Berandal Sekolah Kesayangan Ketos

“Lama amat elah, ngapain sih di dalem? Jangan-jangan kalian makan dulu tadi,” gerutu Neo menatap Langit dan Senja akhirnya keluar.

“Gak penyabar banget lo, banyak bacot,” balas Langit.

“Gak penyabar lo bilang? Kalian tuh kelamaan, dikira kagak capek nunggu kalian, hampir lumutan, nih,” celoteh Neo masih menggerutu.

“Lo aja juga baru nyampe, gue yang duluan nungguin kalian semua di sini,” jawab Rance dengan wajah lempengnya.

“Itu karna lo jalan cepet, sengaja ninggalin gue! Mentang-mentang gue jalan pelan dan hati-hati, lo sengaja cepet-cepet, anying emang,” gerutu Neo semakin kesal.

“Lo tadi minta tungguin, makanya gue jalan duluan, terus tungguin di sini. Terus salahnya gue di mana?”

Neo menarik napas kesabaran. “Maksud gue itu, tungguin sambil jalan. Intinya jalan lo harusnya pelan, bukan malah makin cepet, terus tungguin gue sambil duduk-duduk nikmat di sini.”

“Berarti kalo gitu lo yang salah. Harusnya lo bilang sama gue, jangan kenceng-kenceng, kita jalan bareng. Kalo lo bilang gitu, ya gue jalan bareng sama lo,” jawab Rance tanpa dosa.

Neo diam, Langit dan Senja sudah tertawa. Tak ada yang salah dari kata-kata Rance, tetapi memang harusnya maksud Neo dipahami, sayangnya Rance bukan orang normal pada umumnya.

“Dah ‘lah, terserah lo, deh. Antisipasi setruk, mending gue diem,” cetus Neo kesal, tetapi harus selalu mengalah.

“Kalian ngomong dari tadi, gue jadi lupa kenalin Kak Gege,” tutur Senja setelah ia berhenti tertawa. “Ini Kak Gesyila, katanya dia biasa dipanggil Kak Gege. Dia lebih tua dari kita 1 tahun, kakak kelas kita. Dia anak atasannya Papa, lagi libur, jadi selama libur, dia bakal tinggal di rumah gue.”

Neo dan Rance menatap Gesyila yang tersenyum manis kepada mereka. Neo dan Rance pun balik tersenyum ramah.

“Halo,” sapa Neo ramah.

“Hai,” balas Rance.

Neo mendelik. “Gue gak sapa lo, anjai!”

Rance menoleh dan menatap Neo tanpa beban. “Terus yang sapa lo juga siapa? Gue nyapa Kak Gigi, kok.”

“Bukan Gigi, tapi Gege,” jawab Senja mengoreksi.

“Oh, hai, Kak Gege,” sapa Rance lagi.

“Halo,” balas Gesyila tersenyum.

“Ini namanya Rance, biasa kami panggil Ace. Kalo dia namanya Neo, mereka berdua dua sahabat gue yang banyak bacot,” tutur Senja membuat Neo mendengkus.

“Banyak bacot gini juga orang-orang yang selalu ada buat lo,” ketus Neo membuat Senja tertawa.

“Senang kenalan sama kalian. Kelompok kalian seru, ya, rame,” ujar Gesyila.

“Yah, begini ‘lah, Kak. Meski sejujurnya udah bosen juga liat wajah mereka tiap hari,” jawab Senja membuat Neo kembali mendengkus.

“Kamu juga bosen liat aku?” tanya Langit.

Senja tertawa, ia menggeleng sembari menguyel kedua pipi sang tunangan. “Gak, dong. Kamu ‘kan pacar terbandel aku, susah cari di tempat lain yang kayak gini. Meski bandel, ngangenin, mwehe-he.”

“Dih, tolong, ya. Sejak kapan bumi ini jadi milik kalian berdua? Jangan nyebar keuwuan di depan para jomblo. Ck, ayo ke taman, capek gue,” gerutu Neo lelah berdiri sedari tadi.

“Maaf, ya, Kak. Kami mah gini, kalo agak heboh, maklumi aja,” kata Senja kepada Gesyila.

Gesyila tersenyum. “Gak papa, kok. Aku malah suka, soalnya kalo di LA, pertemanan jarang yang kayak gini.”

“Pada kaku?” tanya Neo menatap Gesyila.

Gesyila pun mengangguk. “Ya, gitu ‘lah.”

Senja dan 3 pemuda itu sudah biasa bermain di taman utama komplek. Biasanya taman itu akan ramai pagi dan sore hari, malam pun juga sering kali ramai karena penghuni komplek cukup banyak anak muda.

Gesyila sesekali melirik Langit yang terus mengganggu Senja. Ia duduk di salah-satu kursi, sembari melihat 4 remaja itu bermain dan bercanda. Gelak tawa Senja diperhatikannya dengan tatapan tak dapat diartikan.

“Dia cuma anak seorang karyawan, bawahan Papa, tapi kenapa bisa dia kayaknya lebih bahagia gitu dari pada aku? Aku di LA gak punya temen apalagi sahabat kayak gini. Dia juga punya tunangan yang tampan, kalo dia yang levelnya di bawah aku bisa, harusnya aku juga bisa dapetin itu, ‘kan? Aku juga lebih cantik dari dia, lebih kaya, lebih lemah-lembut, paling dimanja sama Mama dan Papa. Aku mau kebahagiaan dia.” Gesyila terus memperhatikan Senja dan 3 pemuda itu bermain.

Senja berbaring di rumput taman karena kelelahan. Langit pun menarik tubuh sang kekasih, lalu menggendongnya, dan mengajak Senja ke kursi untuk istirahat. Neo dan Rance ikut istirahat, mereka hanya main bola biasa, karena permintaan Neo untuk peregangan urat-urat kakinya.

“Sayang banget lo gak ikut, Kak, main kayak gini sesekali seru, loh,” ucap Senja kepada Gesyila.

Gesyila tersenyum. “Aku gak paham cara mainnya, jadi aku nonton aja gak papa. Kalian mau minum, ‘kan? Aku beliin dulu, ya.”

“Eh, gak usah, Kak,” kata Senja menolak.

“Gak papa, kebetulan di situ ada minimarket. Bentar, ya, ada yang mau request?”

“Air mineral aja, Kak. Sorry, malah ngerepotin,” balas Senja.

“Santai aja, aku senang bisa ikut kalian main ke sini. Tunggu bentar, ya.” Gesyila pergi dari sana, ia bergerak menuju minimarket komplek.