Erlin, gadis mandiri yang hobi bekerja di bengkel mobil, tiba-tiba harus menikah dengan Ustadz Abimanyu pengusaha muda pemilik pesantren yang sudah beristri.
Pernikahan itu membuatnya terjebak dalam konflik batin, kecemburuan, dan tuntutan peran yang jauh dari dunia yang ia cintai. Di tengah tekanan rumah tangga dan lingkungan yang tak selalu ramah, Erlin berjuang menemukan jati diri, hingga rasa frustasi mulai menguji keteguhannya: tetap bertahan demi cinta dan tanggung jawab, atau melepaskan demi kebebasan dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Erlin membuka matanya dan melihat dirinya yang sedang berada di rumah sakit dengan tangannya yang sedang terpasang selang infus.
"Sayang, syukurlah kalau kamu sudah sadar." ucap Abimanyu sambil mencium kening istrinya.
"M-mas, anak kita baik-baik saja, kan?" tanya Erlin.
"Iya sayang, anak kita baik-baik saja." jawab Abimanyu sambil membelai pipi istrinya.
Erlin meminta Abimanyu untuk rujuk dengan Riana demi bayi yang sedang dikandung oleh Riana.
Abimanyu terdiam lama mendengar permintaan istrinya.
Matanya menatap Erlin dengan campuran haru, bingung, dan sakit hati.
“Lin, kamu sadar nggak apa yang kamu ucapkan barusan?” tanya Abimanyu dengan suara bergetar.
Abimanyu menundukkan kepalanya, genggaman tangannya pada jemari Erlin semakin erat.
“Lin, kamu istriku. Kamu yang Allah titipkan untuk aku jaga, untuk aku lindungi. Bagaimana mungkin kamu justru meminta aku menikahi lagi wanita yang jelas-jelas berusaha merusak rumah tangga kita?” ucap Abimanyu dengan air matanya yang menetes.
“Mas, aku hanya takut kalau anak yang ada di kandungan Riana nanti lahir tanpa ayah. Aku nggak tega, Mas, aku tidak ingin ada anak yang tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah.”
Air mata Erlin menetes, membuat hati Abimanyu semakin perih.
Ia mengusapnya lembut sambil menggelengkan kepalanya.
“Sayang, anak itu bukan tanggung jawabku. Kamu tahu sendiri, setelah talak jatuh, semua sudah selesai. Kalau pun benar dia hamil, biarlah hukum Allah yang menentukannya. Jangan kamu rela disakiti hanya karena rasa iba yang salah tempat.”
Erlin terdiam, hatinya berperang antara kebaikan dan keteguhan rumah tangga yang ingin ia jaga.
Abimanyu mencium tangan istrinya penuh takzim.
“Lin, aku mohon. Jangan pernah meminta aku untuk kembali ke Riana. Bukan karena aku benci, tapi karena aku tidak ingin mengulang kesalahan. Kamu dan bayi kita adalah amanahku. Aku lebih memilih menjaga kalian daripada harus membuka luka baru.”
Erlin menatap wajah suaminya yang begitu tulus. Rasa bersalah dan takut masih ada, tapi perlahan hatinya luluh oleh ketegasan Abimanyu.
“Mas, aku hanya ingin yang terbaik…,” bisiknya.
Abimanyu tersenyum tipis sambil menghapus sisa air mata di pipi istrinya.
“Yang terbaik itu ada di depan mataku sekarang… kamu, Lin. Percayalah, Allah bersama kita. Kita akan lalui semua ini bersama.”
Erlin menganggukkan kepalanya dan mencium punggung tangan suaminya.
Disaat sedang mengobrol tiba-tiba perawat masuk membawa makan siang untuk Erlin.
Erlin langsung menutup hidungnya dan meminta perawat membawanya lagi.
"Sayang, kamu kenapa?"
Erlin mengambil plastik dan langsung muntah disana.
Perawat dan Abimanyu langsung panik melihat kondisi Erlin.
“Bu, tenang dulu, itu wajar pada ibu hamil, terutama di trimester pertama. Namanya morning sickness, kadang bisa terjadi siang atau malam juga,” ucap perawat sambil buru-buru membantu Erlin duduk lebih tegak.
Abimanyu mengusap punggung istrinya pelan, wajahnya penuh khawatir.
“Sayang, pelan-pelan ya. Abi di sini…”
Setelah muntahannya reda, Erlin tampak lemah, keringat dingin bercucuran di keningnya.
Abimanyu cepat mengambilkan tisu dan membersihkan wajahnya dengan penuh kasih.
Perawat mengganti makanan yang tadi dibawa dengan bubur hangat yang lebih lembut aromanya.
“Coba nanti dicicip sedikit, Bu Erlin. Kalau masih mual, akan kita carikan alternatif makanan yang lebih ringan.”
Erlin mengangguk pelan, tapi matanya lebih dulu menatap Abimanyu dengan rasa bersalah.
“Maaf ya, Mas. Aku jadi merepotkan…”
Abimanyu langsung menggenggam tangannya erat, menatapnya dengan senyum penuh cinta.
“Sayang, kamu nggak pernah merepotkan aku. Semua ini justru membuat aku semakin bersyukur, karena sebentar lagi kita akan punya buah hati. Biarlah Abi yang jaga kamu, jangan mikirin yang lain.”
Air mata Erlin kembali menetes, bukan karena sedih, tapi terharu dengan ketulusan suaminya.
Perawat lalu pamit setelah memastikan kondisi Erlin stabil.
Sebelum keluar, ia sempat berpesan kepada Abimanyu.
“Pak, untuk sementara pastikan Bu Erlin makan makanan yang ringan, hindari aroma terlalu menyengat, dan jangan sampai stres. Itu sangat berpengaruh ke kandungan.”
“InsyaAllah, saya akan jagain dia sebaik mungkin.”
Setelah ruangan kembali sepi, Abimanyu duduk di sisi ranjang, menatap wajah istrinya yang mulai tenang.
“Lin, mulai sekarang kamu nggak usah mikirin yang lain. Fokus aja sama kesehatan kamu dan bayi kita. Soal Riana, biar Abi yang urus. Kamu cukup jaga diri dan anak kita.”
Erlin menganggukkan kepala dan merebahkan tubuhnya.
"Mas, tolong hubungi Billy untuk segera kesini. Bilang ke Billy untuk bawa bensin." pinta Erlin.
"Bensin? Untuk apa sayang?"
"Entahlah, Mas. Aku ingin mencium aroma bensin."
Abimanyu mengambil ponselnya dan segera menghubungi Billy yang ada di bengkel.
Billy yang mendengarnya langsung tertawa kecil dan ia mengatakan kalau segera ke rumah sakit.
Abimanyu masih memegang ponselnya dengan wajah bingung. Ia menoleh pada istrinya, mencoba memastikan.
“Sayang, kamu yakin mau mencium aroma bensin? Itu bahaya lho, apalagi buat ibu hamil,” ucap Abimanyu dengan nada khawatir.
Erlin menutup wajahnya dengan bantal, lalu mengangguk pelan.
“Mas, aku nggak ngerti kenapa. Tapi aku benar-benar pengen. Hidungku malah mual kalau cium makanan, tapi anehnya aku malah kepikiran bensin.”
Abimanyu menghela napas panjang. Ia tahu itu bagian dari ngidam, meski permintaannya terasa aneh.
Tak lama, pintu diketuk. Billy masuk dengan wajah heran sambil membawa botol kecil berisi bensin.
“Abi, seriusan ini buat Erlin? Ngidam kok bensin, sih?” Billy tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.
Erlin langsung bangkit setengah duduk, matanya berbinar saat melihat botol itu.
“Billy, cepat kasih ke aku.”
“Pelan dulu, Lin. Jangan dekat-dekat banget. Cukup kamu cium sebentar aja, jangan lama.”
Erlin mengangguk cepat. Billy menyerahkan botol kecil itu, dan Erlin mendekatkannya ke hidungnya sebentar. Anehnya, setelah itu wajahnya jadi lebih tenang.
“Alhamdulillah… Mas, sekarang aku nggak mual lagi,” ucapnya sambil tersenyum lemah.
Abimanyu dan Billy saling pandang, lalu Billy tertawa lagi.
“Ya ampun, Lin. Ini beneran ngidam paling aneh yang pernah aku lihat. Untung aku anak bengkel, kalau nggak repot juga nyari bensin ke rumah sakit.”
Abimanyu hanya bisa menggeleng, tapi ia tersenyum tipis melihat istrinya bahagia.
“Asal kamu sehat dan bayi kita baik-baik saja, Abi rela ngelakuin apa pun. Tapi janji ya, jangan keterusan. Nanti bahaya.”
Erlin mengangguk manja, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Abimanyu.
“Iya, Mas. Aku janji. Makasih ya, Mas, sudah nurutin keinginanku.”
“Kayaknya aku harus siap-siap sering dipanggil kalau ngidamnya makin aneh-aneh. Semoga aja besok nggak minta oli atau knalpot.” ucap Billy sambil menyilangkan tangannya.
Mereka berdua langsung tertawa kecil mendengar perkataan dari Billy.
Erlin melirik ke arah suaminya dan memintanya untuk membelikan roti bakar.
"Dengan senang hati suamimu ini akan membelikan roti bakar,"
Abimanyu meminta Billy untuk menjaga Erlin agar tidak sendirian di rumah sakit.
Billy menganggukkan kepalanya sambil mengacungkan jempolnya.