Storm adalah gadis bar-bar dengan kemampuan aneh—selalu gagal dalam ujian, tapi mampu menguasai apa pun hanya dengan sekali melihat.
Ketika meninggal pada tahun 2025, takdir membawanya hidup kembali di tubuh seorang narapidana pada tahun 1980. Tanpa sengaja, ia menyembuhkan kaki seorang jenderal kejam, Lucien Fang, yang kemudian menjadikannya dokter pribadi.
Storm yang tak pernah bisa dikendalikan kini berhadapan dengan pria yang mampu menaklukkannya hanya dengan satu tatapan.
Satu jiwa yang kembali dari kematian. Satu jenderal yang tak mengenal ampun. Ketika kekuatan dan cinta saling beradu, siapa yang akan menaklukkan siapa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
"Jenderal, sebenarnya aku…" ucap Storm dengan suara tertahan.
"Katakan!" titah Lucien tanpa bertele-tele.
Storm menarik napas panjang, seakan mengumpulkan seluruh keberaniannya.
"Aku tidak tahu apakah Anda akan percaya atau tidak," katanya pelan. "Sebenarnya aku bukan Ah Zhu. Nama asliku Storm. Aku terlahir kembali ke dalam tubuh Ah Zhu."
"Pemilik tubuh ini sudah meninggal di dalam penjara. Dia dipukuli oleh tiga tahanan—utusan Mimi. Setelah aku sadar, aku justru terbangun di dalam tubuhnya… di penjara, di era 80-an."
Max langsung mengernyit.
"Cerita yang tidak masuk akal. Mana ada orang mati lalu langsung bereinkarnasi begitu saja?" katanya dingin.
"Aku tahu," Storm mengangguk pelan. "Awalnya aku juga tidak percaya. Aku yang hidup di tahun 2025 harus bertahan di tahun 80-an, menjadi seorang narapidana."
Ia menatap Lucien lurus-lurus.
"Tapi ini benar-benar aku. Kesadaranku tidak berubah. Sampai sekarang aku ingin kembali ke zamanku, tapi tidak bisa. Mungkin… di tahun 2025 aku memang sudah benar-benar meninggal."
Lorong penjara mendadak terasa sunyi. Lucien tidak berkata apa pun. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi, membuat Storm tak mampu membaca isi pikirannya.
Tanpa basa-basi, Lucien mengangkat tangan, memberi isyarat pada Max.
"Mari kita pergi," perintahnya singkat.
"Baik, Jenderal!" jawab Max. Ia segera mendorong kursi roda itu menjauh, meninggalkan Storm berdiri sendirian di lorong dingin penjara.
Storm menatap punggung mereka hingga menghilang di tikungan.
Kenapa dia diam saja? gumamnya. Apakah dia percaya? Atau justru menganggapku gila?
Ia menghela napas, dadanya terasa sesak.
"Tapi… Jenderal adalah orang baik. Sayangnya, dia akan meninggal tidak lama lagi. Kejadiannya sangat mirip dengan drama yang pernah kutonton…"
Tubuh Storm menegang seketika.
"Tidak… ini tidak benar. Ada kejanggalan. Kenapa bisa…?"
Wajahnya pucat, rasa penasaran dan cemas bercampur menjadi satu. Tanpa berpikir panjang, Storm segera melangkah cepat menyusul.
"Jenderal, tunggu aku!" serunya dari belakang lorong.
"Ada yang ingin aku tanyakan padamu!"
Suara langkahnya menggema, sementara di kejauhan, kursi roda Lucien terus bergerak menjauh—menuju takdir yang perlahan mulai berubah.
***
Dalam perjalanan pulang, Storm duduk di sebelah Lucien, sementara Max mengemudikan mobil tua khas era 80-an itu. Mesin berderak pelan, menyatu dengan kesunyian malam.
Sepanjang jalan, Lucien hanya diam. Wajahnya kaku, sorot matanya tajam menembus gelap, seolah pikirannya masih terjebak pada pengakuan Storm sebelumnya. Tidak sepatah kata pun keluar dari bibirnya.
Jalanan semakin sepi dan gelap. Lampu jalan jarang, hanya cahaya bulan yang sesekali menerangi aspal.
Tiba-tiba—
Dor! Dor! Dor!
Suara tembakan memecah keheningan. Seorang pria muncul dari sisi jalan dan melepaskan tembakan ke arah mobil Lucien tanpa henti.
"Jenderal!" seru Max refleks.
Max membelokkan setir dengan keras, menghindari rentetan peluru yang menghantam bodi mobil. Kaca jendela pecah, serpihannya beterbangan di dalam kabin. Salah satu peluru menghantam ban, membuat mobil oleng.
Lucien langsung menarik Storm ke dalam pelukannya, melindungi tubuh gadis itu. Dengan tangan lainnya, ia mengeluarkan pistol.
Dor! Dor!
Lucien menunduk, lalu membalas tembakan dengan presisi. Peluru musuh nyaris menggores kepalanya, menghantam kaca belakang mobil.
Max mengumpat pelan, lalu membelokkan mobil ke kiri dan menginjak gas lebih dalam, berusaha menjauh dari serangan.
"Jenderal, sepertinya kita sudah diawasi!" teriak Max di tengah suara tembakan.
"Aku yang menyetir!" kata Storm tiba-tiba dengan suara tegas. "Kalian yang menembak!"
Lucien menoleh cepat.
"Kau bisa?" tanyanya ragu.
Storm menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras.
"Bisa. Tenang saja. Di tahun 2025… aku seorang perusuh."
Tanpa ragu lagi, Max menginjak rem mendadak di tikungan gelap. Dalam hitungan detik mereka bertukar posisi. Max berpindah ke kursi samping, sementara Storm mengambil alih kemudi.
Begitu duduk di kursi pengemudi, Storm langsung menginjak pedal gas. Mobil melesat maju, mesinnya meraung keras.
Beberapa penembak lain muncul dari balik kegelapan, membidik mobil mereka dari berbagai arah.
"Tembak!" perintah Lucien dingin namun tegas.
Lucien dan Max menembak tanpa henti, suara pistol bersahut-sahutan dengan letusan peluru musuh. Storm memutar setir tajam, menghindari tembakan sambil terus melaju di jalan gelap itu.
Malam berubah menjadi medan perang—dan untuk pertama kalinya, sejarah mulai menyimpang dari jalurnya.
trus itu gmn?
jadinya
semoga semua akan baik-baik saja...
dan berakhir bahagia.....🤲
kasian juga q am ortux tp klo.yg begitu tiba2 ngilang, pasti sepi n sedih