah adegan menguping malam itu dari balik pintu, Rani menyusup keluar dengan langkah ringan. Dia menuju ruang guru yang sudah sepi, kecuali cahaya samar dari balik tirai jendela. Yang ternyata di dalamnya ada Ustadzah Halimah yang sedang duduk di kursi kayu panjang, bersama Ustadzah Rahmah yang masih gelisah.
Rani mengetuk pintu pelan dan membuka pintu ruangan itu.
“Ada laporan, Ustadzah.”
“Cepat katakan!” ucap Ustadzah Halimah tegas.
Rani melangkah pelan ke depan, lalu menyerahkan catatan kecil. “Ini, saya mencatat beberapa hal dari percakapan mereka di dalam kamar. Intinya... Arabella tidak terguncang sama sekali. Bahkan, dia menganggap fitnah tadi justru mempermalukan ustadzah-ustadzah sendiri.”
“Kurang ajar!” ucap Ustadzah Rahmah menegang.
“Dia juga bilang kalau punya pelet, dari dulu dia udah punya tujuh suami,” kata Rani polos, mengulang ucapan Arabella.
Ustadzah Halimah mengerutkan kening, matanya menggelap. “Gadis itu benar-benar menjadikan semua ini lelucon...”
“Tapi—“ lanjut Rani, “Teman-temannya sangat mendukung. Mereka menyebut tindakan ustadzah sebagai dendam dan iri. Bahkan mereka merasa semua ini sudah masuk tahap membahayakan.”
Ustadzah Halimah menoleh kearah jendela, rahangnya mengeras. “Kalau terus dibiarkan, semua bisa balik lagi ke kita...”
Ustadzah Rahmah menggigit bibir. “Apa kita lanjutkan rencana berikutnya?”
Rani menunduk. “Maaf, tapi saya rasa... Arabella bukan lawan yang bisa ditaklukan dengan cara biasa.”
Ustadzah Halimah menatap Rani tajam. “Apa maksud kamu?!”
Rani menghela napas pelan, lalu bicara lirih, “Dia memang jail dan absurd, tapi dia juga cerdas. Dan lebih penting... dia tidak sendirian. Banyak yang menyukainya, banyak yang membelanya. Termasuk orang-orang yang tidak bisa ustadzah lawan dengan mudah.”
Diam... Ketegangan terasa menyesakkan ruang sempit itu. Ustadzah Halimah menggenggam catatan dari Rani. Lalu matanya melirik ke jendela, ke arah bangunan asrama yang remang.
“kalau begitu... kita harus pastikan dia melakukan kesalahan yang tak bisa dimaafkan,” gumamnya pelan, hampir seperti doa kelam.
Ustadzah Rahmah mengangguk pelan, matanya membara oleh kecemburuan yang semakin tak bisa dikendalikan. Dan Rani... hanya berdiri disana. Diam. Tak tau apakah yang dia lakukan benar atau salah, tapi untuk pertama kalinya dia merasa kalau dia sedang menanam bom waktu.
Malam itu, ketika Arabella sedang tertawa bersama Dina, Elis dan Sari di kamar, sebenarnya dia sudah menyadari sesuatu. Meski matanya menatap langit-langit dan bibirnya sibuk melet-melet, ekor matanya menangkap siluet bayangan di balik pintu. Dan dia tau ada yang menguping pembicaraan mereka.
Dan Arabella bukan tipe orang yang membiarkan ancaman mengendap terlalu lama.
Ck... awas aja, besok kalo ketemu, bakalan gue tangkep tu orang!
Keesokan paginya langit di pondok pesantren sangat cerah, tapi suasana disana agak tegang. Ustadzah Rahmah dan Halimah akan mulai proses pembinaan atas kasus fitnah kemarin. Tapi, tentu saja... dua orang itu tidak akan menyerah semudah itu.
“Rencana berikutnya harus berhasil,” bisik Ustadzah Halimah.
Sekenarionya sederhana : Jebak Arabella di ruang kosong belakang aula, lalu hadirkan beberapa santri putri sebagai saksi, tangkap basah dia bersama seorang santri putra yang sudah “diperalat”. Lalu? Booom. Nama Arabella hancur total. Tidak ada yang bisa membela.
Tapi...
Semesta memang selalu punya selera humor. Arabella yang berniat mengambil buku catatannya di ruang belakang justru dicegat oleh tiga makhluk yang tidak kalah ngeselin dari rencana jebakan. Ya... siapa lagi kalau bukan Devan, Balwa dan Balwi.
“Astaga! Trio tuyul itu nyangkut lagi,” dengus Arabella malas.
“Woy Bella, lo mu kemana? Kok buru-buru amat?! Pura-pura rajin ya, padahal pasti mau nyolong makanan di dapur kan?” ejek Balwi.
“Jangan-jangan lo lagi mau nyari tempat buat nunggu pangeran pelet, ya?” tambah Balwa.
Sedangkan Devan hanya nyengir. Tapi sial bagi mereka, hari itu mood Arabella sedang setipis tissue.
“Ck... Gue serang duluan atau kalian kabur duluan?” tanya Arabella sambil menggulung lengan baju.
Dan reflek. Ketiganya langsung lari tunggang langgang, sambil berteriak panik.
“AMPUUUNNN BELLA SI BARBAR DAN ABSURD DATENG!!!” teriak heboh ketiganya.
Mereka cerai berai mencari tempat untuk bersembunyi. Dan sialnya, Balwa memilih ruangan yang sama dengan ruangan yang disiapkan untuk menjebak Arabella. Dengan wajah panik, Balwa nyelonong masuk ke ruangan itu dan langsung bertatapan dengan santri putra yang sedang duduk sendirian, menunggu ‘target’ jebakan.
Mereka berdua pun saling pandang.
“Lo siapa?” tanya Balwa.
“Eh... lo yang siapa?” tanya santri putra itu balik kearah Balwa.
Tiba-tiba....
BRAAAAAKKKK!!!
Pintu ruangan didobrak dengan dramatis. Ustadzah Rahmah dan Halimah masuk dengan para santri putri sebagai “saksi”. Wajah mereka semangat, siap melihat “aib Arabella” dengan sorot mata yang haus akan kemenangan.
Tapi... ternyata yang mereka temukan adalah... Balwa dan si santri cowok yang sedang duduk berhadapan sambil memegang gorengan dan minuman.
“Loh?” gumam salah satu santri putri sambil melongo.
Ustadzah Rahmah pucat. Dan Ustadzah Halimah nyaris pingsan.
“MANA ARABELLA?!” bentak Rahmah panik.
Balwa mendongak, masih sambil mengunyah. “Hah? Bella? Dia kayaknya tadi lagi ngejar kita bertiga. Saya yang masuk kesini buat ngumpet. Ustadzah mau sembunyi juga?!”
Para santri mulai saling pandang, menahan tawa.
“Ya Allah... kok malah cowok yang sedang berduaan ketangkep basah,” bisik salah satu santri.
“Jangan-jangan ini jebakan buat Balwa, bukan Arabella.”
Dari lorong luar, suara Arabella terdengar mendekat, “BALWAAAAAAA!! SINI KELUAR LO?! GUE BANTAI LO SEKARANG JUGA PAKE PECI PAK AMING YA!”
Balwa langsung menutup pintu ruangan panik, “Tolong lindungi saya, Ustadzah! Ada setan berhijab panjang yang mau membunuh saya!” ucap Balwa sambil mengunyah pisang goreng panas.
Dan kali ini... mereka tidak bisa menyalahkan siapa-siapa selain diri sendiri.
Ustadzah Halimah dan Rahmah saling tatap, wajah mereka penuh rasa malu, sementara bisik-bisik mulai menyebar.
“Mereka kayaknya emang niat mau jebak Arabella lagi ya?”
“Tapi malah depetin Balwa, hadeuh...”
Dan di ujung lorong, Arabella berdiri—menyeringai licik.
“Plot twist-nya cakep sih. Tapi belum selesai, Bu Ustadzah. Masih banyak episode seru kedepannya...”
*****
Suasana aula utama pondok pesantren hari itu benar-benar berbeda. Biasanya tempat itu digunakan untuk pengajian atau pembinaan rutin. Tapi kali ini, bangku-bangku panjang diatur menghadap meja utama, tempat para pengajar duduk, lengkap dengan kiyai Hasyim di tengah sebagai pemimpin pembinaan.
Seluruh Ustad dan Ustadzah hadir. Bahkan Ustad Izzan yang biasanya misterius pun duduk di barisan depan, bersisian dengan Ustad Jiyad dan Ustad Hamzah yang memasang wajah serius tapi penasaran.
Arabella duduk di kursi tengah, tepat menghadap dua sosok yang sejak kemarin penuh kontroversi siapa lagi kalau bukan Ustadzah Halimah dan Ustadzah Rahmah. Wajah keduanya tampak tegang, terlebih ketika mata kiyai Hasyim menatap dengan pandangan teduh tapi mengandung tekanan.
“Ustadzah Rahmah, Ustadzah Halimah,” suara Kiyai Hasyim dalam tenang, “Saya ingin mendengar langsung dari kalian... kenapa kalian memfitnah santri kami, Arabella?”
Suasana pun mendadak hening.
Ustadzah Rahmah membuka suara dengan suara dengan suara lemah, “Kami hanya... merasa Arabella terlalu sering menarik perhatian...”
“Terutama dari Ustad Izzan dan Ustad Azzam,” potong Ustadzah Halimah jujur, tapi terdengar getir.
Semua pengajar sontak saling pandang. Beberapa langsung menunduk dan beristigfar pelan. Ustad Jiyad memijat pelipis. Ustadzah Rina bahkan nyaris tersedak air minumnya. Sementara Kiyai Hasyim menghela napas panjang, memejamkan mata sejenak, lalu berkata pelan.
“Cemburu... bukan alasan untuk menyebar fitnah.”
Dan di tengah ketegangan awas itu, suara absurd nan santai khas Arabella menyela, “Masyaallah... cemburu sama wajah yang nggak seberapa ini? Hah.. kalau bisa, wajah saya sekalian aja diganti jadi wajah Lisa Blackpink, Kiyai. Biar manis, imut tanpa gula...” dramatis Arabella.
Semua langsung menahan tawa. Bahkan Ustad Hamzah sampai menutup wajah dengan map supaya tidak terlalu jelas tertawa.
Kiyai Hasyim mengerjapkan mata, lalu menggeleng sambil tersenyum. “Kamu ini, Bella... benar-benar tak bisa ditebak.”
Ustadzah Rahmah dan Halimah saling melirik. Wajah mereka memerah.
Kiyai Hasyim kembali bertanya, “Apa kalian sudah meminta maaf pada Arabella?”
Hening.
Rahmah menunduk pelan, tampak menyesal. Tapi Halimah... menggigit bibir, wajahnya keras. Dia tidak akan pernah minta maaf pada santri barbar itu, begitu batinnya.
Arabella dengan cueknya berkata, “Belum lebaran Kiyai. Jangan buru-buru maaf-maafan...”
Ledakan tawa pun memenuhi aula. Bahkan Ustad Izzan yang biasanya datar pun mengulum senyum tipis. Ustadzah Rina yang tak tahan lagi, langsung berdiri dari kursinya dan menghampiri Arabella.
“Bella, lebih baik kamu diam dulu. Bisa-bisa ini proses pembinaan berubah jadi acara stand up comedy spesial.” Ustadzah Rina terpaksa membungkam Arabella dengan gemasnya.
Kiyai Hasyim mengangkat tangannya, menenangkan suasana yang mulai terlalu ceria. “Bela,” katanya pelan, “Kalau kamu diberi hak untuk menentukan... apakah kamu ingin Ustadzah Rahmah dan Halimah dikeluarkan dari pondok?”
Semua kembali menahan napas. Arabella menatap kearah Kiyai Hasyim. Tapi bukan dari jawaban melainkan Arabella hanya menggerak-gerakkan tangan dan kakinya, membuat semua pengajar nyaris tergelundung dari bangku karena tertawa.
Ustad Hamzah menepuk-nepuk meja, “Ya Allah, santri satu ini...”
Kiyai Hasyim pun akhirnya tertawa kecil dan menggelengkan kepala.
“Baiklah,” ujarnya sambil mengatur kembali suasana, “Pembinaan akan tetap berjalan. Tapi saya kira... kita semua belajar sesuatu hari ini, bahwa hati yang penuh rasa iri... bisa membutakan akal, dan... bahwa Arabella tidak akan pernah bisa dibungkam dengan cara biasa.”
Suasana aula kembali tenang, meski beberapa pengajar masih tersenyum geli mengingat aksi lucu Arabella yang tadi dibekap oleh Ustadzah Rina seperti anak TK mau disuntik.
Kiyai Hasyim menatap santri yang duduk di tengah itu dengan sorot dalam. “Baik, sekarang... silahkan jawab, Arabella. Setelah semua ini, apa kamu ingin Ustadzah Rahmah dan Halimah dikeluarkan dari pondok?”
Ustadzah Rina akhirnya melepas bekapannya dari mulut Arabella, dengan tatapan was-was seakan bersiap menutup mulut santri absurd itu lagi kalau jawabannya bikin gempita gelombang dua.
Semua menatap Arabella. Beberapa Ustad menyenderkan badan ke depan, penasaran. Tapi alih-alih meledakkan ruangan dengan kelucuan seperti biasa, Arabella menarik napas panjang. Wajahnya serius. Tatapannya tajam, tapi bukan karena marah. Melainkan tenang... sangat tenang.
“Kalau saya jawab ingin mereka dikeluarkan... saya nggak lebih baik dari mereka dong, Kiyai.” ucap Arabella pelan, suaranya jernih. “Saya memang bukan santri kalem. Saya jahil, tengil, bahkan kadang barbar. Dan karena saya beda... Saya sering diliat dari sisi buruknya aja. Padahal... setiap orang itu punya sisi gelap dan terang. Termasuk saya.”
Semua terdiam. Termasuk Ustadzah Rahmah dan Halimah yang perlahan menundukkan kepala mereka.
Arabella melanjutkan, “Rasulullah SAW pernah bersabda dalam hadist riwayat Muslim: ‘Barang siapa menutupi aib seorang Muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Jadi... kalau saya membalas mereka dengan menghancurkan nama mereka, saya nggak sedang menegakkan kebenaran... saya hanya sedang membalas dendam. Dan itu bukan akhlak santri.”
Ruangan benar-benar hening. Tidak ada suara, bahkan helaan napas pun nyaris tak terdengar. Ustad Jiyad menunduk dengan mata berkaca-kaca. Ustadzah Rina menatap Arabella seperti baru melihatnya pertama kali. Ustad Izzan menoleh pelan kearah ayahnya, seolah berkata : itu... calon menantu yang Abi pilih.
Arabela tersenyum tipis, ”Saya nggak mau mereka dikeluarkan, Kiyai. Saya Cuma mau mereka paham, kalau saya juga manusia. Saya juga punya hati. Sama kayak mereka.”
Kiyai Hasyim tersenyum lebar. “Masya Allah... Nak. Jawabanmu adalah pelajaran terbaik hari ini.”
Semua pengajar mengangguk pelan, tersentuh. Ustad Rahmah menghapus air matanya secara diam-diam. Sementara Ustadzah Halimah menggigit bibir, jelas sekali ada rasa malu dan penyesalan yang membuncah, meski gengsi masih kuat menahan air mata.
Arabella menyandarkan punggungnya ke kursi, lalu dengan nada santainya yang khas kembali berkata.
“Tapi... kalau mereka nyoba buat nyeleneh atau nyari masalah lagi, ijinkan saya pakai jurus goyangan maut ya, Kiyai. Saya udah lama juga nggak latihan nih.”
Ustadzah Rina spontan refleks menutup mulut Arabella lagi, “Astagfirullah... kamu tuh ya, Bell.!”
Tawa kembali menggema. Tapi kali ini bukan karena absurdnya Arabella semata, melainkan karena semua merasa... di balik kelakuannya yang tak lazim, Arabella adalah sosok yang luar biasa.
Kiyai Hasyim memandangnya penuh rasa bangga. “Kamu memang berbeda, Nak... tapi perbedaanmu adalah kekuatan.”