Novel tentang pelakor, untuk mengikuti lomba Konflik Rumah Tangga. Bagi pembaca yang anti pelakor, boleh skip. tapi kalau mau menantang adrenalin untuk coba membaca dari sudut pandang pelakor, silakan baca dan jangan lupa tekan favorite ❤️
Demi melunasi seluruh hutang yang ditinggalkan orangtuanya, Kania menjual keperawanannya di sebuah klub malam. Namun, takdir membawanya bertemu dengan bosnya sendiri bernama Satria yang menjadikannya istri kontrak untuk melampiaskan hasrat.
Satria sudah memiliki istri, tapi istrinya yang super model itu terlalu sibuk untuk menjalankan kewajibannya. Rasa kesepian itulah yang membuat Satria nekat bermain api.
Akankah pernikahan kontrak itu bisa berjalan dengan mulus?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itta Haruka07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
IKPH . Bab 28
Sekretaris Gio mengetuk pintu rumah Bu Santi untuk memastikan Kania ada di sana atas perintah Satria. Sementara sang bos sedang berjongkok sambil bersandar di tiang penyangga teras rumah. Kepalanya terasa pening saat dipaksa berdiri, belum lagi mual yang begitu menyiksa.
Tidak lama, Bu Santi keluar untuk menemui Sekretaris Gio. “Maaf, ada apa?” tanya wanita itu dengan jantung berdebar tidak karuan yang berusaha ditutupi sebaik mungkin.
Sekretaris Gio menelisik ke dalam rumah melalui celah pintu saat Bu Santi membuka pintu. Dia mencari-cari keberadaan Kania yang mungkin saja ada di dalam rumah.
“Maaf mengganggu, saya sedang mencari wanita ini, boleh kami bertemu?” Sekretaris Gio memberikan selembar foto Kania. Kali ini foto yang sangat jelas, bahwa wanita itu adalah Kania.
“Tidak ada di sini,” jawab Bu Santi sembari menahan pintu, tidak membiarkan Sekretaris Gio menelisik lebih dalam isi rumahnya. Bu Santi sempat melirik laki-laki tampan yang tidak berdaya sedang bersandar di tiang rumahnya.
“Nona ini adalah istri bos kami, kalau terbukti ada di sini dan Anda membantu menghalangi kami, maka kami akan ....”
Belum selesai Sekretaris Gio menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba anak buah mereka berteriak dari belakang rumah.
“Bos, di sini!”
Satria langsung berdiri dan berlari ke arah sumber suara. Dia harus melompati saluran air untuk menghampiri anak buahnya yang sedang memegangi lengan seorang wanita berkerudung. Rasa pening dan mual yang dia rasakan, telah lenyap begitu mendengar suara anak buahnya itu. Satria sangat berharap Kania ada di sana.
“Lepaskan dia!” kata Satria saat sudah di belakang Kania.
Kania semakin menutupi wajahnya dengan kerudung. Dia bisa merasakan kehadiran suaminya melalui aroma parfum yang sangat dia rindukan.
“Kanya,” panggil Satria sambil menahan rasa mual yang kembali menyerang.
Kania bergeming. Dia merasakan buliran air bening mengalir deras di wajahnya. Dia belum siap bertemu dengan Satria. Dia hanya ingin melarikan diri selamanya dari laki-laki itu.
“Kanya, ini aku. Aku tahu kamu Kania. Debaran di dadaku enggak mungkin salah mengenali kamu, Kanya,” kata Satria.
Kania semakin bersedih. Hidungnya kembang kempis menahan tangis dan sesak di dadanya. Kenapa dia selemah ini saat berhadapan dengan laki-laki yang dicintainya?
“Kanya, aku merindukanmu.” Suara Satria terdengar bergetar, lalu tiba-tiba dia kembali muntah dan hal itu malah membuat Kania khawatir.
“Tuan!” seru wanita itu setelah berbalik badan. Dia melihat suaminya sedang berjongkok sambil memegangi perutnya.
Kania merasa sangat iba. Meski dia tidak ingin berhubungan dengan Satria, tapi laki-laki itu masih suaminya, ayah dari anaknya. Dia menyentuh pundak Satria dan memijatnya seperti dulu saat menjalankan perannya sebagai istri Satria.
Satria menyentuh tangan Kania dan menatapnya. “Kania!” Rasa haru dan bahagia berkumpul dalam dirinya, dia langsung memeluk wanita yang kini tengah hamil itu. “Kanya, jangan pergi! Jangan pergi, Kanya!”
Laki-laki itu memeluk Kania dengan sangat erat, seakan tidak bisa melepasnya karena takut ditinggalkan lagi.
Merasa pelukan Satria terlalu erat yang mungkin bisa berbahaya untuk kandungannya, naluri keibuan Kania langsung berusaha melepaskan diri. Akan tetapi, semakin kuat dia bergerak melepaskan diri, semakin erat pula pelukan Satria di tubuhnya.
“Tuan lepaskan aku!” teriak Kania sambil memukul-mukul pundak Satria.
Satria tidak peduli dan terus memeluk Kania. “Aku bukan tuanmu, Kanya. Aku suamimu,” balas Satria tidak terima.
“Lepaskan aku!” teriak Kania lagi. Tangannya semakin berusaha keras memukul Satria.
“Enggak akan, kamu milikku Kanya, kamu istriku!”
Kania merasakan napasnya terasa sesak, dia semakin takut terjadi apa-apa dengan bayinya. “Kamu bisa bunuh anak kamu kalau kayak gini!” teriak Kania frustrasi.
Satria langsung melepaskan pelukannya. Tatapan matanya dan mata Kania saling beradu. Susah payah dia menelan ludahnya dengan kasar.
“Anak?” tanya Satria memastikan apa yang didengar itu adalah kebenaran. “Kamu hamil?”
Napas Kania terasa sesak. Air matanya meluncur semakin deras. Dia lupa, bahwa Satria tidak menginginkan anak dalam hubungan mereka.
“Ya, tapi ini anakku sendiri. Kamu tidak usah mengkhawatirkannya, karena kami tidak akan meminta apa pun darimu. Aku tidak mengambil apa pun dari apartemen itu, semua yang kamu berikan sudah aku kembalikan. Kalau masalah uang yang kubayar untuk melunasi hutang, aku rasa itu harga yang pantas untuk pelayanan dariku.”
Satria mendengar semua perasaan yang terpendam dalam diri Kania, yang mungkin tidak berani dia curahkan.
“Anak ini mungkin kesalahanku, jadi aku yang akan menanggungnya sendiri. Aku tidak akan menuntut apa pun dari kamu, kita bisa tanda tangani perjanjian seperti pernikahan kita. Aku hanya mengambil anak ini saja darimu. Aku pastikan tidak akan ada yang tahu kalau dia anakmu, termasuk istri dan anak-anakmu yang sah.”
Mata Kania semakin terasa panas, persis seperti hatinya yang sedang terbakar. Sebagai istri yang tidak memiliki kekuatan hukum, tidak ada yang bisa dilakukan Kania selain menjauhi laki-laki itu bersama anaknya, karena Kania tidak akan membiarkan Satria menggugurkannya.
“Perjanjian apa? Perjanjian yang bahkan sudah kamu langgar Kanya,” balas Satria.
Dia masih sangat terkejut dengan kehamilan Kania di tengah-tengah keadaan mereka saat ini. Sebagai seorang ayah, tentu Satria tidak ingin anaknya dipertanyakan mengenai status hukumnya.
“Maaf, tapi masalah anak, aku janji, akan aku pastikan dia tidak akan mengenalimu sebagai ayahnya sampai aku mati.” Kania merasa Satria tidak akan bisa menerima kehamilannya, karena itulah dia ingin secepatnya menjauh dari laki-laki itu.
“Jangan egois, Kanya. Dia anakku, sampai mati pun akan tetap menjadi anakku, kenapa kamu berpikir ingin menjauhkannya dariku, Kanya?” Satria kembali memeluk tubuh Kania lagi, kali ini penuh perasaan hingga membuat Kania menumpahkan tangisnya dalam dekapan yang telah lama dirindukan.
“Dia juga berhak bahagia, dia berhak mendapat kasih sayang kedua orang tuanya. Kanya, jangan pergi lagi!” kata Satria sambil mengusap punggung Kania. Dia merasakan dadanya yang basah oleh air mata Kania dan itu membuatnya semakin menyesal.
“Kamu enggak marah karena aku hamil?” tanya Kania di sela-sela tangisnya.
Satria melepaskan pelukannya dan menatap Kania lekat-lekat. “Enggak akan, Sayang. Justru aku bahagia, karena anak yang ada dalam mimpi aku itu hadir di rahim kamu,” jawab Satria yang kemudian berjongkok dan memeluk pinggang Kania. Dia menciumi perut Kania dan menyapa anaknya itu. “Sayang, ini daddy, Nak. Maaf Daddy baru tahu kehadiran kamu di perut Mommy, maaf juga daddy baru bisa jemput kamu.”
Satria berlutut tanpa peduli pakaian dan sepatu mahalnya kotor terkena tanah. Dia terus mencium perut Kania dengan haru. Satria yang sebelumnya belum pernah memikirkan soal anak, sekarang langsung dihadapkan dengan kehamilan istri keduanya. Ada sebuah ikatan yang dia rasakan saat mencium perut Kania, perasaan yang tidak pernah dia rasakan saat mencium atau mengusap perut Felicia.
“Kanya, kita pulang ya!” ajak Satria sambil mendongak menatap Kania.
Kania menggeleng cepat. Dia menolak ajakan Satria untuk kembali pulang ke ibu kota.
“Kenapa, Sayang?” tanya Satria sambil menangkup wajah Kania dengan kedua tangannya.
***
Stop dulu mau kumpulin vote sama kopi dulu 😆😆