Sepuluh tahun ingatan Kirana terhapus. Saat membuka mata, Kirana mendapati dirinya sudah menikah dengan pria asing yang menyebutnya istri.
Namun, berbeda dengan kisah cinta yang diharapkan, pria itu tampak dingin. Tatapannya kosong, sikapnya kaku, seolah ia hanya beban yang harus dipikul.
Jika benar, Kirana istrinya, mengapa pria itu terlihat begitu jauh? Apakah ada cinta yang hilang bersama ingatannya, atau sejak awal cintanya memang tidak pernah ada.
Di antara kepingan kenangan yang terhapus, Kirana berusaha menemukan kebenaran--- tentang dirinya, tentang pernikahan itu, dan tentang cinta yang mungkin hanya semu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shalema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertengkaran pertama
Sudah tiga malam, Barra menemani Kirana tidur. Meskipun, tidak satu ranjang tapi itu membuat Kirana senang. Barra mau sedikit memberikan perhatian padanya.
"Aku tidak mau kejadian kemarin terulang lagi," ucap Barra. Ia tidur di sofa baca.
Pagi ini, hanya ada Barra dan Kirana di rumah. Bu Wulan sedang berbelanja ke pasar. Kirana sedang memainkan ponselnya, mencoba beberapa aplikasi yang baru dilihatnya.
"Kamu sudah beli kebutuhanmu lewat belanja online?" tanya Barra, tahu-tahu sudah ada di belakang Kirana.
Kirana sedikit terkejut. "Belum, Mas."
"Kenapa?" Barra mengambil kursi, duduk tepat di depan Kirana.
Kirana hanya tersenyum.
"Aku sudah isi saldonya. Bukankah kamu ingin beli pakaian baru?"
"Heheh, iya Mas. Dari kemarin, aku masih pakai baju Mas."
"Aku gak keberatan," ungkap Barra pelan.
"Apa Mas?" tanya Kirana memastikan padahal tadi ia mendengarnya.
"Ehem... Gak apa-apa," elak Barra.
Kirana lalu asyik memilih pakaian dan memasukkannya ke dalam keranjang.
Barra melihat layar ponselnya sendiri.
"Mas... "
"Hmmm... "
"Budgetnya berapa?"
"Apa?"
"Budget belanjanya berapa? Nanti baju yang kupilih terlalu mahal."
"Ambil saja yang kamu butuhkan..."
"Mas Barra, uangnya banyak ya?" tanya Kirana polos.
Barra meletakkan ponselnya. "Gak akan habis kalau cuma buat beli baju," sombongnya.
"Serius?! Wah, aku beruntung sekali menikah dengan orang kaya, " canda Kirana. "Kalau gitu aku pilih yang ini, roknya yang ini, celana ini 2, beda warna. Hmmm... Apa lagi ya... Bebas kan ya Mas?" mata Kirana berkilat.
Terdengar suara tawa lepas Barra. Kirana baru mendengarnya.
"Selesai. Tinggal tunggu kirim deh! Terima kasih, Mas! " seru Kirana.
Barra tersenyum tipis.
"Sebetulnya, Mas Barra itu kerjanya apa? Di mana? Kok uangnya bisa unlimited. Kalau aku dulu kerja juga gak, Mas?" pancing Kirana.
Barra tidak mengeluarkan suara. Hening. Aura dingin kembali dirasakan Kirana.
Barra lalu bangkit dari kursinya. "Siap-siap! Kita berangkat ke rumah sakit!"
Hari ini adalah jadwal Kirana melakukan fisioterapi.
Barra bergerak meninggalkan Kirana.
Sepanjang perjalanan ke rumah sakit. Rasa Kecewa masih dirasakan Kirana.
Kenapa Barra tidak mau menjawab pertanyaan sesederhana itu. Dan, Kirana tidak mengerti, bagaimana sikap Barra padanya bisa berubah dalam hitungan detik.
Barra membelokkan mobilnya ke tempat parkir rumah sakit.
"Aku bisa sendiri!" tukas Kirana saat Barra akan menggendong dirinya. Ia berdiri lalu melangkah duduk di atas kursi rodanya.
"Kamu mau aku dorong? Atau bisa sendiri?" tanya Barra.
Kirana memelototi Barra.
"Ya siapa tahu kamu bisa sendiri sampai lantai 5," sindir Barra seraya mendorong kursi roda Kirana.
Kirana semakin dongkol.
**********
Hujan deras turun saat Kirana selesai. Dari lobi rumah sakit terlihat awan hitam masih berarak menandakan hujan jauh dari reda.
"Jadi, mau langsung pulang atau tunggu hujan?" Barra menghempaskan dirinya di sebelah Kirana. Ia baru selesai dari bagian kasir.
"Terserah... " ketus Kirana. Ia masih kesal dengan kejadian tadi pagi.
Barra mendorong kursi Kirana mendekati pintu keluar lobi. "Tunggu di sini! Aku ambil mobil dulu." Ia lalu berlari menerobos hujan menuju tempat parkir.
Kirana menunggu. 5 menit, 10, 15 menit. Kenapa Barra lama sekali? Pandangan Kirana jauh ke tempat parkir. Mobil Barra belum kelihatan.
Kirana tiba-tiba ketakutan. Bagaimana kalau Barra meninggalkannya karena marah akibat pertengkaran tadi. Apa yang akan dilakukannya?
Kirana duduk dengan gelisah. Badan Kirana bergetar. Matanya berkaca-kaca. Dadanya menjadi sedikit sesak.
"Ada apa Ibu? Ibu baik-baik saja?" tanya Security yang melihat Kirana menitikkan air mata.
"Suami saya, Pak... Sua...mi sa...ya ning...galin sa...ya...," ucap Kirana mulai terisak.
"Suami ibu kenapa? Ada yang bisa saya bantu?" tanya security lain, yang kini berjongkok di depan Kirana.
Barra menghentikan mobilnya persis di depan pintu lobi. Ia melihat Kirana dikelilingi dua orang security. Ia membuka pintu mobil lalu berlari tergesa ke arah Kirana.
"Kira... Kenapa? Kamu gak apa-apa?" teriak Barra sedikit panik.
Kedua security itu berdiri memberi jalan pada Barra.
"Mas Barra, huhuhuhu.... Mas, huhuhu," tangis Kirana.
"Bapak suaminya ibu ini?" tanya salah satu security.
"Iya, Pak. Saya suaminya."
"Istrinya jangan ditinggalin begitu, Pak. Apalagi dalam keadaan sakit. Harus sedikit sensitif kalau istri sedang sakit," ucap security dengan nada tinggi seakan sedang memarahi Barra.
"Apa? Siapa yang ninggalin is--?" Barra hendak membela diri sebelum mendengar suara tangisan Kirana yang semakin kencang.
Orang-orang mulai berkerumun.
"Mas Barra... Sudah. Aku capek... Huhuhuhu."
Barra menunduk memandang wajah Kirana. Lalu, ia mengusap wajahnya sendiri. Menghela nafas, pasrah.
"Iya... Iya. Maaf sudah merepotkan."
Barra lalu mengangkat Kirana. "Pegangan!" perintah Barra.
Barra mendudukkan Kirana di dalam mobil dengan dipayungi security. Mereka juga membantu melipat kursi roda lalu memasukkannya di dalam bagasi.
"Istrinya tolong diperhatikan lagi, Pak!" pesan security sebelum Barra masuk ke dalam mobil.
Brugh!! Barra menutup pintu dengan kencang. Memasangkan sabuk pengaman Kirana. Lalu, menekan pedal gas dengan kuat.
Di dalam mobil, Kirana masih terisak. Barra menyodorkan tisue ke hadapan Kirana.
Srooot!! Kirana mengeluarkan ingusnya.
"Senang ya lihat suami ditegur orang seperti itu?! Kamu bilang apa sama mereka?" tanya Barra dengan nada tidak sabar.
"Hiks... Aku gak bilang apa-apa. Hiks."
"Gak mungkin kamu gak bilang apa-apa! Mana mungkin aku ditegur kalau kamu gak bilang apa-apa, Kirana!"
"Betul Mas... Aku gak bilang apa-apa. Aku gak tahu kenapa mereka tegur Mas Barra kayak tadi."
Srooot!! Kirana kembali membersihkan ingusnya.
Barra hanya mengusap rambutnya.
"Lalu, kenapa kamu nangis kayak gini?! Orang-orang jadi berpikiran buruk tentang aku," nada suara Barra masih tinggi.
"Aku nangis karena Mas Barra lama... Tadi katanya mau ambil mobil, tapi lama."
"Macet Kira! Ngantri di gate, banyak mobil keluar. Karena itu jadi lama," jelas Barra.
"Ya, mana aku tahu. Aku pikir Mas Barra marah sama aku gara-gara tadi pagi. Terus, Mas Barra ninggalin aku...huhuhu." Kirana kembali menangis.
Barra terhenyak mendengar penuturan Kirana. Ia menarik nafas panjang. Lalu, mengusap lembut rambut Kirana .
"Kalau begitu duduk persoalannya, kenapa kamu gak telepon aku? Di tasmu ada HP. Di sana ada nomorku."
"Hiks, hiks, lupa... "
Barra menggaruk kepalanya. Tidak gatal.
"Ya, sudah!"
"Mas, jangan marah lagi sama aku."
"Aku gak marah Kira." Barra memegang tangan Kirana.
"Aku lapar. Kita makan dulu?" tanya Barra mengalihkan pembicaraan.
"Iya. Aku juga lapar." Kirana tersenyum lebar.
Barra memandang wajah Kirana. Matanya sembab dan hidungnya merah karena habis menangis.
"Jangan nangis lagi. Wajahmu jadi jelek begitu," seloroh Barra sambil memijit hidung Kirana.
Kirana segera mengeluarkan ponsel-nya, mengecek penampilannya lewat layar ponsel.
Barra tersenyum kecil melihat kelakuan istrinya.
Mereka tengah duduk di rumah makan. Saat itu, pengunjungnya cukup ramai. Ternyata, sedang ditayangkan pertandingan sepak bola antara Indonesia versus korea Selatan.
Kirana baru selesai menyantap soto betawi. Perutnya terasa hangat dan kenyang. Sekarang, ia sedang asyik menatap suaminya. Makanan di hadapan Barra belum tersentuh. Barra malah fokus menatap layar TV di hadapannya.
Tadi katanya lapar, batin Kirana.
"Mas, makanannya di makan dulu. Kalau sudah dingin gak enak," pinta Kirana menarik jari tangan Barra.
"Iya.. Iya. Sebentar," Barra tidak mengalihkan pandangannya.
Kirana memperhatikan raut muka Barra berubah sesuai dengan suasana pertandingan. Terkadang kesal, lalu berganti senang, lalu marah, berganti lagi sedih. Kirana baru pertama kali melihatnya. Biasanya Barra hanya menampilkan satu emosi saat berada di dekat Kirana. Dingin.
Entah kenapa, semakin Kirana menatap Barra. Ada desir-desir aneh di dada Kirana. Hatinya semakin bergetar. Semakin lama semakin kuat. Apakah, ia sedang jatuh cinta pada suaminya? Atau, cinta lamanya mulai bersemi kembali? Entahlah.
"Goool" teriak Barra bersamaan dengan pengunjung lainnya. Suara tepuk tangan dan sorak sorai menggema di dalam rumah makan. Skor 2-1 untuk Indonesia.
Barra melakukan tos dengan beberapa pengunjung, lalu memeluk Kirana erat. "Kita menang, Kira!" Lalu, cup. Barra mengecup bibirnya.
Keduanya sama-sama kaget. "Kita menang, Mas!" ulang Kirana sambil tersenyum.
Barra mengangguk. Lalu, ia berdiri di atas kursi. "Semua pesanan hari ini, saya yang bayar."
Sontak semua pengunjung bertepuk tangan. Ada yang menjabat tangan dan memeluk Barra, ada yang sibuk memesan kembali, ada juga yang memukul meja. Wajah Barra terlihat bahagia, senyumnya lebar, matanya bersinar.
Kirana hanya terdiam melihat suaminya. Ia semakin terpesona. Ternyata, ia betul-betul menikah dengan orang kaya.