Judul: Suamiku Tak Pernah Kenyang
Genre: Drama Rumah Tangga | Realistis | Emosional
Laila Andini tak pernah membayangkan bahwa kehidupan rumah tangganya akan menjadi penjara tanpa pintu keluar. Menikah dengan Arfan Nugraha, pria mapan dan tampak bertanggung jawab di mata orang luar, ternyata justru menyeretnya ke dalam pusaran lelah yang tak berkesudahan.
Arfan bukan suami biasa. Ia memiliki hasrat yang tak terkendali—seakan Laila hanyalah tubuh, bukan hati, bukan jiwa, bukan manusia. Tiap malam adalah medan perang, bukan pelukan cinta. Tiap pagi dimulai dengan luka yang tak terlihat. Laila mencoba bertahan, karena “istri harus melayani suami,” begitu kata orang-orang.
Tapi sampai kapan perempuan harus diam demi mempertahankan rumah tangga yang hanya menguras
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Euis Setiawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
malam tanpa pilihan
laila hanya bisa tersenyum kaku saat melihat dua gelas kecil jamu diletakkan di meja oleh Bu Yani—satu untuknya, satu lagi untuk Arfan. Warna jamunya cokelat tua dengan aroma yang menyengat. Perut Laila langsung terasa mual, tapi ia menelan ludah dan memaksakan diri menerima gelas itu dengan kedua tangan.
“Laila, minum ya... Ini Ibu bawa dari dukun jamu langganan di kampung. Katanya manjur untuk menyuburkan rahim. Biar kamu cepat ngasih Ibu cucu,” ujar Bu Yani dengan tatapan penuh harap.
“Terima kasih, Bu,” ucap Laila pelan. Tanpa banyak kata, ia langsung menenggak jamu itu. Rasanya pahit dan membuat lidah mati rasa, tapi ia menelannya dalam sekali teguk agar tak menjadi bahan omelan lebih panjang.
Belum sempat Laila menaruh gelas kosong ke meja, Bu Yani sudah menyodorkan gelas lain ke Arfan.
“Arfan, ini buat kamu. Katanya biar makin galak di ranjang!” goda Bu Yani sambil tertawa kecil.
Laila nyaris terbatuk mendengar kalimat itu. Ia bahkan tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Tatapannya melirik cepat ke arah Arfan, lalu kembali ke arah mertuanya.
“Bu...” Arfan tertawa, “Aku udah cukup galak kok...”
“Minum aja! Biar makin kuat. Jangan kasih kendor,” ujar Pak Harun dari ruang tengah sambil membaca koran.
Tanpa protes, Arfan menenggak habis jamu itu. Gelas kaca berbunyi ringan saat ditaruh kembali ke meja. Bu Yani tersenyum puas.
“Ya sudah, kalian cepat tidur. Ibu doain semoga malam ini ada mujizat,” katanya sambil menggiring mereka ke kamar. “Selamat bersenang-senang ya…”
Pintu kamar ditutup. Laila berdiri mematung di depan lemari. Arfan duduk di tepi ranjang sambil membuka kancing bajunya. Tidak ada ucapan romantis, tidak ada percakapan bermakna. Semua seperti rutinitas yang berjalan atas dasar dorongan tubuh semata.
Laila tahu, beberapa menit lagi Arfan akan memeluknya, dan ia tidak punya pilihan selain mengikuti kemauan itu.
Benar saja.
Sekitar dua puluh menit setelah meminum jamu, Arfan terlihat gelisah. Tubuhnya mulai menghangat. Keringat muncul di pelipisnya, dan napasnya terdengar berat.
“Sayang... kemari,” bisiknya sambil menepuk sisi ranjang.
Laila menelan ludah. Ia duduk pelan di samping suaminya. Arfan langsung menyentuh lengannya, mengelus perlahan, dan mulai membisikkan kata-kata yang selama ini selalu membuat bulu kuduk Laila berdiri.
Tapi kali ini, Laila tidak terangsang. Ia hanya merasa kosong.
“Mas...” Laila menarik napas. “Boleh aku jujur sebentar?”
Arfan menatapnya, masih dengan tatapan haus itu.
“Aku... aku capek, Mas. Aku benar-benar lelah.”
Arfan menarik tangannya. “Capek? Lelah terus. Kamu tuh gimana sih. Aku ini suamimu. Kamu pikir aku bisa tahan terus begini? Ibu di luar nunggu kabar kamu hamil, kamu malah nolak-nolak terus. Apa kamu memang nggak pengin punya anak?”
Laila mengatupkan bibirnya. Suaranya tercekat.
“Mas, bukan itu maksudku. Aku cuma ingin dipeluk... dipahami. Aku ingin kita dekat bukan hanya karena urusan ranjang.”
Arfan berdiri. “Omong kosong. Semua istri juga pengin dimengerti. Tapi kamu? Kamu egois. Kamu pikir aku nggak punya kebutuhan?”
Laila menunduk. Air matanya menetes pelan.
Arfan meraih handuk dan masuk ke kamar mandi sambil membanting pintu. Laila tetap diam. Beberapa menit kemudian, suara air keran terdengar deras, diiringi gerutuan dari dalam.
Keesokan harinya, suasana meja makan sangat canggung.
Bu Yani menyajikan nasi goreng buatannya, dan berulang kali melirik Laila.
“Gimana? Ada kabar baik dari semalam?” tanyanya sambil tersenyum menggoda.
Laila tercekat, lalu pura-pura tersedak. Ia hanya menjawab, “Masih belum, Bu. Mungkin memang belum waktunya.”
“Ya harus lebih giat, dong. Jangan terlalu dingin. Ibu tahu anak Ibu kuat, tapi kalau kamu malas ya percuma. Rahim juga butuh dipancing.” Bu Yani tertawa ringan sambil menyendok makanan.
Laila ingin sekali membanting sendok. Tapi ia hanya menunduk dan mengunyah tanpa rasa.