Livia hidup dengan satu aturan: jangan pernah jatuh cinta.
Cinta itu rumit, menyakitkan, dan selalu berakhir dengan pengkhianatan — dia sudah belajar itu dengan cara paling pahit.
Malam-malamnya diisi dengan tawa, kebebasan, dan sedikit kekacauan.
Tidak ada aturan, tidak ada ikatan, tidak ada penyesalan.
Sampai seseorang datang dan mengacaukan segalanya — pria yang terlalu tenang, terlalu dewasa, dan terlalu berbahaya untuk didekati.
Dia, Narendra Himawan
Dan yang lebih parah… dia sudah beristri.
Tapi semakin Livia mencoba menjauh, semakin dalam dia terseret.
Dalam permainan rahasia, godaan, dan rasa bersalah yang membuatnya bertanya:
apakah kebebasan seindah itu jika akhirnya membuatnya terjebak dalam dosa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Sang Pengganti.
Selepas makan siang, suasana kantor mendadak berubah. Semua orang terlihat sibuk merapikan meja, memperbaiki penampilan, bahkan menyemprotkan parfum seolah sedang menunggu selebriti datang.
“Katanya CEO baru kita ganteng banget, Liv!” bisik Rani dengan mata berbinar sambil merapikan rambut di cermin kecil.
Livia hanya mengangkat bahu. “Ganteng nggak bisa bantu kerjaan gue beres, Ran.”
“Ya ampun, lo tuh nggak bisa santai dikit, napa ? Nikmatin pemandangan, kali.”
Suara langkah ramai terdengar dari arah lift. Kepala divisi satu per satu sudah berkumpul di aula. Livia dan rekan-rekannya mengikuti, berdiri rapi di barisan staf administrasi.
Tak lama kemudian, Burhan masuk bersama beberapa manajer. Di belakang mereka, seorang pria muda dengan jas abu-abu elegan melangkah masuk dengan tenang. Senyumnya ramah, sikapnya tenang tapi berwibawa.
“Selamat siang semuanya,” sapa Burhan. “Perkenalkan, ini beliau, Tuan Narendra Himawan, CEO baru perusahaan kita.”
Sekejap, aula itu langsung penuh dengan bisik-bisik kagum.
“Gila, ganteng banget…”
“Masih muda, ya?”
“Katanya lulusan luar negeri…”
Livia hanya menatap sekilas. Memang, pria itu punya pesona yang sulit diabaikan, rahang tegas, mata tajam tapi lembut, dan cara berbicara yang memancarkan kepercayaan diri. Namun bagi Livia, semua itu biasa saja. Ia sudah terlalu sering bertemu dengan pria yang tampan di luar, tapi rumit di dalam.
Narendra menyapukan pandangan ke seluruh ruangan. “Terima kasih atas sambutannya. Saya tahu, menggantikan ayah saya bukan hal mudah. Tapi saya percaya dengan tim ini, kita bisa melangkah lebih jauh. Saya harap kerja sama dari semua pihak.”
Tepuk tangan menggema, penuh antusiasme. Rani bahkan berbisik heboh di telinga Livia, “Gue udah fix jatuh cinta lagi!”
Livia hanya terkekeh kecil. “Boleh, asal lo bisa bangun lagi setelah jatuh.”
Namun bahkan dalam keramaian itu, satu hal yang sudah menjadi rahasia umum: Narendra Himawan sudah menikah.
Cincin di jarinya jelas terlihat saat ia menjabat tangan para kepala divisi. Dan foto pernikahannya sempat terpampang di majalah bisnis setahun lalu.
“Udah punya istri, tapi tetep aja, auranya luar biasa,” kata Rani pelan.
Livia melirik sekilas ke arah Narendra yang sedang berbicara dengan Burhan. “Justru karena udah punya istri, harusnya lo jaga pandangan, Ran.”
Rani mendengus. “Iya, Bu Livia yang terhormat.”
Livia tersenyum tipis, tapi dalam hatinya tak ada rasa kagum sedikit pun.
Bagi dirinya, cinta, ketertarikan, dan semua hal yang berbau romantis sudah lama kehilangan arti.
Setelah acara perkenalan selesai, sebagian besar karyawan kembali ke ruang kerja masing-masing. Namun Burhan masih tinggal di aula bersama Bima dan beberapa kepala divisi lainnya, membahas singkat tentang laporan bulanan dan struktur tim.
Tak lama kemudian, Burhan memanggil seseorang.
“Livia, sini sebentar,” ujarnya sambil melambaikan tangan ke arah pintu.
Livia yang sedari tadi menunggu di luar aula melangkah masuk. Penampilannya tetap rapi dan tenang, meski jantungnya berdegup sedikit lebih cepat karena semua mata kini tertuju padanya.
“Pak, ada yang bisa saya bantu?” tanyanya sopan.
Burhan tersenyum, lalu menoleh pada Narendra.
“Ini, Pak Narendra. Saya kenalin, dia Livia, staf terbaik di divisi administrasi keuangan. Hampir semua laporan vendor dan data internal keuangan perusahaan disusun sama dia. Orangnya teliti dan cepat tanggap.”
Narendra mengulurkan tangan, senyumnya ramah tapi tatapannya tajam—pandangan seseorang yang terbiasa menilai orang lain dalam waktu singkat.
“Senang bertemu denganmu, Livia. Saya sudah dengar banyak hal baik tentang pekerjaan kamu.”
Livia menjabat tangannya singkat, nada suaranya tenang.
“Terima kasih, Pak. Saya hanya berusaha melakukan tugas dengan sebaik mungkin.”
Narendra menatapnya sejenak, lalu mengangguk kecil. “Itu sudah lebih dari cukup. Perusahaan ini butuh orang-orang yang bisa diandalkan.”
Ada sesuatu di nada suaranya—bukan godaan, bukan kekaguman, tapi ketertarikan profesional yang penuh rasa hormat. Namun entah kenapa, tatapan itu membuat Livia sedikit gugup.
Mungkin karena ia tidak terbiasa diperhatikan dengan cara seperti itu: tenang, tapi seolah menembus semua lapisan pertahanan dirinya.
Burhan menepuk pelan bahu Livia.
“Mulai besok, bantu saya siapkan laporan tahunan untuk presentasi ke Pak Narendra, ya. Beliau ingin melihat langsung sistem administrasi kita.”
“Baik, Pak.”
Narendra tersenyum lagi. “Saya harap kita bisa bekerja sama dengan baik, Livia.”
“Dengan senang hati, Pak,” jawabnya singkat.
Setelah itu, Narendra beralih membahas hal lain bersama Burhan. Livia pamit kembali ke ruangannya, tapi sepanjang jalan menuju meja kerjanya, pikirannya masih terasa aneh.
Entah kenapa, tatapan mata pria itu—yang seharusnya tak berarti apa-apa—terus terbayang di benaknya.
Tenang, hangat, tapi juga berbahaya dalam diam.
Livia kembali ke kubikelnya, menatap layar komputer yang masih menampilkan tumpukan laporan.
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menepis bayangan senyum Narendra yang entah kenapa terus muncul di kepalanya.
“Udah, Liv. Jangan mulai aneh-aneh,” gumamnya pelan sambil meneguk sisa kopi dingin di mejanya.
Sepanjang sisa waktu kerja, Livia berusaha fokus menyelesaikan revisi laporan, karena ia tak ingin lembur malam ini.
Begitu jam dinding menunjuk pukul lima, ia segera beres-beres. Laptop dimasukkan ke tas, rambut ia rapikan, lalu melangkah keluar ruangan dengan langkah ringan.
Begitu tiba di parkiran, dua suara familiar langsung menyapanya.
“Hei, Si Princess akhirnya keluar juga!” seru Reno sambil bersedekap Dada.
“Udah jam lima, masa masih di kantor aja,” tambah Dafi, menepuk kap mobilnya.
Livia tertawa kecil. “Kalian tuh sabar dikit kenapa sih? Gue kerja tau.”
“Kerja boleh, tapi hidup jangan kaku-kaku dong Liv.” goda Reno.
“Yuk, kita ke kafe biasa. Gue butuh kopi dan musik bagus,” kata Dafi sambil membuka pintu mobilnya.
Livia langsung naik ke kursi penumpang, melepas sepatu haknya, lalu bersandar santai.
“Cuma kalian berdua yang bisa bikin hari gue sedikit normal,” ujarnya sambil tersenyum tipis.
Dafi melirik lewat kaca spion. “Kita emang bukan siapa-siapa, Liv, tapi kalau lo butuh tempat pulang, kita selalu ada.”
Reno menimpali, “Selalu, bahkan kalau lo butuh kita jam dua pagi sekalipun, kita pasti datang.”
Livia terkekeh, tapi dalam hatinya selalu ada rasa hangat yang ia rasakan setiap bersama Dafi dan Reno.
Mereka bertiga mungkin sering menghabiskan malam dengan tawa dan kebisingan, tapi hanya Dafi dan Reno yang tahu, di balik sikap bebasnya, Livia menyimpan banyak hal yang belum selesai.
Mobil melaju keluar dari area parkir, meninggalkan gedung kantor yang perlahan tenggelam dalam cahaya sore.
Livia menatap keluar jendela, pikirannya kembali berkelana.
Tentang pekerjaan, tentang hidupnya yang berjalan santai, namun masih ada luka yang belum selesai di dalamnya.
...🥂...
Kafe itu sudah menjadi tempat favorit mereka bertiga sejak lama. Letaknya di sudut kota, dengan lampu-lampu temaram dan aroma kopi yang khas menyambut siapa pun yang datang. Musik akustik mengalun lembut di latar, menenangkan setelah hari yang panjang.
Livia duduk di kursi dekat jendela, menggulung rambutnya dengan asal, Ia menghela napas panjang, menikmati udara sore yang bercampur dengan aroma kopi panggang.
“Gue rasa, cuma di tempat ini kepala gue bisa berhenti muter,” katanya pelan.
Reno menyerahkan segelas cappuccino padanya. “Makanya jangan kebanyakan mikir. Hidup tuh cuma butuh dua hal: kopi dan temen yang siap nemenin dan dengerin keluh kesah lo.”
“Dan tagihan listrik yang harus dibayar,” sela Dafi datar sambil membuka laptopnya.
Livia tertawa kecil. “Kalian berdua tuh kombinasi paling aneh. Satu kebanyakan becanda, satu kebanyakan logika.”
“Itulah kenapa lo cocok di tengah-tengah,” balas Reno. “Lo bikin seimbang.”
Percakapan mereka mengalir ringan, tentang pekerjaan, tentang klien Reno yang cerewet, hingga rencana Dafi ikut kompetisi desain. Namun sesekali, Livia termenung tanpa alasan. Matanya kosong menatap ke luar jendela, ke arah lampu kota yang mulai menyala.
Dafi memperhatikan, lalu mencondongkan tubuh.
“Lo kenapa, Liv ? Capek banget, ya?”
“Enggak,” jawabnya singkat. “Cuma... tadi kerjaan lumayan ribet, soalnya ada CEO baru.”
Reno bersiul pelan. “Oh, CEO lo orang baru ? Ganteng nggak ?”
Livia mengangguk kecil. “Ya. Ganteng sih, tapi biasa aja.”
“Biasa aja?” Reno menatapnya dengan alis terangkat. “Atau lo pura-pura biasa aja?”
Livia terkekeh, menutupi kegugupannya dengan tawa. “Please, Ren. Gue udah kebal sama pesona cowok kayak gitu.”
“Tapi mata lo keliatan beda Liv,” celetuk Dafi menggoda, tanpa menatapnya.
Livia terdiam sesaat.
Dia tidak tahu kenapa nama Narendra masih berputar di kepalanya, seolah senyum pria itu menempel di pikirannya sejak pertemuan pertama. Tapi ia buru-buru menepis perasaan itu.
Narendra sudah beristri. Dan Livia tidak pernah mau jadi seseorang yang ikut menghancurkan rumah orang lain. Lagipula Livia hanya terbayang senyumnya, bukan berarti ia menyukainya.
Reno menepuk pelan bahunya. “Udah ah, jangan dibawa serius. Malam masih panjang. Hidup cuma sekali, Liv.”
“Ya,” jawab Livia lirih. “Hidup cuma sekali. Makanya gue nggak mau salah jalan lagi.”
Suara tawa mereka kembali terdengar, tapi dalam hati Livia, masih saja penasaran, kenapa bayangan senyum Narendra masih terbayang.
“Gue ke toilet bentar, ya,” kata Livia sambil berdiri dari kursinya.
Reno dan Dafi hanya mengangguk, masih sibuk berdebat soal musik yang dimainkan di kafe itu.
Livia melangkah melewati lorong sempit menuju toilet wanita. Suasana di sana agak sepi, hanya terdengar samar suara alat pembuat kopi dari balik dapur. Ia baru saja hendak mendorong pintu ketika tiba-tiba sebuah tangan kuat menahan pergelangan tangannya.
“Livia.”
Suara itu membuat tubuhnya menegang seketika. Ia mengenal suara itu, suara yang dulu membuatnya jatuh, tapi juga menghancurkannya.
“Dimas ?” suaranya nyaris berbisik, antara terkejut dan tidak percaya.
...🥂...
...🥂...
...🥂...
...Bersambung...✨️...
lanjut dong🙏🙏🙏