Evan dipaksa menikah oleh ayahnya dengan Alya, gadis yang tidak dikenalnya. Dengan sangat terpaksa Evan menjalani pernikahan dengan gadis yang tidak dicintainya.
Evan mulai menjalani kehidupan rumah tangga bersama Alya. Perbedaan karakter dan pola pikir menjadi bumbu dalam pernikahan mereka.
Akankah pernikahan mereka berhasil? Atau mereka menyerah dan memilih untuk berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cemburu
“EHEM!!”
Suara deheman keras dari arah samping, membuat Alya dan Ricky terkejut. Evan yang tanpa sengaja mendengar pertanyaan Ricky pada istrinya, tentu saja merasa keki. Tak kurang lebih dari setengah jam dirinya meninggalkan Alya, ternyata sudah ada kumbang yang mencoba mendekatinya.
Dengan sorot mata tajam melihat pada Ricky, Evan mendudukkan diri di samping Alya. Ricky nampak tak nyaman dengan pandangan Evan yang penuh intimidasi. Alya yang juga tak enak dengan situasi yang terjadi, berusaha meredam keadaan.
“Ricky.. kenalkan ini mas Evan, suamiku.”
Cukup terkejut Ricky mendengar status Alya. Pantas saja pria berwajah blasteran bule ini melihat keki padanya. Ricky mengulurkan tangan pada Evan, lalu menyebutkan namanya. Setelah itu, dia segera pergi meninggalkan pasangan tersebut. Niat hati untuk menjerat gadis, ternyata sang gadis sudah memiliki pawang.
“Sudah selesai?”
“Dikit lagi, mas.”
“Kebanyakan ngobrol, makanya ngga beres-beres.”
Alya memilih tak menanggapi perkataan Evan. Dia meneruskan kegiatannya. Hanya tinggal empat bagian lagi yang perlu diisi. Selesai mengisi formulirnya, Alya segera bangun, hendak mengembalikannya. Evan ikut berdiri, kemudian menemani istrinya itu. Setelah membayar biaya pendaftaran dan mendapatkan nomor untuk mengikuti ujian saringan masuk, keduanya segera meninggalkan kampus.
“Kita sekarang kemana, mas?”
“Ke restoran bang Fariz. Aku kan harus kerja.”
“Kalau gitu aku pulang aja, mas.”
“Kamu ngga mau nemenin aku kerja?”
“Eh..”
Alya jadi bingung melihat sikap Evan. Pria itu tiba-tiba saja bersikap jutek padanya. Tak ingin membuat suasana menjadi lebih kacau, Alya mengikuti saja keinginan suaminya. Evan langsung menjalankan kendaraannya, begitu Alya duduk di belakangnya. Wanita itu memeluk erat pinggang suaminya, karena Evan mengemudikan kendaraan roda duanya dengan kecepatan tinggi.
Bukan tanpa alasan Evan merasa kesal. Setelah dirinya gagal membobol gawang sang istri tadi pagi karena gangguan tetangga dan sukses membuat kepalanya pening. Sesampainya di kampus, dia mendapati seorang pria berusaha merayu istrinya. Tentu saja kepalanya yang sudah panas, tambah berasap, seperti tersiram air panas.
Tak butuh waktu lama untuk Evan sampai di restoran milik kakaknya. Dia memang sudah memberi kabar pada Fariz akan datang terlambat, karena mengantar Alya mendaftar ke kampus. Sambil membawa helmnya, pasangan tersebut masuk ke dalam restoran melalui pintu samping. Restoran sendiri sudah buka sejak satu jam lalu.
Evan langsung mengajak Alya ke ruangannya. Di mejanya sudah terdapat tumpukan kertas yang harus segera diselesaikannya. Evan langsung duduk di belakang meja, dan mulai mengerjakan pekerjaannya. Tinggalah Alya yang hanya duduk-duduk saja seperti orang cengo.
“Mas.. aku boleh keluar ngga?”
“Mau kemana?”
“Ke dapur. Aku mau lihat bang Fariz masak. Boleh, ya?”
“Hem..”
Mendapat lampu hijau dari Evan, Alya segera keluar dari ruangan tersebut. Bergegas dia menuju dapur. Benar dugaannya, Fariz memang sedang berada di dapur, memberikan pengarahan pada anak buahnya untuk jadwal makan siang nanti.
“Semua meja sudah direservasi untuk siang ini. Menu yang dipesan juga sudah saya tempel. Siapkan semua bahan yang diperlukan. Pastikan semua tamu yang datang puas dengan hidangan kita!”
“Ya, chef!”
“Ok, bubar!”
Semua yang berada di dapur segera membubarkan diri. Mereka menuju posnya masing-masing. Ada yang mengurus daging, ada yang mengurus sayuran, ada juga yang mengurus saos. Fariz kembali memeriksa pesanan yang tadi sudah dicatatkan oleh bagian service. Matanya kemudian menangkap Alya yang berdiri tak jauh dari area kitchen.
“Alya,” Fariz terkejut melihat penampilan baru adik iparnya.
“Aku ganggu ngga, bang?”
“Ngga, kok. Kamu tambah cantik,” puji Fariz.
“Makasih, bang.”
“Evan mana?”
“Ada di ruangannya.”
“Udah daftarnya?”
“Udah, bang. Ehmm.. abis dari kampus mas Evan marah-marah mulu. Ngga tau kenapa.”
“Masa? Lagi PMS kali, hahaha..”
Alya ikutan tertawa mendengar jawaban absurd Fariz. Pria itu mengajak Alya menuju ruangannya. Saat melintasi bagian deretan meja, beberapa pengunjung yang merupakan pelanggan restoran ini menyapa pria tersebut. Fariz menghampiri mereka untuk berbincang sebentar, lalu melanjutkan langkahnya memasuki ruangan.
“Kamu sejak kapan pakai hijab?” tanya Fariz seraya mendudukkan diri di sofa.
“Baru hari ini, bang. Aku juga udah resign dari tempat kerja, disuruh mas Evan. Katanya biar aku konsen kuliah aja.”
“Bagus itu. Biar dia aja yang kerja. Kamu belajar yang benar, dan jadi istri yang baik untuknya.”
“Iya, bang.”
Berbincang dengan Fariz membuat Alya semakin senang dekat dengan kakak iparnya itu. Apalagi sikap Fariz berbanding terbalik dengan sikap Evan tadi, yang ketus lengkap dengan wajah masamnya. Alya sendiri tidak tahu di mana kesalahannya, sampai Evan bersikap seperti itu.
“Oh iya, bang. Kira-kira di sini ada lowongan, ngga?”
“Lowongan buat apa?”
“Buat bagian service.”
“Buat siapa?”
“Nana. Sebenarnya aku sama Nana emang udah pengen keluar dari café bu Cheryl. Baru sekarang aku bisa. Sedang Nana belum bisa. Dia juga ngga yakin bisa dapet pekerjaan di tempat lain.”
“Kenapa?”
“Nana kan cuma lulusan SMP. Beruntung bu Tania waktu itu terima dia kerja tanpa lihat ijazah. Tapi sejak dipegang bu Cheryl, dia mulai ngga betah.”
“Gitu, ya. Sebenarnya di sini memang butuh karyawan service lagi. Tapi mungkin sekitar sebulan lagi. Nunggu sampai lantai atas selesai direnovasi. Kalau Nana mau kerja di sini, silahkan aja.”
“Beneran, bang? Soal ijazahnya ngga apa-apa, kan?”
“Ngga masalah. Nana kan udah punya pengalaman di bagian service. Pengalaman lebih penting dari ijazah.”
Senyum terbit di wajah Alya. Ingin rasanya segera memberikan kabar gembira tersebut pada sahabatnya itu. Jika Nana bekerja di sini, sepulang kuliah Alya bisa menemuinya. Karena bukan hanya Nana, tapi Evan juga bekerja di sini.
“Kamu senang banget. Pasti kamu sayang banget ya sama Nana.”
“Iya, bang. Oh iya, makasih juga udah masukin abangnya Nana ke penjara. Biar kapok tuh orang.”
“Kasihan juga Nana, punya kakak kaya gitu.”
“Iya, bang. Salah satu alasan Nana putus sekolah, ya gara-gara abangnya. Dia terpaksa kerja buat bantu orang tuanya biayain sekolah adik-adiknya. Uang tabungan orang tuanya dihabisin sama abangnya.”
Fariz hanya mengagguk-anggukkan kepalanya saja mendengar cerita Alya tentang Nana. Dalam hatinya memuji ketegaran gadis itu. Di tengah himpitan kebutuhan ekonomi, dia memilih bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Tidak tergiur untuk mengambil jalan pintas yang menyesatkan.
Perbincangan keduanya terhenti ketika pintu ruangan terbuka. Evan masuk dengan membawa beberapa lembar kertas. Seperti biasa, dia harus mendapatkan tanda tangan kakaknya itu agar bisa mengeluarkan uang untuk membayar supplier. Tanpa memeriksa lagi, Fariz segera menanda tanganinya.
“Kamu mau di sini apa mau ke ruanganku?” tanya Evan. Wajahnya masih terlihat ketus.
“Aku ke ruangan mas aja.”
Tak ingin membuat Evan marah, Alya bangun dari duduknya. Setelah berpamitan dengan Fariz, Alya bergegas keluar ruangan. Kening Fariz mengernyit melihat tingkah sang adik. Tentu saja itu menggelitik rasa ingin tahunya. Dia sengaja menahan Evan di ruangannya.
“Van.. duduk bentar. Ada yang mau abang obrolin.”
“Soal apa, bang?”
“Sebentar lagi renovasi di lantai dua selesai. Nantinya lantai dua diperuntukkan untuk meeting room aja. Total ada dua meeting room, kapasitasnya untuk 10 dan 15 orang. Andini udah bilang ke aku, dia mau fokus ngurus marketing resto aja. Apalagi sudah banyak yang booking meeting room. Gimana kalau seterusnya kamu yang ngurus keuangan?”
“Tapi abang kan tau aku ngajar.”
“Ya kamu kan masih dosen luar biasa. Kamu ngga harus stay di kampus, kan? Kamu paling ke kampus kalau ngajar aja.”
“Iya, juga sih. Jadwalku udah keluar juga. Semester ini aku ngajar dua mata kuliah, masing-masing tiga kelas. Satu hari aku full di kampus, pagi sampe sore. Satu hari lagi, pagi aja. Jam makan siang udah bebas. Selebihnya nganggur.”
“Ya udah, kamu terusin aja kerja di sini. Lumayan kan buat nambah-nambah gaji kamu.”
“Oke deh, bang.”
“Gitu, dong. Ngomong-ngomong tuh muka jangan ditekuk terus.”
“Ck.. bête aku.”
“Bete, kenapa?”
“Tadi di kampus, ada yang coba gangguin Alya.”
“Hahaha…”
Fariz tak bisa menahan tawanya. Ternyata wajah Evan yang tertekuk karena pria itu tengah dilanda cemburu. Evan mendelik kesal pada sang kakak yang masih menertawakannya.
“Cemburu bilang, bos. Ngga usah marah-marah kaya gitu, hahaha..”
“Rese..”
TOK
TOK
TOK
“Masuk!”
Sinta, pegawai yang bertugas sebagai kasir masuk ke dalam ruangan. Wanita itu menganggukkan kepalanya pada Evan sebelum berbicara pada Fariz.
“Maaf, pak. Tadi Ani telepon, ibunya sakit. Jadinya ngga bisa masuk. Kita kekurangan tenaga di bagian service. Apa saya aja ikut bantu?”
Fariz berpikir sebentar. Jika Sinta ikut membantu, sudah pasti wanita itu akan kerepotan. Apalagi reservasi untuk makan siang terbilang banyak. Kemudian pria itu melirik pada Evan.
“Van.. Alya bantuin dulu ya, di bagian service. Hari ini reservasi makan siang full book.”
“Boleh. Tapi ngga gratis, ya.”
“Ya iyalah.”
“Oke.”
“Ada Alya yang akan gantiin Ani. Kamu tetap di kasir aja,” ujar Fariz pada Sinta.
“Baik, pak.”
Bersama dengan Sinta, Evan keluar ruangan Fariz. Jika Sinta langsung menuju posnya, di belakang meja kasir. Evan kembali ke ruangannya. Alya sudah ada di dalam. Gadis itu tengah memainkan ponselnya untuk membunuh sepi.
“Al.. salah satu pegawai bang Fariz ada yang ngga masuk. Hari ini reservasi penuh. Kamu mau ngga, bantuin? Tenang aja, tenaga kamu bakalan digaji kok.”
“Aku mau, mas. Ngga digaji juga ngga apa-apa. Ini kan restoran bang Fariz, kakaknya mas.”
“Ya ngga bisa gitu, dong. Business is business, kamu keluarin tenaga, berarti harus dibayar.”
“Iya, terserah mas aja.”
“Ayo, aku antar ke belakang.”
Dengan wajah sumringah Alya mengikuti suaminya. Akhirnya dia tidak perlu melewati hari ini dengan kebosanan. Evan membawa Alya ke bagian belakang resto. Dia memperkenalkan Alya pada bagian service. Salah seorang pegawai memberikan celemek pada Alya, agar pakaiannya tidak kotor. Gadis itu segera melakukan pekerjaannya. Menyiapkan meja untuk makan siang.
“Bini gue tuh. Awas, ya. Jaga mata lo pada,” ujar Evan sambil melihat pada crew kitchen.
“Jiaaahhh.. kaga cocok lo jadi cowok posesif, hahaha…”
Defri hanya menanggapi ucapan Evan dengan gurauan. Tak ayal senyum terbit juga di wajah Evan. Sejak kejadian di kampus, dia jadi takut ada laki-laki lain yang mencoba mengganggu istrinya.
☘️☘️☘️
Gelar melambaikan tangannya begitu melihat Nana keluar dari café. Senyum Nana merekah melihat pria yang akhir-akhir ini gencar melakukan pedekate padanya. Dengan cepat dia menghampiri Gelar.
“Udah lama nunggunya, bang?”
“Baru lima menit. Udah beres, kan? Ayo..”
Hanya anggukan kepala saja yang diberikan Nana. Gelar segera membukakan pintu untuk gadis itu. Setelah Nana memakai sabuk pengamannya, Gelar segera menjalankan kendaraannya. Sore ini, dia ingin mengajak Nana makan di luar. Pria itu juga ingin mendengar soal kejadian yang menimpa gadis pujaannya kemarin.
“Aku dengar dari Evan, katanya kamu disiksa sama abang kamu kemarin?”
“Ya gitu deh, bang. Tapi aku ngga apa-apa, kok. Bang Fariz udah bantu lapor ke polisi.”
“Syukur, deh. Kamu beneran ngga apa-apa? Ada yang luka, ngga?”
“Ngga, bang. Lihat nih masih utuh.”
Nana memperlihatkan kedua tangannya dan juga menolehkan wajahnya ke kanan dan kiri. Memastikan pada pria itu kalau kondisinya baik-baik saja. Gelar terkekeh melihat tingkah Nana yang menggemaskan. Tangannya bergerak mengusak puncak kepala gadis itu.
“Kita makan di luar, yuk.”
“Makan di mana?”
“Terserah kamu mau makan di mana? Sekalian nanti bawain buat orang tua dan adik-adik kamu.”
“Aku pengen makan bebek hoje, yang di jalan Merdeka.”
“Bebek hoje apaan tuh? Baru dengar.”
“Bebek hot jeletot.”
“Hahaha.. ada-ada aja, ya. Ya udah kita ke sana sekarang.”
“Bukanya jam tujuh, bang. Sekarang mereka masih siap-siap dan ngga terima pesanan sebelum jam tujuh.”
“Oh gitu. Ya udah kalau gitu kita ke tempat lain dulu.”
“Kemana, bang?”
“Kepo.”
“Ish..”
Dengan senyuman di wajahnya, Gelar mengarahkan kendaraannya menuju tempat yang ingin ditujunya. Dia sengaja tak mengatakan apapun pada Nana. Anggap saja itu surprise untuknya. Tak sampai sepuluh menit, mobil yang dikendarainya berbelok memasuki pelataran parkir pusat perbelanjaan yang menjual gadget dan peralatan elektronik.
Setelah memarkirkan kendaraannya, Gelar langsung mengajak Nana masuk. Sedikit pun gadis itu tidak merasa curiga. Dia mengikuti saja kemana Gelar membawanya. Pria itu kemudian membawanya ke counter ponsel yang cukup besar.
“Cari ponsel apa, mas?” tanya sang pramuniaga.
“Smartphone buat dia nih,” Gelar menunjuk pada Nana.
“Eh..”
Tentu saja Nana terkejut mendengar ucapan Gelar. Belum sempat menjawab, Gelar mengajaknya duduk dan pramuniaga tadi mengeluarkan koleksi ponsel terbaru dari beberapa merk. Dia juga menjelaskan apa kelebihan dan kekurangan produk tersebut. Nana hanya diam saja, tak mengerti harus melakukan apa.
“Kamu mau yang mana?” tanya Gelar.
“Ngga usah, bang,” bisik Nana.
“Harus. Biar aku gampang kalau mau hubungin kamu. Pake kuota lebih murah ketimbang pulsa,” jawab Gelar dengan suara berbisik juga.
Hanya cengiran saja yang diberikan Nana. Ponsel yang dimilikinya memang tergolong ponsel jadul, yang hanya bisa digunakan untuk telepon dan sms saja. Gamenya pun masih game ular jaman dulu. Padahal pada masanya dahulu, ponsel NUKIEU adalah ponsel sejuta umat. Tapi kini sudah tergerus smartphone buatan negeri tirai bambu.
“Kalau aku saranin mending ponsel APPA aja. Kamera belakangnya 20 mega pixel. Kamera depan 8 mega pixel, RAM-nya 4, memori internal 125 giga. Harganya di bawah tiga juga, gimana?”
Pramuniaga itu menyerahkan dus ponsel merk APPA berwarna hitam. Pria itu lalu mengambilkan dami ponsel tersebut. Gelar melihat spesifikasi yang terdapat di sisi dus. Dia melihat pada Nana, namun gadis itu tidak bereaksi apapun. Akhirnya Gelar memutuskan mengambil ponsel tersebut.
“Ya udah yang ini aja.”
“Mau yang warna apa? Ada hitam, biru, putih sama merah.”
“Putih aja.”
Sang pramuniaga mengambil dus lain yang berisi ponsel putih. Dia membuka dus di hadapan Gelar, memperlihatkan kalau ponsel masih dalam keadaan utuh. Pria itu kemudian mencolokkan charger ke ponsel tersebut. Nampak gambar batre bergerak, tanda proses charging berhasil.
“Ada kartunya?”
Malu-malu Nana mengeluarkan ponsel jadulnya. Mematikan ponsel tersebut, lalu mengeluarkan kartunya. Sejenak pramuniaga itu terdiam, kartu yang digunakan Nana terlalu besar untuk ponsel yang dibelinya.
“Kartunya harus dipotong dulu kayanya.”
“Ganti nomor baru aja. Ngga apa-apa, Na?”
“Eh iya, boleh.”
Tidak banyak orang yang tahu nomor ponselnya, hanya kedua orang tuanya, Alya dan beberapa temannya di café. Gelar segera menuju counter sebelah yang menjual kartu SIM. Dia memilihkan sebuah nomor cantik untuk gadis pujaannya. Setelah membayarnya, dia menyerahkan kartu pada sang pramuniaga.
Tangan pramuniaga itu bergerak cepat memasukkan kartu ke dalam ponsel. Dia meminta KTP Nana untuk registrasi. Selesai itu, ponsel sudah bisa digunakan. Kartu yang dibeli Gelar sudah menyediakan kuota. Dia memberitahu Nana, aplikasi apa saja yang ada di ponsel tersebut, salah satunya aplikasi what’s app.
“Silahkan disetting sendiri aja what’s app-nya.”
“Iya, mas. Makasih. Berapa jadinya?”
“Dua juta delapan ratus lima belas ribu.”
“Diskon yang lima belas ribu.”
“Ya udah.”
Gelar mengambil dompetnya, lalu mengeluarkan kartu debitnya. Sang pramuniaga langsung memproses pembayaran. Setelah selesai, Gelar segera mengajak Nana pergi. Langit sudah menggelap ketika mereka keluar dari pusat perbelanjaan.
“Bang Ge.. makasih banyak, ya,” ucap Nana begitu berada di dalam mobil.
“Iya. Kamu nanti harus rajin-rajin wa aku, ya,” Gelar memamerkan senyum manisnya.
“Iya, bang,” wajah Nana nampak merona.
“Kita sekarang ke bebek hoje?”
“Ke masjid dulu, bang. Udah maghrib nih.”
“Oh.. ok..”
Gelar sedikit terkejut mendengar ajakan Nana. Maklum saja, dia termasuk abai untuk menjalankan lima waktu. Jika Evan masih mau mengerjakan kewajibannya, walau kadang masih bolong. Berbeda dengan Gelar yang memang selalu mengabaikan kewajibannya sebagai muslim. Mendengar permintaan Nana, dia jadi malu sendiri. Namun begitu, dia tetap mengarahkan kendaraannya menuju masjid terdekat.
☘️☘️☘️
**Yang satu lagi cemburu, yang satu lagi sedang berbunga². Bang Ge tancap gas lagi ya😂
Yang nungguin MP... Sabar🤣
Kemarin ada yang nanya, visual babang Evan sama ngga sih sama Roxas? Jawabannya ngga ya. Babang Evan itu, shawn Mendez. Kalau Roxas, Xavier Serrano.
Bang Evan**
Roxas
Alya tidak tahu itu - jadi bikin Alya merasa diabaikan - tak di sayang ayahnya.
Gak jadi kabur Bro - jadi menikah nih /Facepalm/