Ada satu komunitas muda-mudi di mana mereka dapat bersosialisasi selama tidurnya, dapat berinteraksi di alam mimpi. Mereka bercerita tentang alam bawah sadarnya itu pada orangtua, saudara, pasangan, juga ada beberapa yang bercerita pada teman dekat atau orang kepercayaannya.
Namun, hal yang menakjubkan justeru ada pada benda yang mereka tunjukkan, lencana keanggotaan tersebut persis perbekalan milik penjelajah waktu, bukan material ataupun teknologi dari peradaban Bumi. Selain xmatter, ada butir-cahaya di mana objek satu ini begitu penting.
Mereka tidak mempertanyakan tentang mimpi yang didengar, melainkan kesulitan mempercayai dan memahami mekanisme di balik alam bawah sadar mereka semua, kebingungan dengan sistem yang melatari sel dan barang canggih yang ada.
Dan di sini pun, Giziania tak begitu tertarik dengan konflik yang sedang viral di Komunitaz selain menemani ratunya melatih defender.
note: suka dengan bacaan yang berbau konflik? langsung temukan di chapter 20
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Juhidin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chap 16 Melan dan Gas Melon
Ketika semua gadis sudah berkumpul dan Teni sudah melepaskan helm yang dicobanya, Seha mulai bicara.
"Guys, udah ketemu nih next point-nya. Yakni input ulang, dari tulisan tangan ke format digital. Oke. Bawa sini buku tulis lo, Ra. Biar gue yang ngerjain pengetikannya."
"Ya udah. Tunggu ya. Aku ambil dulu."
Ira beranjak pergi meninggalkan bengkel dan di pinggir jalan dia mempercepat langkahnya menuju rumah.
Bengkel dan rumah bersebelahan, tapi lahan kosong dibatasi tembok tinggi dan tidak dilubangi, jadi mereka harus lewat depan, memutar ke sisi jalan bila pilih mode otot seperti Ira.
"Ha, trus kapan nih helm balik ke bentuk asalnya kalo ntar suratnya malah hiatus? Kedua pin udah berhenti update," resah Melan kemudian.
"Lo khan udah banyak ngulang vi-can (visual-cancel) ke helm. Tapi tetep gak efek. Nih bukan ulah lo. Gak usah cemas sama skill telkin lo. Ini lagi jalan ikhtiar lo, Mel."
Tak sampai 5 menit, Ira sudah kembali dengan buku sekolah, tulisannya. Ira langsung memberikannya pada Seha.
"Kalo mau ngetik di dalem aja. Tapi pisi-nya belum aku nyalain."
"Makasih, Cantik," ucap Seha. "Santai. Kibor plus monitor udah ada di sini (Seha menaruh tangan pada helm yang telah disimpan Teni)."
"Oh. Ya udah. Bagus deh."
"Sebelum ngetik gue pendahuluan dulu. Selama lo nyalin isi pin tadi, secara teknis lo lagi meranin mbak Aas, Ra."
Tak ada komentar.
"Siapa Aas? Dia tuh skenaris. Penulis skenario."
Seha mengambil kertas surat yang sudah Teni taruh di meja, masih ada kerutnya bekas remasan yang tak disengaja.
"Pin ini nanti bukan lagi kertas surat. Nasib kertas ini udah lo tulis," beritahu Seha tentang kertas yang baru diambilnya.
Ira duduk mengamati carik kertas yang Seha berikan. Di situ terbaca; TANYAI SALAH SEORANG MENGENAI LOKASI BERIKUT. Saat Ira membalikkan kertas pesan, di situ tak muncul apa-apa, kosong.
Seha memasangkan helm ke kepalanya dibantu oleh Teni, gadis manis yang tadi dikecupinya.
Setelah helm terpasang, siswi ini mulai membuka buku tulis Ira dan mengetik gaya peradaban maju, tangannya tersorot sinar kinetic-detection helm.
Ira lihat jari-jari Seha hanya menyentuh-nyentuh meja sarapan.
Karena Seha mengetik virtual style, otomatis bunyinya bukan tik-tak tik-tak, tapi sat-set..! Sat-set..! Seorang pianis diperbolehkan goyang kepala. Tumplak timblung.. Jreeng!
"Nasib gue sebetulnya bukan di tangan mbak Aas, Ra. Ada di gue sendiri. Empat taon ke belakang tuh gue nyuekin siaran ini."
Melan curhat di tengah Ira menyelami pesan surat.
Melan sudah duduk menyentuh-nyentuh ujung jari manisnya dengan jempol secara berulang-ulang hingga ibu jarinya bagai jarum jahit matic. Rrrrrd!
Nwiiit! Objek segienam muncul mengambang di tengah meja, lalu berubah jadi headset. Glith! Anehnya lagi anti gravitasi dan led-nya menyala. Dit!
"Yang sependrian mendapatkan apa diusahakannya dan sebagian lain menetapi jalan yang telah diikuti. Sungguh, sebaik-baik saksi adalah Dia."
Sumber suara adalah perempuan muda namun bukan suara Melan.
"Uut merdu. Bersahabat. Admin Komunitaz," aku Teni. "Tapi kak Minda juga penting sih sebenarnya."
"Yang laen gak gitu kalimatnya. Beda lagi. Mirip-miriplah maknanya kalo ditafsirkan. Gue ngerti kak Uut lagi bahas apa. Itu larangan gak langsung. Biarpun kalimatnya gitu-gitu aja, tetep ada hubungannya sama langkah gue ke Escort. Dan itu buat ketiga kalinya kak Uut nyampein sewaktu gue udah di depan layar vote."
"Maksudnya tuh kita wajib mikir dua kali sebelum voting, Mel."
"Ya gue khan pengen banget alam ini punya tepi, Ten."
"Jadi lo bodo amat mbak Enik diganti siapa?" tanya April.
"Ya gitulah. Gue ikut-ikutan aja sebenernya. Masalahnya emang penasaran sih protokol tuh kayak gimana bunyinya."
"Gue juga kepikiran gaya-gayaan tuh wah pokoknya gitu deh di mata orang," jujur Teni.
"Siapa yang ngedenger langsung, itu artinya dia sendiri yang harus tanggungjawab atas pilihan dan perbuatannya. Yang sama sekali belum pernah denger siaran itu artinya dia udah ada penanggung jawabnya. Tugas Uut hanya membacakan. Jadi sebagai broadcaster dia emang gak tahu alamat pesan yang dibacanya itu buat siapa," jelas April.
"Emang kak Fani pengen apaan sih sama Lintang?" tanya Melan.
"Fani sih lebih simple. Pengennya Fani hanya ada dia aja sama geng di Komunitaz."
"Gen Tank! Ahahah!"
Naskah surat sudah selesai dialihkan ke format digital, sudah selesai Seha ketik hingga tulisan "..sudahi aktivitasmu, tak perlu mencari barang lagi."
Seha membuka helm. Hembus nafasnya tercium wangi susu di hidung Ira, ditambah aroma Citruz milik Ira sendiri, kesejukan parfum kian mengontras di kepala dan mata Ira.
Ira mengucek-ngucek mata, April segera memberitakan gelombang otak yang terbaca olehnya. "Lo abis minum apa Ha? Nafas lo bikin mata Ira cekas bebas dari debu rem."
"Lo baik-baik aja, Ra?" tanya Seha, tenang bertanya saat Jihan datang untuk menanyakan hal sama tapi keduluan.
"Hu-um," angguk Ira dan senyum pada Jihan.
"Lo gapapa?" tanya Jihan masih tetap mengusap-usap bahu Ira. "Tiap dateng ke bar, kalo pesen minum, dia bilangnya Bubur terus, Ra."
"Emang dikasih kalo gue minta Citruz?" tanya Seha.
Jihan mengulang pertanyaan Seha dengan bibir olokan. "Mang-caci-gicu.. weweweee.."
"Siapa yang mau meranin tokoh Kwek Kwek? Pulang.. Gak ada lowongan."
Seha mengambil buku tulis Ira.
"Aku masuk skenario Kak. Sesuai surat," sadar Ira atas memori yang terlintas di benaknya. "Setelah dia selesai mengetik, anak yang berada di dekatnya memejam hingga mengusapi kedua mata."
"Lo masuk hati ini Ra. Gue juga masuk kamar. Tidur bareng lo. Pokoknya, gak pernah kebangun di kamar Seha. Gitu khan?"
"Hu-um. Terus.." Ira hanya nyengir menahan pipinya yang tiba-tiba memerah, juga ada geli yang sedang mengelitiknya.
"Nih, punya lo," beri Seha. "Peranin mbak Enik, Ra. Soalnya kalo dibaca musuh-gue (Jihan) nasib kertas ini berakhir di mangkuk sarapan."
Seha mengambil kertas yang ada di tangan Ira, menukarnya dengan buku tulis Ira.
"Hore ada Enik gadungan. Bacain dari awal aja Ra," sela Melan. "Kisah yang lo bacain itu nyata. Lagi kejadian di tempat lain. Bacain aja sampai ada sosok tokoh yang datang ke sini."
"Mau pendahuluan?" tawar Seha. "Santai aja. Gue salin tulisan lo apa adanya Ra. Gak nginput rumus keliling lingkaran. Boleh langsung baca ke bab ending, menyangkut nasib kertas ini."
Ira senyum membuka-buka halaman buku tulisnya sambil terus menahan geli dan merah pipi.
"Sajen," bisik Jihan, lalu pergi meninggalkan Ira, kembali ke tempat duduknya.
Ira membiarkan Seha mengacungkan ja-teng pada Jihan yang sudah berada di seberang meja, pura-pura tak melihat seteru dingin kedua sobat akrab.
Srekh, srekh, srekh..!
Setelah halaman yang Ira cari dibuka, dia segera membacakan tulisannya.
"Para pejalan kaki tak mencurigainya. Semua mengira bahwa kantong belanja sengaja digantungkan pada drone tersebut. Padahal itu hanyalah cara sang invisible menghindari pengejaran.
Setibanya di gang yang disebutkan, dia segera masuk ke dalam. Di tengah menapaki lorong, dia membuang drone ke bak sampah yang sedang dilewatinya. Kantong belanja yang bawanya dipeluk erat sambil sesekali mengawas ke arah belakang.
Dia sudah berada di depan dinding yang merupakan ujung dari lorong gang. Beberapa menit kemudian sesuatu yang ditungguinya terlihat pada dinding tersebut. Dia melangkah masuk ke dalam portal yang dibukakan untuknya, membawakan barang yang diminta.
Sudahi aktivitasmu, tak perlu mencari barang lagi."
Sambil mendengarkan Ira membaca, semua mata tertuju ke arah jalan. Mereka melihat objek yang sedang Ira ceritakan.
Zrrthh..!
Garis vertikal tersebut meniru pintu lift, terbuka terbelah dua. Sekantong barang yang terbungkus mengambang keluar dari portal segiempat tersebut.
"Nah lho. Si invisible dateng," Melan.
"Ngapain di situ?" Jihan.
"Diem gitu dia lagi liatin kita kayaknya." Teni.
"Gue gak nangkep suar apa-apa dari kantong plastiknya. Aman Guys. Bukan lagi bawa potongan tubuh." April.
"Siapa dulu nih yang mau ngomong ke dia?" tanya Seha, entah pada siapa. "Ucapin ke dia pesan dari surat ini. Jangan kata yang laen."
"Waduh. Dia jalan ke sini. Bawa apaan sih, Ra?" panik Melan.
"Ngng, i-itu.. Ngng.. Masker."
"Terus?"
"Ngng.."
"Apaan? Cepet. Dia ke sini anjrit."
"Sarung tangan, masker, earphone, ngng.. kacamata. Dia pengen ngembaliin penampakan tubuhnya."
"Sudahi aktivitasmu, jangan mencari barang lagi.." pinta Teni, lalu menerima remasan kertas surat yang diasongkan oleh Seha.
"Kasih ke dia, kata Seha pada Teni.
Kantong berhenti di depan Melan yang sudah menghalangi letak helm. Melan sudah tahu sebagian skenario, tapi entah kenapa membatasi langkah si pembawa kantong.
Teni berdiri dari duduk dan memberikan bola kertas pada si invisible, kertas yang sudah Seha remas-remas. Benda tersebut terapung dari telapak Teni tanda sedang dipegang oleh pembawa kantong.
Perlahan, seiring sentuhannya pada bola yang diambil, penampakan tangan si invisible mulai terlihat mata. Trrthh.. Trrth.. Trrrth..!
"Lo-nya minggir Mel," pinta Seha.
"Ta.. Tapi.."
"Udah. Biarin. Sementara aja."
"Update-nya gimana? Ada lagi gak?"
Seha memeriksa surat, membalikkan kertas yang dipegangnya. Kosong. Tak ada pembaruan.
"Kosong. Hiatus."
Teni diberi barang bawaan oleh si invisible sementara Melan segera disingkirkan di hadapan.
Dukh..!
"Ih, aduh. Permisi dulu kek. Galak banget.."
Si galak masih misterius. Walau tubuhnya sudah sepenuhnya terlihat, dia tetap mengenakan kaos kepala sebagaimana ninja dan pembalap ber-APD.
Melan tak melawan aksi si dingin.
Dada si jaket-hitam sembulan kembar yang dibalut kaos. Dia seorang gadis sebaya dengan Melan, Teni, Seha, dan Ira, memiliki tinggi badan yang sama dengan ke-empatnya.
Dia mengambil helm dan memakainya langsung.
"Halo. Kamu siapa, boleh kami tahu? Saya Teni. Jadi helm ini yang lagi kamu cari?"
Black Girl menoleh pada Teni dan mengangguk kepala.
"Itu punya gue. Hei. Lo gak tau gimana asal-usulnya."