Evelyn, melihat kekasihnya, Jack, tengah bercumbu dengan wanita lain, saat ia ingin menunjukkan gaun pengantin yang ia pakai. Namun, Evelyn mengabaikannya, karena ia begitu mencintai kekasihnya. Tapi, bukan berarti tidak muncul keraguan di hatinya.
Sampai, hari itu tiba, saat mereka berdiri di altar pernikahan dan siap mengucapkan janji suci, tiba-tiba tempat mereka di serang oleh orang yang dulu pernah menjadi target mereka. Dia adalah Jacob.
Dia datang untuk balas dendam atas apa yang sudah Jack lakukan padanya. Namun, Jacob justru mencari sosok berinisial L.V, sosok yang sudah mengalahkan nya beberapa tahun yang lalu.
Dan, di sinilah Evelyn menyadari, jika Jack tidak pernah mencintainya dan muncul dendam di hatinya.
Bijaklah dalam berkomentar.
Happy Reading 💜
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutzaquarius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Setelah beberapa hari menjalani perawatan intensif, kondisi Jacob akhirnya mulai membaik. Dokter mengizinkannya pulang.
"Untuk sementara, hindari pekerjaan berat, jangan terlalu stres, dan jaga pola makan. Tidak boleh menyentuh alkohol, setidaknya sampai kondisi lambung benar-benar pulih," pesan dokter dengan nada tegas.
"Baik, Dok. Saya akan memastikan Tuan Jacob mengikuti semua anjuran Anda," seru Dean.
Begitu keluar dari ruang perawatan, Jacob berjalan perlahan, dengan langkah yang masih lemah. Dean sempat menawarkan menggunakan kursi roda, namun Jacob menolak dengan tegas.
Sesampainya di lobby, mereka bertemu dengan Erick yang sudah menunggu. Pria itu segera bangkit dan membantu Jacob masuk ke mobil.
"Biar aku yang mengantarnya pulang, Kau urus saja pekerjaan di perusahaan," ujar Erick pada Dean.
Dean mengangguk, lalu menatap Jacob sekilas sebelum berpamitan.
Mobil pun melaju pelan meninggalkan rumah sakit. Di dalam, hanya suara mesin yang terdengar. Erick berulang kali mencoba memulai percakapan, dengan berbagai topik. Namun, Jacob hanya diam, menatap kosong ke luar jendela.
Sampai akhirnya, tanpa diduga, Jacob berkata, "Berhenti di depan."
Sopir segera menepi, sementara Erick menoleh, bingung. "Ada apa? Apa kau ingin membeli sesuatu?"
Jacob tidak menjawab. Ia membuka pintu dan turun, berjalan ke arah pedagang kaki lima di pinggir jalan.
"Jake! Hei, apa yang kau lakukan?" seru Erick, ikut keluar dari mobil. Ia menatap tidak percaya saat melihat Jacob memesan makanan yang jelas tidak dianjurkan dokter. "Kau baru keluar dari rumah sakit, dan sekarang mau makan itu? Apa kau sudah gila?"
Jacob menatapnya sekilas. "Kau ini cerewet sekali," gumamnya datar.
"Aku begini karena peduli padamu, Jake."
Namun, Jacob seolah tidak mendengar. Ia menerima bungkus makanan dari sang penjual, membayar, lalu berniat menyantapnya di tempat. Tapi, Erick langsung merebutnya dan membuangnya ke tempat sampah.
"Erick!" Jacob menatapnya tajam. "Kenapa kau buang makananku?"
"Karena kau tidak boleh makan sembarangan!” Balas Erick dengan nada tinggi. "Ingat, apa yang kau alami saat sakit. Siapa yang repot? Aku dan Dean!"
Jacob terdiam beberapa saat. Akhirnya, ia berbalik menuju mobil, membuka pintu, dan duduk tanpa berkata apa pun.
Erick mendesah panjang, lalu ikut masuk. Selama perjalanan, Jacob hanya menatap lurus ke depan, diam seribu bahasa, sementara Erick hanya bisa menggeleng, menatap sahabatnya yang kini seperti orang asing.
"Bahkan setelah sembuh pun, kau tetap keras kepala, Jake," gumamnya.
...****************...
Semakin hari, Jacob semakin menunjukkan hal-hal aneh.
Jacob menjadi mudah marah, suasana hatinya berubah-ubah dalam hitungan menit. Kadang diam dan murung, kadang tiba-tiba tertawa tanpa alasan.
Namun, yang paling membuat Erick terkejut adalah kebiasaan baru Jacob yang menyukai makanan asam.
Seperti pagi ini, Erick mendapati Jacob duduk di meja makan, menikmati mangkuk kecil berisi irisan mangga muda dan saus pedas asam.
"Jake!" Erick mendekat dengan ekspresi tidak percaya. "Sejak kapan kau suka makanan seperti itu, hah?"
Jacob mengangkat bahu santai. "Entahlah, tiba-tiba saja aku ingin."
Erick menatapnya tajam. "Kau bercanda, ya? Dulu, kau bahkan muak mencium baunya. Tapi sekarang?"
Jacob hanya meliriknya sekilas. "Sekarang aku menyukainya. Itu masalahku, bukan masalahmu."
Erick menghela napas berat, mencoba sabar. "Jake, dokter melarang mu makan yang asam, apalagi pedas. Kau ingin dirawat lagi di rumah sakit lagi, hah?"
Jacob menggeram kesal, lalu membanting sendoknya ke meja. "Berhenti mengaturku!"
"Aku tidak mengatur mu. Aku hanya berusaha menjagamu, bodoh!" seru Erick dengan meninggikan suaranya.
"Cukup! Aku sudah cukup gila tanpa harus mendengar ocehan mu setiap hari!"
Erick tertegun, menatap Jacob yang kini menatapnya dengan mata berkilat penuh emosi. "Jake, kau kenapa? Ini bukan dirimu." Erick mendekat, namun, Jacob meraih pistolnya dan mengarahkan moncong senjata pada Erick.
"Jangan coba-coba mendekat. Aku hanya butuh ketenangan. Sekali lagi kau ikut campur, aku tidak tahu apa yang akan kulakukan."
Erick membeku di tempat, menatap sahabatnya tak percaya. Ia bisa melihat tangan Jacob bergetar hebat, matanya merah, seolah sedang berjuang menahan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar amarah.
Dalam hati, Erick tahu, Jacob sedang tidak baik-baik saja. Bukan hanya karena sakitnya, tapi karena sesuatu yang lebih rumit sedang menguasainya.
Tapi, Erick memilih mengalah. Dia mengangkat tangannya, berusaha menenangkan situasi. "Baik, Jake. Aku tidak akan memaksamu. Sekarang, letakkan senjata mu."
Jacob tidak menjawab. Ia hanya menunduk, menggertakkan rahang, lalu menaruh senjatanya di meja. Tanpa berkata apa pun, ia berbalik dan pergi ke kamarnya, meninggalkan Erick yang masih berdiri di tempat.
"Apa sebenarnya yang terjadi padamu, Jake?" gumamnya.
Dua minggu berlalu sejak Jacob keluar dari rumah sakit. Kondisinya memang belum sepenuhnya pulih, tapi ia sudah kembali aktif mengurus perusahaan.
Pagi itu, Dean masuk ke ruang kerja Jacob dengan map di tangan.
"Tuan, hari ini ada peninjauan proyek baru di pinggiran kota. Direkomendasikan untuk Anda tinjau langsung," ucap Dean.
Jacob menghentikan aktivitasnya, menatap Dean tajam. "Proyek di pinggiran kota? Seingat ku, kita tidak mempunyai rencana ekspansi di sana."
"Em ... Itu proyek kecil, tuan. Masih tahap awal. Anda pasti lupa."
Jacob tampak ragu, namun setelah Dean terus meyakinkannya, akhirnya ia mengangguk pelan.
"Baik. Siapkan semuanya. Kita berangkat sore ini."
" Baik, tuan."
Beberapa jam kemudian, mereka turun ke lobby. Erick sudah menunggu di sana, bersandar santai di dekat mobil dengan senyum lebar di wajahnya.
"Lama sekali, bos besar," godanya.
Jacob mendengus pelan. "Untuk apa kau di sini?"
"Tentu saja ikut denganmu. Aku bosan di rumah," jawab Erick.
Jacob meliriknya malas, tapi tidak menolak. Mereka berangkat bertiga, menuju lokasi yang di tentukan.
Di dalam mobil, Dean beberapa kali melirik Erick, dan dibalas dengan anggukan kecil, kode bahwa semuanya berjalan sesuai rencana.
Ya, proyek di pinggiran kota itu hanyalah akal-akalan mereka berdua. Sebuah rekayasa untuk mempertemukan Jacob dengan Evelyn, tanpa membuat pria itu curiga. Dean bertugas mengajak Jacob dengan alasan proyek, sementara Erick diam-diam membeli sebidang tanah di kawasan yang dekat dengan cafe, tempat Evelyn bekerja.
Setibanya di lokasi, Jacob turun dari mobil dan memandangi tanah lapang di depannya. Hanya ada hamparan kosong, beberapa pohon liar, dan jalan setapak yang belum diaspal.
Keningnya langsung berkerut tajam. "Proyek apa yang akan kita kerjakan di tanah sekecil ini, hah?" tanyanya dengan suara menekan.
Dean menelan ludah, nyaris terbata. "I-itu ... em, rencana awalnya memang kecil, tuan. Tapi, nanti ... "
"Lihat sekelilingmu!" potong Jacob tajam. "Lingkungannya sepi, akses buruk. Jika kau membangun usaha di sini, kau akan rugi besar. Kau pikir, aku tidak bisa membaca laporan? Kau ingin membodohi ku, hah?"
Dean menunduk, tidak berani menatap langsung. Dari ujung matanya, ia melirik Erick, seolah meminta pertolongan.
"Jake, jangan marah dulu. Mungkin, kelihatannya tidak menarik sekarang, tapi percayalah, sebentar lagi tanah ini akan berguna untukmu," seru Erick.
Jacob menatapnya curiga. "Apa maksudmu?"
Erick tersenyum samar. "Nanti, kau akan tahu. Sudahlah, kita sudah jauh-jauh datang. Lebih baik, kita istirahat sebentar di cafe sana. Aku haus."
"Kau saja!" Jacob berbalik, hendak masuk mobil, namun Erick buru-buru menahannya.
"Jake, kali ini saja. Aku janji, setelah ini kita pulang."
Jacob menatapnya, lalu mendesah berat. "Terserah." Ia melangkah lebih dulu ke arah cafe.
"Baiklah. Aku akan menyusulnya. Kau tunggu di sini, agar aman dari serangan ‘singa betina’," ujar Erick, menepuk pundak Dean.
Dean mengangguk cepat. "Baik, tuan. Semoga berhasil."
Erick menyusul Jacob, berjalan di sisinya sambil mengajaknya bicara Tapi, Jacob hanya diam. Entah mengapa, jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Ada sesuatu, sebuah perasaan yang belum bisa ia pahami.
Dan, saat ia membuka pintu cafe, suara lembut seorang wanita menyambut mereka.
"Selamat datang."
DEG!
Langkah Jacob terhenti. Suara itu, suara yang sangat ia kenal.
Kepalanya perlahan terangkat, dan di balik meja kasir, berdiri Evelyn, dengan seragam cafe sederhana dan senyum kecil yang langsung menghilang begitu mata mereka bertemu.
Eh kok pede ya mereka bakal anaknya kembar 😄