Zayn Alvaro, pewaris tunggal berusia 28 tahun, tampan, kaya raya, dan dingin bak batu. Sejak kecil ia hidup tanpa kasih sayang orang tua, hanya ditemani kesepian dan harta yang tak ada habisnya. Cinta? Ia pernah hampir percaya—tapi gadis yang disayanginya ternyata ular berbisa.
Hingga suatu hari, asistennya datang dengan tawaran tak terduga: seorang gadis desa lugu yang bersedia menikah dengan Zayn… demi mahar yang tak terhingga. Gadis polos itu menerima, bukan karena cinta, melainkan karena uang yang dijanjikan.
Bagi Zayn, ini hanya soal perjanjian: ia butuh istri untuk melengkapi hidup, bukan untuk mengisi hati. Tapi semakin hari, kehadiran gadis sederhana itu mulai mengguncang tembok dingin di dalam dirinya.
Mampukah pernikahan yang lahir dari “pesanan” berubah menjadi cinta yang sesungguhnya? Ataukah keduanya akan tetap terjebak dalam ikatan tanpa hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Zayn siaga
POV Lucas
Di sebuah ruangan mewah dengan nuansa remang, Lucas duduk di kursi empuk dengan kaki disilangkan. Sebatang cerutu menyala di antara jarinya yang bisa di katakan lentik untuk seorang pria bertubuh kekar sepertinya, asapnya mengepul perlahan, memenuhi udara dengan aroma tembakau mahal. Senyumnya tipis, penuh kesombongan yang sukar ditutupi.
“Jadi… Omar sudah keluar dari sana?” tanyanya dengan suara berat namun santai, tatapannya tak lepas dari jendela besar yang menghadap ke kota. Lampu-lampu jalan berkelip bagai bintang buatan.
Seorang anak buahnya menunduk. “Ya, Tuan. Omar sudah menjalankan tugasnya. Paket manis itu sudah diterima langsung oleh Zayn.”
Lucas terkekeh pelan, mencondongkan tubuh ke depan. “Bagus. Sekarang tinggal kita tunggu… apakah racun itu bekerja atau tidak.”
Ia menghembuskan asap panjang, lalu menatap arlojinya. Waktu berjalan begitu lambat, namun Lucas justru menikmati penantian itu. Ada semacam kenikmatan tersendiri melihat pria yang dulu menjadi pujaannya, pria dambaannya, namun kini menjadi musuhnya, perlahan goyah, bukan langsung tumbang.
“Tapi ingat,” lanjutnya, suaranya meninggi sedikit, “racun itu bukan untuk membunuh. Aku tidak ingin Zayn mati cepat. Aku ingin dia jatuh perlahan… kehilangan tenaganya, kehilangan kendali atas hidupnya, hingga semua yang ia miliki hancur satu per satu.”
Ada api yang membara dalam hati Lucas saat mengingat bagaimana paniknya Zayn saat istrinya di jadikan sasaran.
Anak buah yang lain berbisik, “Bagaimana jika mereka mencurigai camilan itu?”
Lucas menyeringai, memperlihatkan deretan gigi putihnya. “Itu risiko kecil. Omar cukup licik untuk menutupi jejak. Lagi pula, aku tahu Zayn—dia akan menyibukkan diri mencari bukti, mencari pengkhianat, sementara aku sudah selangkah lebih maju. Dan saat dia menoleh… aku sudah ada di dekatnya.”
Ia berdiri, melangkah pelan menuju jendela. Dari sana, ia bisa melihat siluet gedung tinggi lain, bayangan lampu kota yang tak pernah tidur.
“Zayn,” gumamnya lirih, penuh kebencian bercampur obsesi. “Kau pikir kau bisa selalu berdiri gagah, punya segalanya—uang, kekuasaan, bahkan wanita yang seharusnya tidak pantas untukmu. Tapi sebentar lagi… aku akan buktikan, semua itu bisa kuambil darimu. Satu per satu.”
Tangannya mengepal, menekan jendela kaca dingin. Lalu ia menoleh ke anak buahnya.
“Sebarkan orang kita. Awasi rumahnya, tapi tetap di radius aman. Jangan sampai Zayn atau orang-orangnya sadar. Aku ingin laporan setiap gerak-gerik mereka. Dari Zayn, dari istrinya… terutama dari Alisha, si cantik yang merebut priaku.”
Senyum sinis kembali muncul di wajah Lucas. “Aku ingin tahu… seberapa jauh seorang pria seperti Zayn bisa menjaga orang yang ia sayang, ketika aku mulai merenggut perlahan semua yang dia miliki.”
Anak buahnya serentak mengangguk, lalu keluar untuk menjalankan perintah.
Lucas kembali ke kursinya, menyalakan cerutu baru. Pandangannya tajam, penuh obsesi. Malam semakin larut, tapi dalam pikirannya hanya ada satu hal:
Menghancurkan Zayn… sampai pria itu berlutut.
_____
Mentari baru saja menembus tirai-tirai tipis rumah megah yang bisa dikatakan mansion itu. Dari luar, kediaman Zayn terlihat tenang seperti biasa—pelayan mondar-mandir menyiapkan sarapan, aroma roti panggang bercampur dengan sup hangat memenuhi ruang makan. Namun, di balik ketenangan itu, ada nuansa yang berbeda.
Zayn duduk di kursi utama meja makan, setelan kerjanya rapih seperti biasa sejak pagi, wajahnya tegas namun sedikit murung. Alisha duduk di sampingnya, menuang susu untuk Bima yang tampak ceria. Anak itu bercerita tentang keinginannya mencoba melukis lagi setelah sekian lama sakit.
“Aku mau coba nanti, Mbak. Ku lihat ada ruang kosong di belakang. Bisa dipakai, ya?” Bima menatap Alisha penuh semangat.
Alisha tersenyum, meski di hatinya ada kecemasan yang tak bisa ia ungkapkan. “Tentu saja bisa, Bim. Mbak bahkan bisa temani kau.”
Senyumnya terpaksa ia pertahankan, padahal perasaan tak tenang sejak semalam masih membekas. Tatapannya beberapa kali melirik ke arah jendela besar ruang makan, merasa seperti ada mata yang mengawasi dari balik luar sana.
Zayn meletakkan sendoknya, meneguk kopi dengan pelan. “Arvin, hari ini kau ikut denganku ke kantor. Aku ingin kau langsung di sana, bukan sekadar mengawasi dari jauh.”
Arvin yang berdiri tak jauh darinya, mengangguk mantap. “Baik, Tuan. Lalu bagaimana dengan rumah ini?”
Zayn menoleh pada kepala pelayan dan kepala keamanan yang sejak tadi berdiri menunggu instruksi. Nada suaranya penuh penekanan.
“Kalian tahu apa yang harus dilakukan. Rumah ini harus steril dari ancaman sekecil apapun. Jangan ada yang lengah— tolak siapapun yang datang tanpa janji. Periksa setiap paket, makanan, bahkan tamu yang mengaku ‘kenalan’. Aku tak ingin satu hal pun luput.”
“Baik, Tuan,” jawab keduanya serempak, tegas namun dengan wajah sedikit tegang.
Bima yang sejak tadi mendengarkan, mengernyit. “Memangnya kenapa, Kak? Rumah ini kan sudah dijaga banyak orang.”
Alisha segera menepuk bahu adiknya, berusaha menenangkan. “Tidak apa-apa, Sayang. Kak Zayn hanya terlalu hati-hati.” Senyumnya lembut, tapi sorot matanya pada Zayn menyiratkan tolong jangan buat Bima semakin khawatir.
Zayn menangkap tatapan itu. Pria itu menarik napas panjang, lalu mengusap kepala Bima sekilas. “Kau tenang saja. Aku memang tipe yang suka memastikan semuanya aman. Anggap saja aku cerewet, ya.”
Bima terkekeh kecil, meski masih tampak heran.
Setelah sarapan selesai, suasana rumah kembali berjalan seperti biasa. Namun ada detail kecil yang menegaskan rasa diawasi: seekor burung gagak hitam yang hinggap cukup lama di pagar besi depan, padahal biasanya burung tak pernah bertahan di situ. Seorang satpam melaporkannya, tapi Alisha hanya menelan ludah, memilih tidak berkomentar.
Di ruang tamu, seorang pelayan perempuan berbisik pelan pada rekannya, “Tadi aku lihat ada mobil asing parkir agak jauh dari gerbang, sudah sejak subuh. Tapi begitu satpam mendekat, mobil itu jalan pelan dan pergi.”
Bisikan itu terdengar samar oleh Alisha yang kebetulan melintas. Hatinya semakin mencelos, meski wajahnya tetap ia jaga agar tenang saat kembali ke sisi Bima.
Zayn sendiri, sebelum benar-benar berangkat, sempat memeluk Alisha sebentar. “Hubungi aku jika ada apa-apa. Jangan ragu, jangan takut. Mengerti?”
Alisha menunduk, wajahnya pucat tapi bibirnya memaksa tersenyum. “Mengerti.”
Arvin menyaksikan momen itu dengan ekspresi khasnya—geli sekaligus prihatin. Ia tahu tuannya bukan sekadar protektif. Tuan Zayn benar-benar jatuh hati, tapi di saat yang sama, musuh mereka semakin dekat.
Mobil mewah Zayn meluncur meninggalkan rumah, diikuti mobil bodyguard di belakangnya. Dari kejauhan, samar terlihat kaca mobil gelap yang menepi perlahan, seolah menunggu. Di dalamnya, seseorang tengah menyalakan rokok, mata tajamnya menatap ke arah gerbang kediaman utama Zayn.
Pengawasan itu sudah dimulai.