perjuangan seorang pemuda untuk menjadi lebih kuat demi meneruskan wasiat seorang pendekar terdahulu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kelana syair( BE), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketua perguruan bambu kuning
Dengan usaha keras dan pantang menyerah, akhirnya sampailah orang itu di bawah air terjun yang ditujunya. Ia langsung menenggelamkan kepalanya ke dalam kolam air terjun tersebut.
Setelah cukup lama berendam, ia mengangkat kepalanya dan minum sepuasnya. Rasa segar dan nikmat begitu terasa saat air membasahi tenggorokannya.
Wajar saja ia begitu menikmatinya, sebab selama tujuh tahun ia tidak pernah makan maupun minum. Selama itu, ia bersemedi dan bertapa brata demi mendapatkan kesaktian yang didambakannya.
Setelah puas, orang itu menatap ke langit sambil tertawa terbahak-bahak. "Hahaha... hahaha!" Suara tawanya yang keras dan menggelegar membuat burung-burung beterbangan dan pepohonan bergetar.
"Akhirnya, setelah tujuh tahun, aku berhasil menyelesaikan semediku!" katanya, lalu kembali tertawa. "Hahaha... hahaha!"
Namun, tawanya mendadak terhenti. Telinganya yang tajam menangkap sebuah gerakan kecil dari semak-semak di sampingnya.
Ia kemudian menghentakkan kakinya ke tanah, membuat sebutir batu kecil melayang di hadapannya. Dengan gerakan cepat, ia menyambar batu itu dan melemparkannya ke arah semak-semak. Weess... dees! Orang itu tersenyum tipis, tahu bahwa lemparannya mengenai sasaran.
Ia pun melangkah menghampiri semak-semak untuk memeriksa. Senyumnya melebar saat melihat seekor kelinci terkapar dengan kepala pecah di baliknya. Matanya berbinar-binar karena merasa beruntung mendapatkan santapan di saat perutnya keroncongan.
"Dewata benar-benar berpihak kepadaku, tahu apa yang kubutuhkan," ucapnya dengan hati senang. Ia mengambil kelinci itu dan mengulitinya dengan pisau yang terselip di pinggang.
Setelah selesai, dengan semangat ia mengumpulkan ranting kering di sekitarnya. Ketika ranting sudah cukup banyak, ia menjentikkan jarinya dan seketika api berkobar membakar tumpukan ranting itu.
Melihat api sudah siap,ia pun meletakkan daging kelinci di atasnya. Aroma harum kelinci panggang segera tercium di penjuru tempat itu. Karena apinya cukup besar, tidak butuh waktu lama hingga daging kelinci itu matang.
Melihat santapannya sudah siap, orang tersebut langsung melahapnya tanpa peduli daging itu masih panas. Ia merasakan kenikmatan tiada tara setelah sekian lama bertahan hidup dengan perut kosong.
Saat sedang asyik menikmati daging kelinci bakar, tiba-tiba tujuh sosok berpakaian serba kuning muncul di hadapannya entah dari mana. Ketujuh orang itu langsung membungkuk, memberikan hormat kepadanya. Namun, orang tersebut tidak tampak terkejut dan seolah tidak peduli dengan kehadiran mereka.
"Hormat kami kepada Ketua Rogodaru. Kami ucapkan selamat atas keberhasilan Ketua menyelesaikan semedi selama tujuh tahun," ucap mereka serempak.
Orang tua yang ternyata bernama Rogodaru itu mengangkat kepala, matanya memperhatikan mereka satu per satu, mencari seseorang di antara orang yang datang itu. Namun, ia tidak melihat orang yang dicarinya di sana.
"Hmm... kenapa Parawala tidak ikut datang menjemputku?" batinnya.
"Saba Langit, di mana pakaianku?" tanya Rogodaru pada salah satu dari mereka.
Seorang pria paruh baya yang rambutnya sudah sebagian memutih maju ke depan. Wajah orang bernama Ki Saba Langit itu terlihat tegang, menyembunyikan kecemasan yang mendalam.
"Ini pakaian Ketua," ucap Ki Saba Langit sambil menyerahkan pakaian yang dibawanya dengan kepala tertunduk.
Rogodaru menyambar pakaian itu, lalu menuju ke balik sebuah batu besar untuk berganti pakaian. Ki Saba Langit menunggu dengan hati tidak tenang, karena ia tahu hukuman berat mungkin sudah menantinya.
Tak lama kemudian, Rogodaru keluar dari balik batu dengan pakaian kuning yang sudah melekat di badannya.
"Saya ucapkan selamat sekali lagi atas keberhasilan Ketua. Bahkan, Ketua saat ini sudah mencapai tingkat dewa tahap akhir. Ini merupakan sebuah kemajuan besar untuk perguruan kita," Ki Saba Langit menyanjung Rogodaru setinggi-tingginya.
"Sudahlah, kau tidak perlu menyanjungku seperti itu. Kulihat raut mukamu pucat, apa kau sedang sakit, Saba Langit?" tanya Rogodaru.
"Ti-tidak, Ketua. Saya baik-baik saja," jawab Ki Saba Langit dengan suara tersendat.
"Kalau begitu, ayo kita kembali ke Perguruan Bambu Kuning. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Parawala, anakku," ucap Rogodaru.
"Ba-baik, Ketua," sahut Ki Saba Langit dengan muka yang semakin pucat mendengar Ketua Perguruan itu menyebut nama Parawala.
Rogodaru lalu melesat pergi meninggalkan tempat itu, diikuti oleh ketujuh orang di belakangnya.