NovelToon NovelToon
Miracle Of Love

Miracle Of Love

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Romansa Fantasi
Popularitas:467
Nilai: 5
Nama Author: Yulynn

Cerita tentang Dewa dan Dewi Cinta yang awalnya saling mencintai. Mereka bertugas di alam manusia untuk menolong dan meringankan penduduk di bawah bukit cinta. Tetapi semuanya musna ketika Dewi Cinta jatuh cinta kepada manusia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulynn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 11

Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Brandon diperbolehkan pulang. Operasi yang dijalaninya berjalan lancar. Hari ini, keluarganya akan menjemputnya untuk kembali ke kota asal. Selama beberapa hari ini, Carissa setia menemani dan bermalam di rumah sakit sebagai wali sekaligus penjaga Brandon. Sementara itu, Sarah sudah lebih dulu kembali karena tugasnya sebagai pemandu wisata di Bali telah selesai dan ia akan segera ditugaskan ke tempat lain.

“Masih sakit?” tanya Carissa, melihat Brandon yang mencoba berdiri.

“Enggak kok,” jawab Brandon sambil tersenyum khas pada Carissa.

“Administrasi sudah selesai. Kata perawat, kamu sudah boleh pulang. Kamu mau balik ke hotel sekarang atau nunggu Mami kamu di sini?” tanya Carissa sambil menyerahkan kwitansi, laporan, dan kantong plastik berisi obat-obatan.

“Di sini aja. Nyokap gue udah di jalan ke sini,” ujarnya sambil menyambut tangan Carissa, masih dengan senyumnya.

“Udah di jalan? Kalau gitu aku balik ke hotel aja ya,” Carissa berusaha menghindari pertemuan dengan ibunya Brandon.

“Loh, tunggu aja Nyokap gue dateng. Nanti biar dianterin sekalian ke hotel,” Brandon menarik lengan Carissa hingga Carissa terhuyung mundur dan menabrak bahunya.

“Eh, maaf! Sakit, ya? Kena jahitannya, ya?” Carissa dengan sigap berbalik, memeriksa jahitan Brandon. Brandon hanya tertawa melihat tingkahnya.

Tiba-tiba, dari balik pintu, seorang wanita cantik setengah baya muncul. Ia mengenakan rok span merah menyala, kemeja putih berbahan satin yang mewah, dan menenteng handbag branded berwarna hitam. "Sayang, kamu nggak apa-apa, kan?" tanyanya dengan nada khawatir.

Wanita itu langsung menghampiri Brandon, seolah tak menyadari kehadiran Carissa yang mundur beberapa langkah untuk memberi mereka ruang. Ia memeriksa Brandon dari ujung kepala hingga ujung kaki, memastikan tidak ada satu anggota tubuh pun yang kurang.

"Gue nggak apa-apa, Mi," ujar Brandon, berusaha menenangkan Maminya yang kini sedang memeriksa jari-jarinya.

"Yakin? Kita harus cek-up ulang sebelum pulang. Mana dokter?"

"Nggak usah, Mi. Gue baik-baik aja, udah bisa loncat-loncat sekarang. Mau lihat?" Brandon bangkit, bersiap untuk melompat.

"Jangan, sayang! Kamu harus istirahat. Kita pulang ke Jakarta ya sekarang, biar Mami rawat kamu di rumah."

"Gue balik ke Jakarta, tapi gue bisa sendiri di apartemen, Mi."

"Kamu mau tinggal sendiri sampai kapan sih, sayang? Mami kangen banget sama kamu." Maminya Brandon tampak sedih, matanya mulai berkaca-kaca.

"Lo tau kan, Mi, gue nggak bisa tinggal bareng Papi. Mungkin setelah Papi nggak ada, baru gue pulang," ujar Brandon dengan nada tegas.

"Jangan gitu dong, Den. Mami beneran kangen kita sekeluarga bisa makan bersama lagi seperti dulu," bujuk Mami Brandon sambil mengeluarkan sapu tangan sutra dari tas Lady Dior-nya, mengusap air mata yang mulai membasahi pipinya.

Carissa berdiri mematung, berusaha setenang mungkin. Percakapan ibu dan anak itu terlalu intim, membuatnya merasa tidak pantas mendengarkan. Dalam hati, ia berharap bisa menghilang seperti Naruto, menggunakan jurus andalannya saat ini juga.

Namun, saat Mami Brandon terisak lebih keras, Carissa tak sengaja berdeham karena terlalu lama menahan napas. Spontan, Mami Brandon menoleh ke arah suara itu.

"Kamu siapa?" tanyanya dengan dahi berkerut. Anehnya, wajahnya nyaris tanpa kerutan, seolah tidak dimakan waktu.

"Ehm..." Carissa berdeham lagi. "Halo, Tante. Nama saya Carissa."

"Mami, dia Carissa yang selama ini jagain gue. Dia juga yang pertama tahu gue pingsan," jelas Brandon singkat. Raut wajahnya langsung berubah, jauh berbeda saat membahas Papi dan rumah.

"Oh... Terima kasih ya, Nak. Siapa tadi namamu?" Mami Brandon melembutkan ekspresinya, lalu menghampiri Carissa.

"Carissa, Tante," jawabnya kikuk saat tangannya digenggam oleh Mami Brandon.

"Kamu pacarnya Brandon?" Mami Brandon bertanya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ada keraguan, kekecewaan, sedikit senang, dan kesan meremehkan.

"Bukan, Tante. Kami baru kenal dan kebetulan bertemu di Bali," jelas Carissa, berusaha menebak isi hati wanita di hadapannya.

"Syukurlah..." Mami Brandon mengembuskan napas lega. "Terima kasih ya, Nak Carissa. Nanti Tante ajak makan enak ya."

"Nggak apa-apa, Tante. Saya ikhlas kok," Carissa merasa lega karena Mami Brandon tidak bersikap buruk padanya, meskipun ia bukan pacar anaknya.

"Gue suka sama Carissa," tiba-tiba Brandon menyela, membuat Mami Brandon langsung melepaskan tangan Carissa.

"Mami sudah menetapkan jodoh untuk kamu. Anak Perdana Menteri di negara ini, apa itu belum cukup memuaskanmu?"

"Gue nggak mau! Gue maunya Carissa!" Brandon bersikeras, lalu bangkit dan meraih tangan Carissa.

Carissa menepis tangan Brandon dengan panik. Ternyata, Brandon dijodohkan dengan anak seorang Perdana Menteri. Ia merasa dirinya hanyalah debu di antara mereka.

"Nggak, nggak, Tante. Saya nggak suka sama Brandon!" Carissa menggeleng-gelengkan kepalanya. "Brandon, bukankah dari awal sudah kubilang aku nggak suka sama kamu?"

"Gue nggak akan nyerah," ujar Brandon dengan tatapan penuh tekad.

"Cukup!" seru Mami Brandon. "Nak Carissa, Tante sangat berterima kasih padamu. Tante janji akan membalas budi, tapi tidak hari ini ya, Nak."

"Iya, nggak apa-apa, Tante. Nggak usah balas budi juga nggak apa-apa kok," Carissa mengerti bahwa kehadirannya sudah tidak diinginkan di sana. Ia meraih tas dan kardigannya dari kursi, lalu berpamitan. "Saya permisi ya, Tante. Cepat sembuh, Den."

"Sa... Saa... Jangan pergi!" Brandon hendak mengejar Carissa yang sudah mencapai pintu, namun Mami Brandon menghalangi jalannya. Carissa membuka pintu dan pergi, meninggalkan Brandon yang terpaku di tempatnya.

Di koridor rumah sakit, Carissa mempercepat langkahnya, seolah ada yang mengejar. Bukan Brandon, tapi perasaannya sendiri. Seharusnya lega, tugas menjaga Brandon selesai, dan ia bebas pulang. Tapi kenapa ada yang mengganjal? Perasaan kehilangan itu aneh, menggelitik hatinya. Carissa menggeleng, berusaha menepisnya. "Nggak, aku nggak suka dia," bisiknya pada diri sendiri. "Bahkan temenan aja kayaknya nggak deh. Bukan tipeku banget!"

Di dalam taksi, Carissa langsung menghubungi Sarah. Dering kedua, suara riang Sarah menyambutnya.

"Gimana, udah kelar urusan rumah sakit?"

"Udah, Brandon dijemput Maminya," jawab Carissa datar.

"Cieee... Ketemu calon mertua, nih!" goda Sarah.

"Ih, apaan sih! Tau nggak, Rah, dia itu udah dijodohin sama anak perdana menteri!"

"What?! Terus, kamu kecewa gitu? Sini, aku peluk dari jauh."

"Nggak sih, biasa aja. Tapi sumpah, aku pengen pulang! Kayaknya Bali nggak cocok buatku."

"Oke, tenang, Sayang. Pulang aja, nanti malem kita party!"

"Aku kangen banget sama kamu, Rah..." Suara Carissa bergetar, air mata mulai menggenang.

"Eh, jangan nangis, dong! Aku kan jadi nggak tega. Udah deh, lupain aja semua. Bali emang lagi nggak bersahabat sama kamu."

Carissa menghela napas, berusaha menenangkan diri. Ia kembali ke hotel, mandi secepat kilat, dan membereskan barang-barangnya. Check-out. Bye-bye, Bali! Ia ingin segera pulang, kembali ke rutinitasnya, dan melupakan semua kejadian aneh ini.

"Rah, aku udah di pesawat. Sampai ketemu!" pesannya singkat.

Carissa mengirim pesan singkat ke Sarah begitu ia duduk di kursi pesawat. Jari-jarinya gemetar, bukan karena takut terbang, tapi karena perasaan campur aduk yang menyesakkan dada. Ia memejamkan mata, berharap waktu bisa dipercepat, melenyapkan semua momen yang membuatnya bimbang. Air mata lolos begitu saja, membasahi pipinya yang dingin. Ia sendiri tak mengerti mengapa suasana hatinya begitu buruk hari ini. Ia hanya ingin bersandar pada seseorang, menangis sejadi-jadinya, meluapkan semua emosi yang terpendam.

Saat pikiran itu melintas, ia merasakan seseorang memakaikan penutup mata padanya. Sentuhan lembut itu membuatnya tersentak kaget, namun suara hangat dan menenangkan di telinganya mampu meredakan ketegangan.

"Tidurlah dengan nyaman," bisik suara itu.

Kemudian, ia merasakan seseorang meletakkan kepalanya di bahu yang bidang dan kokoh. Ajaibnya, Carissa merasa terhipnotis oleh suara dan perlakuan pria asing itu. Ia menurutinya tanpa ragu, membiarkan dirinya terlelap dalam tidur yang nyenyak.

Carissa terbangun saat seorang pramugari membangunkannya, memberitahukan bahwa pesawat telah mendarat. Ia mengerjap, berusaha menyesuaikan diri dengan kegelapan yang ternyata berasal dari penutup mata yang masih terpasang.

"Maaf, Ibu, pesawat sudah mendarat. Apakah ada barang bawaan di bagasi yang perlu saya bantu turunkan?" tanya pramugari itu dengan ramah.

"Tidak ada, hanya ini saja," jawab Carissa sambil menunjuk tas selempang yang dibawanya.

"Baik, Ibu. Silakan turun dengan hati-hati," ucap pramugari itu, lalu berbalik hendak pergi.

"Eh... Mbak... maaf," panggil Carissa, ragu memanggil pramugari itu dengan sebutan "Ibu" atau "Mbak".

"Iya, Ibu? Ada yang bisa saya bantu?"

"Ehm... tadi... apakah ada seorang pria yang duduk di samping saya?" tanya Carissa, berharap mendapat jawaban yang memuaskan.

"Benar, Ibu. Bapak itu meminta saya untuk membangunkan Ibu setelah semua penumpang turun," jawab pramugari itu.

"Apakah saya boleh tahu nama bapak itu?" tanya Carissa, meski tak yakin akan diberi tahu.

"Sebentar ya, Ibu," jawab pramugari itu, lalu pergi meninggalkan Carissa.

Carissa beranjak dari kursinya dan mengikuti pramugari itu. Ia melihat pramugari itu sedang memeriksa nama dari sebuah kertas kecil.

"Nama penumpang yang terdaftar di kursi C12 adalah Bapak Richard Henry, Ibu," ujar pramugari itu.

Carissa mengucapkan terima kasih, lalu berjalan keluar dari pesawat. Meski ia berhasil mendapatkan nama pria itu, tetap saja rasanya seperti mencari jarum di tumpukan jerami karena ia tak melihat wajahnya. Namun, ia tak bisa melupakan suara hangat pria itu, suara yang lembut dan mampu menenangkannya seketika. Untuk pertama kalinya, ia tidur bersandar di bahu seorang pria asing, namun rasanya seolah ia telah mengenalnya sejak lama. Sentuhan itu, suara itu, membuatnya merasa nyaman dan aman, sesuatu yang sudah lama tak ia rasakan.

1
suhardi wu
ceritanya menarik, gaya bahasanya mudah dimengerti. mantap lah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!