Setelah kecelakaan yang merenggut nyawa ibunya dan membuatnya buta karena melindungi adiknya, pernikahan Intan dibatalkan, dan tunangannya memutuskan untuk menikahi Hilda, adik perempuannya. Putus asa dan tak tahu harus berbuat apa, dia mencoba bunuh diri, tapi diselamatkan oleh ayahnya.
Hilda yang ingin menyingkirkan Intan, bercerita kepada ayahnya tentang seorang lelaki misterius yang mencari calon istri dan lelaki itu akan memberi bayaran yang sangat tinggi kepada siapa saja yang bersedia. Ayah Hilda tentu saja mau agar bisa mendapat kekayaan yang akan membantu meningkatkan perusahaannya dan memaksa Intan untuk menikah tanpa mengetahui seperti apa rupa calon suaminya itu.
Sean sedang mencari seorang istri untuk menyembunyikan identitasnya sebagai seorang mafia. Saat dia tahu Intan buta, dia sangat marah dan ingin membatalkan pernikahan. Tapi Intan bersikeras dan mengatakan akan melakukan apapun asal Sean mau menikahinya dan membalaskan dendamnya pada orang yang sudah menyakiti
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon La-Rayya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tentang Vina
"Kisah dramatis yang kau ceritakan itu diambil dari sudut pandang siapa? Hilda? Haha, kau mungkin harus memikirkan ulang apa yang baru saja kau katakan, dasar orang tua bodoh." Ucap Sean.
"Saya hanya menyampaikan kebenaran." Balas Pak Purnomo.
"Tidak, kau menyampaikan kebenaran yang kau yakini, kebenaran yang kau dengar dari bibir putrimu, putri yang kau akui iri pada kakak perempuannya. Pernahkah kau bertanya pada Intan apa yang terjadi malam itu? Pernahkah kau menanyakan bagaimana perasaannya? Atau pernahkah kau berusaha untuk memahaminya?" Cecar Sean.
Pak Purnomo tetap diam, tidak mengatakan apa pun.
"Lihat, Hilda punya versinya sendiri tentang kebenaran yang mungkin tidak sesuai dengan fakta sebenarnya." Ucap Sean.
"Lalu mengapa Anda begitu yakin pada keyakinanmu terhadap suatu yang Anda sebut sebagai kebenaran yang dikatakan Intan?" Tanya Pak Purnomo.
"Karena dalam kecelakaan itu, dia kehilangan segalanya, Mamanya, penglihatannya, tunangannya, dan keluarga yang dia kira dia miliki. Seseorang yang telah kehilangan segalanya tidak punya alasan untuk berbohong. Rasa sakitnya begitu hebat hingga dia bahkan mencoba untuk bunuh diri. Apa kau benar-benar berpikir dia punya alasan untuk mengarang kebohongan?" Ujar Sean.
Setelah mengatakan hal itu Sean membuka pintu dan pergi, meninggalkan Pak Purnomo yang sedang merenung. Dia berkendara ke kantor dan bekerja hingga siang. Saat hendak mengemasi barang-barangnya dan pulang, sekretarisnya masuk, tampak seperti baru saja melihat hantu.
"Ada apa?" Tanya Sean.
"Pak, Vina dibawa ke rumah sakit. Dia mengalami pendarahan." Jawab Julian.
"Apa?" Sean begitu terkejut.
"Mereka membutuhkan Anda untuk datang ke sana untuk menandatangani surat-suratnya karena dia tidak punya siapa pun yang bertanggung jawab untuk dirinya dan bayinya." Ucap Julian.
Sean kemudian langsung menuju ke rumah sakit karena keadaan darurat. Setibanya di sana, seorang dokter menghampirinya.
"Apakah Anda yang bertanggung jawab atas Vina Aurelia?" Tanya Dokter.
"Ya, apa yang terjadi padanya?" Tanya Sean.
"Ada sedikit masalah, plasentanya ringan. Kondisinya sekarang stabil, dan bayinya baik-baik saja, tapi saya sarankan dia tetap di tempat yang dapat dipercaya dan harus beristirahat total, atau bayi ini tidak akan lahir ke dunia." Jawab Dokter.
"Terima kasih, Dokter. Bolehkah aku menemuinya?" Tanya Sean.
"Tentu saja Pak, seorang perawat akan menemani Anda." Jawab Dokter.
Sean mengangguk setuju dan menuju ke kamar tempat dia mendapati Vina tengah memejamkan mata, tampak tertidur. Sean mengamatinya sejenak dan hendak berbalik ketika Vina menarik lengannya.
"Aku tahu kau akan datang." Ucap Vina.
"Hai, Vina. Dokter bilang kau perlu istirahat." Balas Sean.
"Ya, dia bilang aku berisiko kehilangan bayi kita." Ucap Vina.
"Seolah kau peduli akan hal itu, mengingat kau pernah mencoba menyakiti dirimu sendiri di masa lalu, bukan begitu?" Ucap Sean.
"Tidak, aku hanya ingin menarik perhatianmu. Aku tidak akan pernah menyakiti anak kita." Balas Vina.
"Kita bahkan belum melakukan tes DNA untuk memastikan apakah itu memang anakku." Ucap Sean.
"Ini memang anakmu. Aku tidak akan pernah berbohong tentang itu. Bayi kecil kita sedang tumbuh di sini." Ucap Vina.
Dia menggerakkan tangan Sean yang sedari tadi dipegangnya ke perutnya. Sean menatapnya, lalu menatap tangan mereka yang saling bertautan di perutnya, lalu menarik tangannya menjauh, menjaga jarak.
"Jika dia benar-benar anakku, aku yang akan menjaganya." Ucap Sean.
"Kau? Tidak! Kita akan menikah. Ini keluarga kita, Sean. Kita sudah berencana menikah bukan?" Ucap Vina.
"Apakah menurutmu agak kebetulan bahwa kau hamil hanya beberapa minggu setelah rencana pernikahan itu? Meskipun kau sudah meyakinkanku bahwa kau sudah minum obat pencegah kehamilan?" Ucap Sean.
"Aku pasti lupa beberapa kali minum obat." Balas Vina.
"Kau lebih pintar dari itu, Vina." Kata Sean.
"Kau benar. Waktu kau melamar ku, aku pikir itu waktu yang tepat untuk memulai sebuah keluarga, jadi aku berhenti minum obat. Aku tahu kau ingin jadi seorang ayah." Ucap Vina.
"Ya, aku memang ingin jadi seorang ayah, tapi dengan caraku sendiri. Bukan kau yang memutuskan, tapi aku yang memutuskan." Ucap Sean.
"Apakah kau ingin bilang bahwa kau tidak menginginkan bayi ini?" Tanya Vina.
"Jika itu anakku, aku akan merawatnya dengan baik." Ucap Sean.
"Lihat, kau melakukannya lagi, mengatakan 'aku' seolah-olah kau tidak ingin menyertakan aku." Ucap Vina.
"Dengar, istirahatlah, jaga dirimu dan bayimu, mengerti?" Ucap Sean.
"Aku ingin tahu apa yang kau sembunyikan, Sean. Ingat, aku mengenalmu lebih baik daripada siapa pun. Kita sangat mirip, sama-sama tumbuh di jalanan, harus berjuang sendiri, dan ya, kita berdua pernah melakukan beberapa hal buruk. Itulah yang menyatukan kita, ingat? Kita tak terpisahkan, seperti Romeo dan Juliet." Ucap Vina.
"Masa itu telah berlalu!" Ucap Sean.
"Mungkin, tapi sekarang dengan kehadiran bayi ini, kita perlu sedikit menenangkan diri dan saling menjaga. Kita akan menjadi keluarga yang indah." Balas Vina.
"Kita tidak akan jadi keluarga Vina. Aku menyatakan, bersikeras tentang peranku dengan bayi itu karena aku sungguh tidak bermaksud melibatkanmu. Aku sudah menikah sekarang." Ucap Sean.
"Ayolah Sean!" Seru Vina.
"Aku serius. Aku sudah menikah, dan aku berniat untuk tetap seperti itu. Apa pun yang kita miliki di masa lalu, kini sudah berlalu. Semuanya memang menyenangkan, tapi sekarang sudah berakhir." Ucap Sean.
"Berhenti berbohong. Kau tahu kau mencintaiku." Tegas Vina.
"Mencintaimu? Haha." Sean tertawa.
"Kau menikahi wanita itu hanya untuk menyalahkan dia atas kegiatan ilegal mu, bukan begitu?" Ucap Vina.
Sean menatap Vina dengan terkejut.
"Bagaimana kau tahu hal itu?" Tanya Sean.
"Seperti yang kukatakan, kita berdua sangat mirip, sayangku. Itulah mengapa kita perlu bersama. Kita diciptakan untuk satu sama lain, dan sekarang setelah kita punya bayi, semuanya akan berjalan dengan sendirinya. Wanita itu akan menanggung akibatnya, kau akan menceraikannya, lalu menikah denganku, dan kita akan bahagia." Komentar Vina.
"Itu tidak akan terjadi. Aku tidak akan menyalahkan istriku. Aku..."
Saat Sean berbicara, Vina menyadari ada sesuatu dalam nada suara dan tatapan mata Sean yang menunjukkan bahwa dia memiliki perasaan terhadap istrinya. Vina tak bisa menerima kenyataan itu karena Sean tak pernah menunjukkan perasaan seperti itu padanya.
Vina mengira bayi mereka akan membuat Sean mencintai dan melindunginya selamanya.
Sejak dia tak sengaja mendengar Sean berbicara tentang menikahi istrinya agar istrinya itu menanggung akibat dari segala perbuatan Sean, Vina telah mengatur segalanya agar dia bisa hamil. Dan sekarang, setelah akhirnya dia menyebut dirinya tengah mengandung anak Sean, dia tak rela kehilangan posisinya dengan orang asing. Dia harus memastikan Sean tetap bersamanya.
"Ah... Ahh... sakit... ahhh...!" Teriak Vina tiba-tiba.
"Ada apa?" Tanya Sean.
"Sakit sekali. Bayi kita..." Ucap Vina lirih.
"Tunggu, aku akan memanggil dokter." Ucap Sean panik.
"Ahhh... cepatlah." Ucap Vina.
Begitu Sean pergi, Vina tersenyum, tapi terus berteriak.
Tak lama kemudian, dokter tiba di ruangan Vina.
"Apa yang terjadi? Apa yang kau lakukan padanya?" Tanya Dokter itu pada Sean.
"Tidak ada! Dia hanya mulai berteriak kesakitan. Tolong lakukan sesuatu!" Jawab Sean tampak panik.
"Tinggalkan ruangan ini sekarang, Pak." Ucap Dokter itu.
Sean keluar dan Vina, yang telah memerankan rasa sakitnya dengan cemerlang, menunggu dia pergi sebelum meraih lengan dokter itu.
"Aku butuh bantuanmu!" Ucap Vina.
Bersambung...