Enam bulan pernikahan Anindia, badai besar datang menerpa biduk rumah tangganya. Kakak sang suami meninggalkan wasiat sebelum meninggal. Wasiat untuk menjaga anak dan juga istrinya dengan baik. Karena istri dari kakak sang suami adalah menantu kesayangan keluarga suaminya, wasiat itu mereka artikan dengan cara untuk menikahkan suami Nindi dengan si kakak ipar.
Apa yang akan terjadi dengan rumah tangga Nindi karena wasiat ini? Akankah Nindi rela membiarkan suaminya menikah lagi karena wasiat tersebut? Atau, malah memilih untuk melepaskan si suami? Ayok! Ikuti kisah Nindi di sini. Di, Wasiat yang Menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#28
"Dasar wanita jahat pembawa masalah. Dia itu biang masalah yang sangat nyata untuk keluarga kita. Huh! Andai saja kak Afi tidak bertemu dengannya dulu. Semua pasti tidak akan jadi seperti ini. Kakakku juga tidak akan semenderita sekarang."
"Iya. Kamu benar, Hana. Andai anakku tidak bertemu dengan wanita itu. Ah, tapi biarkanlah. Nanti, saat acara pernikahan kamu, dia harus kita undang."
"Ah, mama. Kok malah kepikiran mau undang dia sih? Aku gak setuju lho ya."
"Eh ... tentu saja harus undang dia. Aku ingin buat dia melihat seperti apa bahagianya keluarga kita. Aku ingin dia menyesal karena telah memilih bercerai dan membuat anakku terluka seperti sekarang."
"Perempuan yang tidak tahu bersyukur itu harus diberi pelajaran. Udah datang dari keluarga yang tidak mampu. Eh ... malah bertingkah. Harusnya dia itu bersyukur sudah bisa menikah dengan anakku yang punya banyak kelebihan. Tapi, eh ... malah tamak." Nisa bicara panjang lebar dengan perasaan kesal.
Manusia yang satu ini paling suka merasa benar sendiri. Padahal, dia sama sekali tidak merasakan seperti apa ada di posisi Nindi. Dia hanya berpikir apa menurut egonya saja. Tidak mempertimbangkan sedikitpun kesalahan yang telah keluarganya lakukan. Sungguh manusia yang hati nuraninya sudah mati atau tidak lagi berfungsi.
Di sisi lain, makan malam antara Nindi dan Sadan juga berjalan dengan sangat baik. Sikap manja yang seperti kekanak-kanakan yang melekat di diri Sadan tidak membuat Nindi merasa risih. Sebaliknya, dia merasa sangat terhibur akan sikap yang pria itu perlihatkan.
"Lain kali, kita makan lagi ya, Nin."
"Eh, nggak. Kan ini adalah-- "
"Oh, tidak. Aku akan tetap berusaha agar bisa ajak kamu makan malam bersama lagi."
"Usaha, nona. Usaha."
Setelah berucap, Sadan langsung berjalan cepat. Yah, seperti anak-anak yang sedang dijaga oleh pengasuhnya. Begitulah Nindi dan Sadan saat ini. Pria itu sungguh berbeda dari pria-pria yang sebelumnya pernah Nindi kenal.
Namun, walaupun begitu, Sadan terkenal cukup perhatian. Cukup spesial dengan ciri khas yang dia punya. Intinya, Sadan punya kelebihannya tersendiri yang cukup mampu membuat Nindi merasa nyaman akan keberadaannya di sisi Nindi untuk saat ini.
*
"Afi. Mama mau bicara, jangan ke kantor dulu."
"Ada apa, Ma? Katakan dengan cepat. Karena di kantor, aku punya banyak pekerjaan."
"Mama ingin bicara soal kamu yang jarang sekali pulang ke rumah akhir-akhir ini. Kenapa, Fi? Kenapa kamu semakin jarang pulang? Kamu gak kasihan sama-- "
"Aku punya banyak pekerjaan di kantor, Ma. Jadi, aku harap mama mengerti."
Baru juga Nisa ingin mengangkat bibir buat bicara, Afi malah sudah angkat bicara duluan.
"Jika tidak ada yang mau dibicarakan lagi, aku berangkat sekarang, Ma."
Selesai berucap, Hanafi langsung menarik langkah kaki untuk menjauh. Nisa langsung menahannya dengan cepat.
"Hanafi. Tunggu!"
Kaki itupun berhenti bergerak. Dengan malas, Afi menoleh. "Apa lagi, Ma?"
"Pikirkan tanggung jawab mu pada Desi, Afi. Kamu adalah suaminya. Kenapa kamu bikin dia seolah tidak punya suami, Nak?"
"Aku sudah menikahinya sesuai wasiat kak Ali, Ma. Apa lagi yang mama mau? Bukankah aku hanya perlu menikah dengannya sebagai suami? Dan aku telah melakukannya. Lalu sekarang, apa lagi yang mama harapkan? Aku hanya menikah karena wasiat, bukan karena rasa cinta. Tidak pula karena ingin bertanggung jawab atas hidupnya."
Sontak, ucapan itu langsung membuat mata Nisa membelalak. "Afi! Kamu! Apa yang kamu katakan?" Kesal Nisa bukan kepalang.
Tapi Hanafi yang telah mati rasa, tentu saja tidak lagi ingin bicara panjang lebar. Tidak pula ia pedulikan lagi amarah dari mamanya itu. Tanpa menanggapi ucapan Nisa terlebih dahulu, Afi kembali melanjutkan langkah kakinya.
Dia tinggalkan kamar sang mama dengan langkah besar. Tidak dia pedulikan apapun tanggapan mamanya atas kepergiannya saat ini. Baginya, menjauh adalah cara terbaik untuk tetap menjaga sisa kewarasan yang dia miliki.
Namun, langkah kaki Afi tiba-tiba terhenti saat pintu kamar itu terbuka. Karena di depan pintu tersebut ada Desi yang sedang berdiri tegak sambil menatap sedih ke arahnya.
"Hanafi."
"Desi."
"Kamu, mau ke mana?"
"Kerja."
"Bisa bicara sebentar?"
"Sepertinya, ti-- "
"Ku mohon. Ayo, bicara."
"Maaf, Des. Nanti saja bicaranya. Aku harus pergi bekerja. Ini sudah waktunya aku kerja. Bicara bisa lain kali saja."
"Tapi-- "
Tidak ada tanggapan lagi yang Afi berikan. Karena setelah berucap, Hanafi langsung beranjak meninggalkan Desi di sana. Ketika langkahnya bergerak beberapa langkah, Lena memanggil namanya. Sayang, panggilan itu juga Afi abaikan. Hatinya terlalu malas untuk menanggapi keluarganya sekarang. Dari pada semakin lama, kesadarannya semakin hilang, lebih baik dia memilih untuk menjauh dari mereka semua.
"Om papa." Lena terlihat sangat sedih ketika dia mengulang panggilan untuk Afi.
Gadis kecil itupun akhirnya berlari mendekati mamanya. "Mama. Om papa tidak lagi sayang Lena."
Desi ikutan sedih. Tapi, sebisa mungkin dia berusaha untuk terlihat tegar. "Tidak, sayang. Om papa sedang sibuk. Jadinya, dia tidak mendengar panggilan dari Lena."
"Tapi, om papa."
"Ada apa ini, Desi? Lena kenapa?" Nisa yang baru muncul setelah mendengar keributan kecil di depan pintu kamarnya.
"Om papa tidak mendengar panggilan Lena, nenek." Lena mengadu pada Nisa.
Ucapan yang langsung membuat Nisa jadi ikutan sedih. Dia alihkan pandangannya dari Lena ke Desi. "Benar itu, Des?"
Desi langsung mengangguk pelan. "Iya, Ma. Afi mengabaikan panggilan Lena."
"Anak itu semakin menjadi-jadi saja sekarang. Dia semakin tidak bisa aku ajak bicara lagi. Benar-benar sudah tidak sama dengan Afi yang dulu lagi."
"Lena. Cari tante Hana dulu ya. Nenek ingin bicara sama mama."
Desi pun mengangguk agar Lena mau menemui Hana. Setelahnya, setelah dibujuk, anak itupun akhirnya mau mencari bibi bungsunya.
Nisa mengajak Desi masuk kamar untuk bicara lebih nyaman. Merekapun masuk ke dalam bersama-sama. Lalu, duduk di sofa yang ada di kamar tersebut.
"Desi. Sebaiknya, kamu berencana untuk punya anak lagi. Mungkin, dengan cara ini, Afi bisa sedikit lebih lembut pada kalian. Obsesinya pada perempuan jal*ang itu juga akan berkurang nantinya. Jika kalian punya anak, mama yakin, Afi akan tunduk padamu. Karena selama ini, dia sangat ingin punya anaknya sendiri."
Desi terdiam. Sejujurnya, bukan dia tidak ingin mendengarkan saran yang baru saja mama mertuanya sampaikan. Malahan, rencana itu sebelumnya juga sudah mampir ke dalam benak Desi.
Hanya saja, untuk punya anak. Masalah besarnya ada pada dia. Setelah melahirkan Lena, Desi mana bisa punya anak lagi. Rahimnya bermasalah waktu itu, punya anak satu saja adalah keajaiban bagi dia.
"Desi."
"I-- iya, Ma."
"Kenapa kamu diam saja? Kamu tidak siap untuk punya anak lagi?"
"Iy-- iya, bukan tidak siap, Ma. Hanafi tidak mudah untuk diajak melakukannya. Jangankan berhubungan sebagai pasangan suami istri. Bicara dengan dia saja aku sangat sulit sekarang," ucap Desi beralasan.
anak selingkuhan desy..
kmu pasti bisa melewatix ,ad x
dukungan ayah mu nin...
sdh gk layak dipertahan kan rmh tangga mu nin...
tinggalkan afi .sdh gk ad yg pantas
pertahan kan ,jangan paksakan untuk
melewati kerikil2 itu ...
semoga pd menyesal ntt x setelah pisah sma nindi...biar tau rasa
itu karma mu.desi enak kan, dah rahim rusak gk bisa punya anak pelakor lagi. iuhh amit amit.
mnikah diatas derita wanita lain kok mau bhgia, nyadar lah kau itu pelakor.