Nindya adalah wanita empatik dan gigih yang berjuang membesarkan anaknya seorang diri. Kehidupannya yang sederhana berubah ketika ia bertemu Andrew, pria karismatik, mapan, dan penuh rahasia. Dari luar, Andrew tampak sempurna, namun di balik pesonanya tersimpan kebohongan dan janji palsu yang bertahan bertahun-tahun.
Selama lima tahun pernikahan, Nindya percaya ia adalah satu-satunya dalam hidup Andrew, hingga kenyataan pahit terungkap. Andrew tetap terhubung dengan Michelle, wanita yang telah hadir lebih dulu dalam hidupnya, serta anak mereka yang lahir sebelum Andrew bertemu Nindya.
Terjebak dalam kebohongan dan manipulasi Andrew, Nindya harus menghadapi keputusan tersulit dalam hidupnya: menerima kenyataan atau melepaskan cinta yang selama ini dianggap nyata. “Istri Bayangan” adalah kisah nyata tentang pengkhianatan, cinta, dan keberanian untuk bangkit dari kepalsuan yang terselubung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Dengan ragu, Nindya mulai bicara.
“Aku lihat … Michelle menghubungi kamu malam itu.”
Ruangan hening. Andrew menatap layar ponsel itu lama sekali, seolah mencari alasan. Namun wajahnya jelas berubah.
“Aku tahu dia ibu dari anakmu, aku bisa mengerti kalau kamu harus berhubungan demi putrimu. tapi...” Suara Nindya bergetar, tapi tegas.
Andrew terdiam Jemarinya mengetuk ketuk meja napasnya berat. Ia menatap Nindya, lalu menunduk.
“Aku salah… aku seharusnya jujur sejak awal.”
“Lalu katakan ,mengapa ia masih menghubungimu.” Nindya menatapnya lurus.
“Dia menghubungiku karena anakku ingin video call Nindya."
Andrew mengusap wajahnya dengan kedua tangan, lalu perlahan berkata,
“Aku masih menjaga komunikasi dengan Michelle… hanya karena anak kami tidak lebih.”
“Tidak apa apa kalau itu alasannya ,aku tidak akan menghalangi.” Ujar Nindya bijak
Andrew menatapnya lagi, kali ini dengan mata yang basah.
“Terimaksih sayang.”
Air mata Nindya jatuh, tapi kali ini bukan hanya karena marah—melainkan karena lega mendengar penjelasan itu, meski hatinya masih sakit.
Keesokan harinya seperti biasanya, keduanya berangkat kekantor bersama, sepanjang perjalanan keduanya bercanda kecil, Nindya merasa bahwa dunia ada di pihaknya saat saat seperti itu.
Sesampainya di parkiran sebelum turun Andrew mengecup kening Nindya, yang di balas demgan Nindya mencium ounggung telapak tangan Andrew.
"Have a great day sayang."Ucap Nindya.
"Have a great day sayang." Balas Andrew mereka berjalan beriringan membuat rasa iri siapapun yang menyaksikan kemesraan pasangan itu.
Hari itu kantor sibuk luar biasa. Nindya baru saja menyelesaikan meeting internal ketika matanya tanpa sengaja menangkap Andrew di lobby.
Ia sedang berbincang dengan seorang wanita elegan bergaun blazer putih, parasnya anggun, penuh percaya diri.
Wanita itu adalah Clara, seorang business developer dari perusahaan rekanan yang sedang intens bekerja sama dengan tim Andrew.
Dari jauh, Nindya melihat bagaimana Clara tertawa renyah setiap kali Andrew melontarkan komentar. Dan yang paling menusuk perasaannya—Andrew juga tersenyum lepas, lebih cair daripada biasanya.
“Siapa perempuan itu?” batin Nindya, menahan sesak di dada. Ia tahu urusan kerja sering menuntut kedekatan, tapi ekspresi Clara seolah terlalu berusaha menembus batas profesional.
Clara bahkan menyentuh lengan Andrew sambil menunjuk sesuatu di layar tabletnya. Sekilas saja, tapi cukup untuk membuat wajah Nindya terasa panas.
Sepanjang siang, rasa cemburu itu mengganggu fokusnya. Ia ingin percaya bahwa Andrew hanya menjalankan tugasnya, tapi sisi empatiknya yang naif berubah jadi luka kecil—takut kalau dirinya lagi-lagi hanya penonton dalam cerita hidup Andrew.
Beberapa hari setelah kejadian di lobby, Clara makin sering datang ke kantor Andrew dengan dalih koordinasi proyek. Nindya, yang juga berada dalam satu gedung, kerap melihat ada kejanggalan dari sikap Clara.
Bagi orang lain, itu mungkin sekadar basa-basi. Tapi bagi Nindya yang tak sengaja melihat dari balik pintu kaca, ada sesuatu yang terasa ganjil—cara Clara menatap Andrew terlalu intens, bukan sekadar kolega kerja.
Di rumah malam itu, Andrew tampak santai, menceritakan betapa sulitnya negosiasi kontrak baru. Namun Nindya hanya menanggapi dengan anggukan singkat, pikirannya melayang ke senyum Clara siang tadi.
Andrew menatap istrinya lama.
“Kamu kenapa? Kayak lagi kepikiran sesuatu.”
Nindya menahan diri, berusaha sabar. Ia tidak ingin langsung meledak tanpa bukti.
“Siapa perempuan tadi Ndrew."Tanya Nindya dengan nada menyelidik
Andrew mengernyit, mengingat ingat ia bertemu siapa hari ini
"Oouh itu Clara bussines developer dari rekanan perusahaan kenapa sayang?."
"Tidak profesional sama sekali, genit!", lanjut Nindya tidak mampu lagi menyimpan rasa cemburunya.
Alih alih marah Andrew justru tersenyum melihat ekpresi di wajah Istrinya,
"Kamu cemburu yaa? ," Ujar Andrew sambil mencolek hidung mancung Nindya.
Mendengar ucapan Andrew wajah Nindya merona merah.
"Iihsh ... buat apa cemburu sama dia tidak level." Sungut Nindya.
Andrew tertawa kecil melihat tingkah istrinya yang di landa cemburu hatinya merasa bahagia.
"Tidak apa apa, aku suka kalau kamu cemburu."
"Ya udah yuk biar adem kita sholat Isya." ajak Andrew sambil menggandeng tangan istrinya
Sementara itu, di kantor, Clara tak berhenti mencari celah untuk semakin dekat. Ada pesan-pesan singkat masuk ke ponsel Andrew larut malam, dengan alasan pekerjaan—padahal isinya sering kali bercampur gurauan pribadi.
Dan di sanalah benih cemburu dalam hati Nindya semakin tumbuh. Ia ingin percaya, tapi bayangan masa lalu Andrew dengan Michelle membuat hatinya gamang.
Ruang rapat lantai delapan siang itu penuh dengan suasana formal. Tim dari perusahaan Andrew duduk berhadapan dengan tim dari perusahaan rekanan. Andrew yang menjadi perwakilan utama duduk di ujung meja, bersebelahan dengan Johan.
Clara, business developer dari pihak rekanan, memasuki ruangan dengan percaya diri. Senyumnya lebar, langkahnya mantap, dan tanpa sungkan ia langsung mengambil tempat di samping Andrew, seakan kursi itu memang disediakan untuknya.
“Senang akhirnya bisa bertemu lagi, Andrew,” ucap Clara sambil merapikan map di tangannya. Nada suaranya hangat, bahkan sedikit terlalu personal untuk ukuran rapat resmi.
Andrew hanya tersenyum tipis, mencoba menjaga profesionalitas.
“Ya, senang bisa melanjutkan pembahasan kita.”
Rapat berlangsung seperti biasa, tetapi Nindya—yang ikut sebagai bagian dari tim dokumentasi proyek—tidak bisa mengabaikan gerak-gerik Clara. Perempuan itu kerap menyela dengan candaan ringan, mencondongkan tubuhnya ke arah Andrew, bahkan beberapa kali menepuk lengannya sambil tertawa kecil.
Di mata orang lain mungkin itu tampak biasa. Namun, bagi Nindya, gestur Clara jelas mengandung maksud lain. Ia berusaha tetap fokus pada catatan rapat, tapi dadanya sesak, hatinya panas.
Saat rapat usai, Clara kembali mendekat. “Andrew, bagaimana kalau kita bahas detail teknisnya sambil makan siang? Aku tahu restoran yang pas banget buat ngobrol santai.”
Andrew menoleh sekilas, hampir ingin menerima, tapi Johan cepat-cepat menengahi.
“Kita sudah ada agenda internal ,setelah ini. Mungkin lain kali saja, Clara.”
Clara hanya tersenyum, meski jelas terlihat ia tidak suka ditolak.
“Oke, kalau begitu.”
Sepulang dari kantor, di dalam mobil, Nindya diam saja. Matanya menatap ke luar jendela, tapi pikirannya penuh dengan adegan tadi.
Hari ini kembali mereka rapat, ruangan rapat sore itu dipenuhi aroma kopi dan ketegangan ringan. Andrew duduk di ujung meja, dikelilingi beberapa staf internal dan dua orang perwakilan dari perusahaan rekanan.
Salah satunya adalah Clara, business developer muda yang belakangan ini cukup sering muncul dalam pertemuan proyek.
Nindya, yang ditugaskan mencatat jalannya rapat, tidak bisa mengabaikan caranya Clara berbicara pada Andrew.
Nada suaranya terdengar terlalu ramah, bahkan ketika membahas hal teknis. Sesekali Clara menyelipkan candaan ringan yang membuat beberapa orang tertawa kecil—Andrew termasuk salah satunya.
Sekilas, memang tidak ada yang salah. Semua masih dalam koridor pekerjaan. Tapi hati Nindya terusik.
Ada perasaan aneh ketika melihat bagaimana Clara menatap Andrew, seolah ingin lebih dari sekadar rekan bisnis.
Ia menunduk, berusaha fokus pada catatannya.
“Jangan berlebihan, Nindya,” batinnya.
Namun, tetap saja, rasa itu tidak bisa hilang begitu saja.
Usai rapat, Andrew sempat menghampirinya.
“Kamu sudah ambil semua poin meeting tadi?” tanyanya sambil tersenyum.
Nindya mengangguk singkat.
“Sudah. Nanti malam aku rapikan sebelum di-share.”
“Good. makasih, ya.” Andrew melangkah pergi, kembali berbincang sebentar dengan Clara sebelum wanita itu keluar ruangan.
Sepanjang perjalanan pulang, Nindya lebih banyak diam. Andrew sempat menoleh, curiga ada yang mengganggu pikiran istrinya.
“Kenapa lagi sayang?” tanyanya pelan saat mereka sudah di mobil.
Nindya menoleh sebentar lalu menggeleng. “Tidak, hanya lelah rapat panjang tadi.”
Andrew mengangguk, meski jelas ia tahu ada yang lain. Tapi Nindya memilih menahan. Baginya, belum ada alasan kuat untuk menaruh curiga. Ia hanya perlu menjaga hati agar tidak mudah terbakar cemburu.
Namun jauh di lubuk hati, ada riak kecil yang mulai tumbuh. Riak yang entah kapan bisa berubah menjadi gelombang.
-