Safira Maharani hanyalah gadis biasa, tetapi nasib baik membawanya hingga dirinya bisa bekerja di perusahaan ternama dan menjabat sebagai sekretaris pribadi CEO.
Suatu hari Bastian Arya Winata, sang CEO hendak melangsungkan pernikahan, tetapi mempelai wanita menghilang, lalu meminta Safira sebagai pengantin pengganti untuknya.
Namun keputusan Bastian mendapat penolakan keras dari sang ibunda, tetapi Bastian tidak peduli dan tetap pada keputusannya.
"Dengar ya, wanita kampung dan miskin! Saya tidak akan pernah merestuimu menjadi menantu saya, sampai kapanpun! Kamu itu HANYA SEBATAS ISTRI PENGGANTI, dan kamu tidak akan pernah menjadi ratu di istana putra saya Bastian. Saya pastikan kamu tidak akan merasakan kebahagiaan!" Nyonya Hanum berbisik sambil tersenyum sinis.
Bagaimana kisah selanjutnya, apakah Bastian dan Safira akan hidup bahagia? Bagaimana jika sang pengantin yang sebenarnya datang dan mengambil haknya kembali?
Ikuti kisahnya hanya di sini...!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moms TZ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31
...***...
Di rumah sakit
Saat ini Bastian berada di dalam ruangan Dokter Daniah. Dia mendapat teguran keras dari Dokter kandungan yang menangani Safira, dan disebut telah lalai menjaga emosi istrinya. Hal itu bisa mempengaruhi kesehatan wanita hamil tersebut terutama mentalnya.
"Maaf, Tuan Bastian. Anda sepertinya lupa dengan pesan saya beberapa waktu lalu. Nyonya Safira memang tampak sehat secara jasmani, tapi tidak dengan mentalnya. Sebagai suami, seharusnya Anda bisa mengantisipasi agar hal itu tidak akan terulang lagi,"
"Nyonya Safira seorang yang sulit mengekspresikan perasaannya. Tekanan demi tekanan yang diterimanya bisa membuatnya depresi. Dan itu tidak baik untuk kesehatan dan pertumbuhan janin yang dikandungnya."
Perkataan Dokter Daniah bagai palu besar yang menghantam dada Bastian dengan telak. Lagi-lagi dia menempatkan Safira dalam posisi sulit dan menjadi pelampiasan yang empuk bagi kemarahan maminya.
Bastian menunduk dalam, tak ada nyali untuk membalas tatapan mengintimidasi dari Dokter Daniah.
"Maafkan atas kelalaian saya, Dokter. Saya berjanji akan lebih memperhatikannya lagi," tekad Bastian.
"Salah jika meminta maaf pada saya, Tuan. Sebaiknya maaf dan janji itu Anda tujukan pada Nyonya Safira istri Anda. Jangan sampai Anda menyesalinya nanti," tegas Dokter Daniah.
Bastian berjalan gontai setelah keluar dari ruangan Dokter Daniah, dengan perasaan campur aduk. Dalam perjalanan menuju ruang rawat Safira, dia memutuskan berhenti sejenak di taman kecil yang ada di samping gedung.
Bastian terduduk dan menghela napas berat yang terasa mencekik tenggorokannya. Merangkum wajahnya sambil menunduk dalam, ia menumpahkan kesedihan atas ketidakberdayaannya. Bahunya tampak bergetar hebat, ada perasaan bersalah, sedih, marah, dan kecewa, bagai kabut yang membelenggu sanubarinya.
"Maafkan aku, Fira. Entah bagaimana aku harus meminta maaf padamu. Kesalahanku terlalu banyak," gumamnya disela isak tangisnya.
Bastian langsung menegang ketika sebuah tangan menepuk bahunya dengan lembut. Segera dia mengusap wajahnya dengan kasar, menghapus sisa airmatanya, tetapi masih tetap menyisakan matanya yang sembab dan memerah.
"Tidak apa-apa jika kamu ingin menangis, Bastian. Papi mengerti apa yang kamu rasakan," ucap Tuan Gustav.
Pria bersahaja itu lantas mendudukkan dirinya di samping Bastian dan merangkul pundak sang putra dengan hangat.
"Papi mungkin belum pernah berada di posisimu saat ini, tapi papi berusaha untuk memahami apa yang kamu alami sekarang,"
"Basuhlah wajahmu dan segera kembali ke ruang rawat Safira. Papi takut dia merasa kecewa saat membuka mata, kamu tidak ada di sampingnya."
Tuan Gustav menepuk pundak Bastian sekali lagi dan merematnya dengan lembut, seakan memberi dorongan moril bahwa sang anak tidak sendirian. Beliau akan selalu ada untuk mendampingi putra semata wayangnya.
***
Safira membuka mata, tepat di saat Bastian membuka pintu ruangan. Tatapan matanya tampak kosong, meski arah pandangnya tertuju pada sang suami.
"Kamu sudah bangun, Sayang?" Bastian datang mendekat dan membelai wajah Safira yang pucat, lalu memberikan kecupan lembut di kening wanitanya.
Safira mengedipkan mata dan airmatanya meluncur begitu saja. Dia tidak tahu harus menjawab apa, dadanya terasa penuh sesak, sehingga membuatnya menarik napas dengan tersendat.
"Kamu tidak apa-apa kan, Sayang? Tolong jangan membuatku takut!"
Tapi Safira tetap menutup rapat mulutnya, lalu memalingkan wajahnya ke samping, pikirannya berkecamuk antara bertahan atau menyerah pada pernikahannya.
Bastian lantas memeluk tubuh ringkih Safira, membuat wanita itu semakin terisak. Ia merasa emosional dan bahunya terguncang hebat. Bastian memeluknya semakin erat. Safira lantas mendaratkan pukulan bertubi-tubi pada dada suaminya, sebagai luapan perasaannya.
Tuan Gustav menyaksikan di balik pintu kaca, dengan mata berkaca-kaca. Beliau merasa bahwa dirinya ikut bertanggungjawab atas apa yang terjadi dengan sang menantu. Diusapnya dengan kasar airmata yang menggenang di pelupuk matanya, lalu menjauh dari tempat itu dengan perasaan tak menentu.
***
Keesokan harinya
Setelah melepas kepergian Abah Unang dan Emak Entin pulang ke kampungnya yang diantarkan oleh sopir pribadi keluarga, Tuan Gustav menahan Farah dan memintanya untuk duduk bersamanya di halaman samping mansion Bastian. Nyonya Hanum pun tak ketinggalan ikut serta karena merasa penasaran apa yang akan dikatakan oleh suaminya itu.
Tuan Gustav menarik napas panjang sebelum dan menatap Farah dengan intens sebelum akhirnya membuka suara.
"Farah, sebelumnya papi meminta maaf padamu, juga atas nama Bastian. Kamu perlu tahu bahwa semua yang telah terjadi bukanlah salah Safira. Dia adalah korban dari keegoisan kami, sehingga menyeretnya masuk ke dalam masalah yang rumit ini..." Kemudian secara detail Tuan Gustav menceritakan bagaimana situasi saat itu, bahwa acara tidak mungkin dibatalkan sementara penghulu sudah hadir. Juga tentang penolakan Safira, tetapi Bastian terus memohon agar bersedia menjadi pengantin pengganti demi harga diri keluarga mereka dan terhindar dari rasa malu.
Lebih lanjut Tuan Gustav juga menuturkan bahwa dirinya juga ikut andil dalam membujuk Safira, sehingga wanita itu akhirnya bersedia.
Farah terisak sambil menutup mulutnya. Semua terjadi karena dirinya. Andai saja dia tak memilih nekad ke rumah sakit pasti semuanya tidak akan terjadi.
Farah sekarang dilanda kebingungan bagaimana harus mengambil sikap. Ia akan tetap meminta Bastian untuk menikahinya, seperti janji pria itu pada orangtuanya, atau merelakan Bastian bahagia dengan wanita lain?
Batin Farah bergolak hebat, perdebatan terjadi dalam hatinya. Melihat bagaimana sikap Bastian pada Safira, ia bisa menyimpulkan bahwa pria itu sangat mencintainya. Farah berada dalam dilema.
Akan tetapi, lain halnya dengan Nyonya Hanum. Beliau tidak terima dan melayangkan protesnya meminta agar Bastian tetap menikahi Farah.
"Bastian harus tetap menikahi Farah, Pi! Kita sudah berjanji pada Arifin dan Meutia akan menikahkan Bastian dengan Farah jika mereka dewasa. Bahkan Bastian dengan sadar telah berjanji di depan Arifin dan bersedia menikah dengan Farah. Jadi, apa yang mesti dirisaukan?"
***
Jreng jreng jreng...
Bersambung
𝚕𝚊𝚗𝚓𝚞𝚝 thur
terus Abian itu suami adzana kan?